Selasa, Oktober 14, 2025

Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan

METANOIAC.id Sumber daya alam kerap dipuja sebagai kunci menuju kemakmuran suatu negara. Namun, sejarah mencatat ironi menyakitkan, beberapa negara justru porak-poranda akibat kekayaan alamnya sendiri. Eksploitasi besar-besaran tanpa pengelolaan berkelanjutan telah membawa mereka menuju jurang krisis ekonomi, sosial, bahkan politik.

Di banyak negara berkembang, kekayaan alam justru menjadi pemicu kehancuran. Alih-alih dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, hasil bumi dijadikan alat kepentingan segelintir elit, atau dieksploitasi berlebihan oleh korporasi asing dan domestik tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Fenomena ini dikenal dengan istilah resource curse atau kutukan sumber daya alam.

Salah satu contoh paling tragis terjadi di Venezuela. Negara yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia ini sempat menikmati masa kejayaan pada 1980-an. Namun, eksploitasi minyak yang terlalu dominan membuat sektor-sektor ekonomi lain terabaikan. 

Ketika harga minyak jatuh di pasaran global pada 2014, Venezuela tidak siap. Kelangkaan pangan, obat-obatan, inflasi di atas 1.000%, hingga eksodus jutaan warga menjadi konsekuensi yang harus dibayar mahal. Kekayaan alam yang dulu dibanggakan kini menjadi simbol kegagalan ekonomi dan krisis kemanusiaan.

Cerita kelam juga datang dari Nigeria, negara penghasil minyak terbesar di Afrika. Sejak ditemukannya cadangan minyak di wilayah Delta Niger, eksploitasi berjalan masif. Sayangnya, keuntungan minyak sebagian besar hanya dinikmati oleh elite pemerintah dan perusahaan asing. 

Di sisi lain, penduduk lokal harus menghadapi pencemaran air, tanah, dan udara yang parah. Konflik bersenjata antara kelompok separatis, milisi lokal, dan pemerintah terus berlangsung hingga kini, sebagian besar dipicu oleh ketidakadilan distribusi hasil SDA.

Kawasan Amazon di Brasil menjadi sorotan dunia karena tingkat deforestasi yang sangat tinggi. Demi membuka lahan bagi perkebunan sawit, peternakan, dan tambang, jutaan hektare hutan hujan dihancurkan setiap tahun. 

Baca Juga:  “Merah Putih One For All”: Ketika Niat Baik Tersandung Dua Kontroversi

Amazon, yang berperan vital dalam menyerap karbon dioksida global, kini terancam kehilangan keseimbangan ekosistemnya. Selain mempercepat krisis iklim, deforestasi juga mengusir komunitas adat dari tanah leluhur mereka, memicu konflik horizontal, dan memperparah ketimpangan sosial.

Tidak jauh berbeda, Republik Demokratik Kongo (RDK) dikenal sebagai negara dengan cadangan mineral luar biasa seperti kobalt, tembaga, dan berlian. Ironisnya, kekayaan ini menjadi akar dari konflik bersenjata yang berlangsung selama puluhan tahun. Banyak pihak yang terlibat dalam eksploitasi ilegal, termasuk kelompok bersenjata yang memanfaatkan hasil tambang untuk mendanai peperangan. Penduduk sipil menjadi korban, sementara korporasi internasional terus mengeruk keuntungan.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia juga menghadapi ancaman serupa. Eksploitasi tambang nikel, emas, dan batu bara yang intensif di Papua, Sulawesi, dan Kalimantan membawa kerusakan lingkungan yang masif. 

Tambang-tambang besar menyumbang pendapatan nasional, tetapi di sisi lain menyebabkan hilangnya hutan, pencemaran sungai, dan konflik lahan dengan masyarakat adat. Praktik pembukaan lahan untuk perkebunan sawit pun memperparah deforestasi dan kebakaran hutan tahunan.

Pakar ekonomi lingkungan dari Harvard University, Prof. Jeffrey Sachs, mengatakan bahwa eksploitasi SDA tanpa kebijakan yang transparan dan akuntabel hanya akan menciptakan “ilusi kemakmuran”. “Kekayaan sesungguhnya bukan pada berapa banyak minyak, emas, atau kayu yang dimiliki, tetapi pada bagaimana negara mengelola kekayaan itu untuk generasi kini dan masa depan,” tegasnya.

Apa yang dialami negara-negara tersebut menjadi peringatan penting bahwa eksploitasi alam yang tidak terkendali hanya akan membawa kerugian jangka panjang. Kekayaan alam bukan jaminan kemakmuran bila tidak diimbangi dengan tata kelola yang bijak dan berkeadilan. Dunia, termasuk Indonesia, harus segera beralih dari mentalitas “eksploitasi” menuju “pelestarian dan keberlanjutan”. Jika tidak, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu. [AA/451] [TPT/450].

Baca Juga:  MoU Perpustakaan BJ Habibie

Sumber:

https://www.earth.columbia.edu/sitefiles/file/about/director/pubs/EuroEconReview2001.pdf

https://www.researchgate.net/publication/380204894_The_Curse_of_Natural_Resources_Paradox_of_Abundance_the_Case_of_Venezuela

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

| METANOAIC | Torehan Tinta Pergerakan |                          | METANOAIC | Torehan Tinta Pergerakan |                          | METANOAIC | Torehan Tinta Pergerakan |

BERITA TERBARU