Sumber : kurio.id
METANOIAC.id Ketika kembali ke dalam kelas buku tak ada lagi gunanya, hanya sebuah pajangan yang tak berarti bagi kebanyakan khalayak. Sentuhan layar menjadi sebuah pedoman yang tak terkalahkan. Apa yang diciptakan membuat beberapa orang menderita kendati sedari kecil telah bercengkerama dengan telepon pintar yang disebut teman kecil itu membuatnya lupa akan dunia yang sebenarnya. Kian lama tak ada lagi interaksi langsung, semua hangus seketika ketika barang itu mendoktrin mereka tuk digunakan, walau hanya sekedar menatap pesan lama yang tak ada pentingnya sama sekali.
Kembali pada buku yang telah usang di bawah kelabu. Amat kelam nasib kita yang berat tuk memandangnya. Coba saja, mereka-mereka tak mampu membaca tulisan pada tiap lembaran kata yang amat bermakna bagi kaum bibiliophile. Dahulu, buku yang tadinya akan menjadi panutan tak akan pernah dimakan lumut. Sekarang, mereka menyelimutinya dengan debu yang amat sangat tebal, dengan tumpukan buku-buku lainnya.
Begitulah cerita dalam kelas ini, tatapan mereka hanya mengarah ke bawah, mayoritas kini beralih menjadi generasi tunduk. Akankah itu berlanjut hingga esok, lusa, pekan selanjutnya, bulan berikutnya, tahun yang kan menanti? Mungkin saja. Generasi tunduk kan menyongsong kelas ini terus menerus. Generasi yang terkesima oleh layar amoled. Bukan mereka lagi yang menambah ilmu melalui nalar.
Beberapa cara mungkin telah beberapa orang telah lakukan demi menanggalkan yang namanya handphone pintar. Mulai dari membiasakan mencari kesibukan, ada juga yang berusaha untuk menjadi sosok kutu buku. Tapi apa? Nihil. Mereka yang telah terjerumus akan kehebatan dari teknologi tak bisa lepas pandangannya dari layar kaca handphone-nya.
Menerima keadaan seperti ini mungkin membuat beberapa orang resah. Utamanya kami yang melihat situasi yang tak kondusif di kelas. Pasalnya, pada awal jumpa hingga lonceng sekolah berbunyi dapat dihitung berapa banyak kalimat langsung oleh mereka, bahkan diri ini sendiri.
Apa ini efek yang ditimbulkan oleh handphone? Layarnya begitu cerah hingga mata tak lagi mau menatap antar satu dengan yang lain. Begitu terus hingga kapan gerangan? Hal yang kecil begitu tak mendasar pada mereka kembali terpaut oleh tipuan budi daya manusia. Hal girang yang dikerjakan tanpa memikirkan nasib diri sendiri, orang lain, bahkan nasib bangsa.
Sebab beberapa dampak yang menimbulkan suatu hal yang tak ada gunanya sama sekali. Mungkin beberapa dampak positif, handphone dan melalui media sosial dan dapat dengan mudah melalukan segala hal administrasi bahkan mempermudah dalam kebutuhan hidup manusia.
Acap kali kita sakit hati bila tidak membawa sebuah teman yang “penting” menurut kita. Sedangkan beberapa kawan berwujud nyata telah merangkul dengan penuh perhatiannya. Apa boleh buat, terpaksa kita menyakini hal itu, bahwa tanpa handphone kita masih bisa tertawa lepas.
Bagaimana sebuah buku? Bila tengah berdiskusi dan berbincang secara hangat, buku bisa menjadi landasan dan acuan dalam mengemukakan pendapat. Terpenting dalam menyampaikan pesan dan sebuah retorika yang mendasar. Semua bisa sebab buku mendominasi bila dikaji lebih dalam lagi. Bila perlu, kajian khusus mengenai objek ini bisa dilaksanakan demi melengkapi esensi sebuah buku.
Paduan antara buku dan handphone perlu demi menunjang perjuangan dalam kehidupan. Namun apabila salah satu dari kedua komponen ini lebih mendominasi, tidak menutup kemungkinan hal yang tak diinginkan terjadi. Apakah boleh? Tentu saja. [AR/303]