Metanoiac.id – Di tengah gegap gempita Lebaran—dengan meja makan penuh sajian, baju baru, dan tawa keluarga besar—terselip satu ritual tahunan yang kerap luput dari sorotan media: perampasan hak anak atas Tunjangan Hari Raya (THR) yang mereka kumpulkan dengan penuh semangat.
Modusnya sederhana. Seorang anak baru saja menerima amplop dari tante, om, atau kakek-neneknya. Sebelum sempat diselipkan ke dalam saku, seorang ibu (atau ayah, meski lebih jarang) datang dengan senyum dan kalimat pamungkas: “Sini Mama simpan dulu, nanti hilang,” atau versi yang lebih meyakinkan, “Nanti Mama investasikan, biar uangnya berkembang.”
Kedengarannya mulia, bahkan penuh niat baik. Namun kenyataannya, bagi banyak anak, itu adalah kali terakhir mereka melihat uang tersebut.
Fenomena ini, jika mau jujur, adalah bentuk “korupsi” mikro di dalam lingkup keluarga. Memang, tidak ada pasal hukum yang bisa dijatuhkan, tidak ada KPK yang akan turun tangan, tapi praktik ini tetap meninggalkan jejak: pelajaran awal bagi anak bahwa kepercayaan bisa diambil-alih oleh kekuasaan, bahkan dari orang tua sendiri.
Orang tua mungkin berdalih, “Itu kan uang keluarga juga,” atau “Toh nanti dipakai buat keperluan anak.” Tapi disitulah letak masalahnya: uang itu diberikan untuk anak, dan jika orang tua merasa lebih tahu cara mengelolanya, bukankah sebaiknya diajak bicara, dijelaskan, bahkan dilibatkan?
Anak-anak, bahkan yang masih kecil, bisa memahami konsep menabung, berbagi, atau menyimpan. Tapi yang mereka butuh adalah kejujuran dan kepercayaan, bukan manipulasi dengan bungkus manis.
Memang tidak semua kasus berujung tragis. Ada orang tua yang benar-benar menyimpan dan mengembalikan, atau bahkan menambahkan. Tapi banyak juga yang menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang tidak pernah dikonsultasikan. Ada yang diam-diam habis di supermarket, ada yang berpindah bentuk menjadi skincare, bahkan ada yang masuk ke angsuran cicilan.
Kita mungkin tertawa menyebut ini “tradisi Lebaran.” Tapi jika ditelaah lebih dalam, ini adalah salah satu bentuk awal dari pembelajaran kekuasaan tanpa akuntabilitas. Anak-anak menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana uang yang secara sah mereka terima bisa hilang tanpa jejak, dan bagaimana orang yang paling mereka percayai justru menjadi aktor utamanya.
Momen Lebaran seharusnya jadi waktu terbaik untuk menanamkan nilai—tentang berbagi, menghargai pemberian, dan mengelola keuangan dengan bijak. Bukan malah menjadi panggung pertama bagi anak untuk belajar bahwa yang kuat bisa mengambil hak yang lemah dengan alasan “demi kebaikan.”
Sudah saatnya kita menyudahi “korupsi tingkat keluarga” ini. Mari jadikan momen THR sebagai awal pendidikan keuangan yang sehat—dan yang paling penting, jujur. [MAP/417]