METANOIAC.id Peluncuran film kartun animasi Merah Putih One For All, yang seharusnya menjadi momentum positif menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, justru terseret dalam pusaran kontroversi ganda. Awalnya, publik berharap karya ini menjadi media edukasi yang segar bagi generasi muda untuk mengenang perjuangan bangsa. Namun, alih-alih menjadi kebanggaan, karya tersebut kini memicu perdebatan tentang akurasi sejarah sekaligus dugaan pelanggaran hak cipta.
Kisah tiga anak yaitu Bima, Sari, dan Wira yang berjuang menyelamatkan bendera Merah Putih dari penjajah. Sayangnya, selain detail visual seperti kostum dan senjata yang dinilai sejumlah sejarawan tidak sesuai dengan periode sejarah, banyak penonton juga menganggap kualitas grafis animasi jauh di bawah standar. Kritik semakin tajam ketika materi promosi dan soundtrack disebut-sebut memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI), yang memunculkan pertanyaan soal orisinalitas karya

Tak berhenti di situ, publik dikejutkan dengan klaim artis 3D internasional, Junaid Miran, yang menuding aset karakternya, dijual di Reallusion seharga USD 149 (sekitar Rp2,4 juta), digunakan tanpa izin dalam proyek ini. Tuduhan tersebut memunculkan pertanyaan serius tentang integritas produksi yang selama ini dipromosikan sebagai karya asli anak bangsa.

Sutradara Raka Pratama memang telah memberi klarifikasi bahwa film ini memadukan fiksi dan sejarah demi memudahkan pesan persatuan tersampaikan. Namun, pernyataan ini tidak cukup menjawab kegelisahan publik, terutama terkait dugaan pembajakan. Apalagi, hingga tulisan ini terbit, Studio Garuda Animation belum memberikan penjelasan resmi mengenai tuduhan tersebut.
Di tengah kontroversi ini, beredar kabar bahwa film tersebut batal tayang di jaringan bioskop Indonesia. Fakta yang terungkap menunjukkan bahwa kabar itu tidak sepenuhnya benar, Merah Putih: One For All tetap tayang, namun hanya di 16 layar milik jaringan Cinema XXI dan Sam’s Studio, dengan jadwal dan jumlah layar yang sangat terbatas.
Dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terhadap film ini patut diapresiasi sebagai bentuk dorongan bagi karya kreatif lokal. Namun, pemerintah dan pelaku industri animasi harus sadar, dukungan publik hanya akan tumbuh bila sebuah karya menjunjung tinggi akurasi sejarah, kualitas visual yang layak, orisinalitas, dan penghargaan terhadap kekayaan intelektual. Tanpa itu semua, animasi nasional akan sulit lepas dari stigma sekadar “ikut-ikutan” atau bahkan “menjiplak.”
Mengangkat semangat kemerdekaan melalui animasi adalah langkah visioner. Akan tetapi, semangat itu harus berdiri di atas fondasi yang kokoh: kebenaran sejarah, integritas, dan penghargaan terhadap karya orang lain. Sebab, kemerdekaan sejati tidak hanya berkibar di layar, melainkan juga dalam cara kita berkarya dengan jujur dan bertanggung jawab. [NDA/445]
Sumber: Studio Garuda Animation; Universitas Indonesia; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; unggahan media sosial Junaid Miran; pantauan media sosial X (Twitter); Nowdots.