METANOIAC.id Di tengah derasnya arus informasi, jurnalis menghadapi tantangan besar yakni bagaimana tetap tegak dan konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme yaitu objektif, berimbang, dan jujur.
Namun sungguh ironis, ketika ada oknum yang lantang mengkritik isi berita dengan dalih “tidak sesuai fakta versi mereka”, namun saat diberikan ruang untuk menjelaskan dan dikonfirmasi, mereka memilih diam, menolak wawancara.
Kritik tentu sah-sah saja, karena pers juga bukan tanpa cela. Namun, kritik seharusnya disampaikan dalam ruang yang sehat dan konstruktif, bukan sekadar penghakiman di ruang-ruang sunyi yang jauh dari keberanian untuk berdialog.
Lantas, apa yang sebenarnya mereka inginkan? Apakah mereka mengejar kebenaran? Atau hanya ingin setiap narasi dibentuk sesuai dengan sudut pandang mereka saja?
Kita harus sepakat bahwa jurnalisme bukan alat propaganda. Jurnalis bukan perpanjangan lidah satu pihak semata. Mereka hadir sebagai penengah, sebagai pencatat fakta yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada hal yang belum sesuai atau kurang lengkap, ruang klarifikasi selalu terbuka.
Tapi bagaimana bisa kita menyajikan sisi mereka, jika mereka sendiri menolak untuk berbicara?
Bob Woodward pernah berkata, “Dilema utama dalam jurnalisme adalah bahwa kita tidak tahu apa yang belum kita ketahui.”
Kalimat ini menggarisbawahi bahwa dalam dunia jurnalistik, selalu ada ruang kosong yang belum terisi oleh informasi yang penting. Jurnalis selalu berusaha mencari kebenaran, namun kebenaran itu hanya bisa ditemukan jika semua pihak bersedia terbuka dan memberikan informasi.
Ketika pihak tersebut memilih untuk diam, mereka secara tidak langsung mempertahankan ruang kosong yang belum terisi, dan jurnalis harus melanjutkan tugas mereka berdasarkan informasi dan data yang tersedia, bukan berdasarkan asumsi atau interpretasi sepihak.
Menolak diwawancara namun menyalahkan isi pemberitaan, ibarat menuntut keadilan tanpa bersedia hadir di ruang sidang. Padahal, kehadiran dan keterbukaan untuk berbicara justru menjadi bagian penting dari terwujudnya pemberitaan yang adil dan berimbang.
Perlu juga dipahami, bahwa berita yang telah terbit tidak dapat dihapus begitu saja hanya karena satu pihak merasa tidak sepakat. Pers bukan media sosial yang bisa di-takedown karena laporan sepihak. Namun, jika pihak yang merasa dirugikan bersedia memberikan keterangan, maka berita lanjutan dapat diterbitkan. Ruang itu selalu ada, bukan untuk menghapus, tapi untuk melengkapi kebenaran.
Jurnalis tidak bekerja dengan asumsi, kami menyusun fakta dari apa yang disampaikan, bukan dari apa yang disembunyikan. Dan objektivitas bukan berarti memberi ruang sama rata, tapi memberi ruang berdasarkan siapa yang bersedia menyuarakan kebenaran.
Oleh karena itu, bagi siapa pun yang merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan, maka jangan ragu untuk bersuara. Gunakan hak jawab, sampaikan fakta versi Anda, dan biarkan publik menilai secara adil. Jangan hanya mengeluh di balik layar tanpa mau mengambil bagian dalam proses klarifikasi. Karena pada akhirnya, yang kau hadapi bukan jurnalis, tapi suara kebenaran itu sendiri.
Jika Anda benar, maka bicaralah. Karena diam tidak akan membela Anda, justru diam akan membungkam Anda dalam catatan sejarah yang tak akan pernah ditulis atas nama Anda. [SRP/425]