METANOIAC.id Scrolling menjadi rutinitas harian kebanyakan remaja saat ini. TikTok bukan lagi sekadar aplikasi hiburan bagi banyak remaja, ini sudah menjadi candu. Scroll pagi, siang, malam, tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Video-video singkat yang lucu, menarik, atau bahkan edukatif membuat siapa pun betah berlama-lama. Tapi di balik keseruannya, muncul satu pertanyaan besar, Apakah ini masih sebatas hiburan, atau sudah masuk ke tahap kecanduan?
Dikutip dari Kompas.com, 25/02/2025, Psikolog asal Amerika Serikat Dr Jean Twenge menyatakan, algoritma TikTok merupakan sesuatu yang sangat canggih dan melekat, terutama pada remaja. Hal ini akan membuat remaja akan terlibat dalam platform dan mempunyai jam menonton (watch time) lebih lama. Hal ini bisa mempengaruhi pola tidur, konsentrasi, bahkan kondisi emosional remaja yang mulai bergantung pada konten untuk merasa senang atau terhibur.
Kenapa Bisa Kecanduan?
Kecanduan TikTok bukanlah kebetulan. Berdasarkan teori “Uses and Gratifications“, pengguna media sosial memilih dan menggunakan media tertentu karena dapat memenuhi kebutuhan psikologis mereka, seperti hiburan, pelarian dari stres, hingga mencari eksistensi diri. TikTok berhasil memenuhi semua itu dalam satu aplikasi: hiburan cepat, interaksi sosial lewat komentar dan likes, serta kesempatan untuk viral.
Tak hanya itu, fitur “infinite scroll” dan rekomendasi konten tanpa henti membuat pengguna terus terpancing untuk menonton “satu video lagi” tanpa sadar telah menghabiskan waktu berjam-jam. Menurut laporan DataReportal tahun 2024, TikTok memiliki 126,8 juta pengguna berusia 18 tahun ke atas di Indonesia, menunjukkan dominasi platform ini di kalangan dewasa muda .
Dampaknya Terhadap Remaja
Jika digunakan berlebihan, TikTok bisa memberikan dampak negatif pada keseharian remaja. Dari sisi fisik, terlalu lama menatap layar bisa menyebabkan kelelahan mata dan gangguan tidur akibat penggunaan sebelum tidur.
Dari sisi mental dan emosional, kecanduan konten hiburan instan dapat menurunkan kemampuan fokus, menurunkan toleransi terhadap kebosanan, dan memicu rasa cemas atau depresi ketika tidak bisa mengakses aplikasi.
Dalam jangka panjang, ini juga dapat mengganggu hubungan sosial di dunia nyata. Banyak remaja yang lebih memilih berinteraksi lewat komentar dan DM dibandingkan berkomunikasi secara langsung. Beberapa bahkan mengalami fear of missing out (FOMO) jika tidak mengikuti tren atau konten yang sedang viral.
TikTok memang seru dan menyenangkan, apalagi dengan konten yang terus mengalir tanpa henti. Namun, jika tidak dikendalikan, ia bisa berubah menjadi candu yang perlahan menggerus waktu, fokus, dan kesehatan mental. Generasi Z adalah generasi digital yang cerdas—saatnya bijak memilih mana yang benar-benar dibutuhkan dan kapan harus berhenti sejenak dari layar. [AN/426]
Referensi: