Oleh: Wulan Nur Khofifah
(Winner Cerpen METAFAIR 2021)
METANOIAC.id Jingganya merebak ketika kakiku sampai di ujung tanah. Satu langkah ke depan, sudahlah melayang diriku setelahnya. Aku bak telur di ujung tanduk, menatap senja penuh harap. Semoga ya esok hari dunia akan lebih ramah dari tadi. Tentang pertengkaran itu, kukira kan selesai dengan senja ini. Tetapi ternyata harus disambung besok pagi.
Satu dua burung melintas di hadapan, lalu bertengger pada sebuah dahan. Ah, andai hidupku sesederhana burung itu. Hidup seperti yang digariskan, lalu mati dan selesai. Tidak ada tuntutan untuk memilih jalan mana yang kan dilalui. Juga tak perlu bersedih karena kehilangan.
Aku memang payah, lebih memilih pergi dan menganggap semua usai begitu saja. Padahal suatu hari masalah itu akan kembali menagih janji untuk segera diselesaikan.
Senja, baiklah aku pulang sekarang. Terima kasih telah menamparku dengan jinggamu. Terima kasih telah mencambukku dengan dinginmu.
“Ah, tau gini gue pulangnya besok aja,” ucapku menggerutu sembari meneguk minuman kemasan yang kubeli di sebuah minimarket.
“Bagi dong, gue aus nih,” kata Laras teman baikku. Ia teman paling setia yang kumiliki. Bahkan saat tersulitpun Laras hadir.
“Dasar gak modal,” gerutuku lagi. Aku dan Laras memang suka bercanda. Seringkali Laras melakukan hal bodoh hanya untuk membuatku tertawa.
Malam semakin larut dan kami berdua masih terjebak di antara puluhan kuda besi. Pikiranku melayang terbang ke masa kecil.
“Ayah, masih lama ya?” tanyaku dengan mata setengah terbuka.
“Sebentar lagi kok, kamu capek ya? Nanti kalau sudah gak macet kita istirahat dulu di restoran ya,” bujuk Ayah.
“Oke,” si aku di masa kecil kembali tertidur.
“Brukkkk,” Sebuah benturan keras mendobrak mimpi manisku. Jantungku berdebar kencang. Mataku terbuka sempurna kini. Kulihat bibi pengasuhku meringis ketakutan.
“Ayah mana, Bi,”tanyaku cemas.
“Ayah keluar sebentar,” teduhnya menenangkan. Bibi sudah kuanggap ibu sendiri meski aku tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya hangat pelukan ibu. Lembut belaiannya, hanyalah bias yang tak pernah bisa kuperkirakan. Bibi seolah memberi satu keping dalam puzzle hidupku yang hilang.
Seketika seorang pria masuk ke dalam mobil. Napasnya penuh cemas. Tangannya sempurna bersedia menguasai setir mobil.
“Ayah dari mana?”
“Habis nguburin kucing, Nak”
“Oh Ya ternyata sekarang udah gak macet lagi. Kalau begitu, kita makan di restoran mana?” tanyaku antusias.
Tanpa membalas pertanyaanku, Ayah malah asyik dengan setirnya. Laju kendaraan Ayah sangat kencang. Cahaya lampu kota terlihat seperti garis lurus tanpa jeda. Aku meringis memeluk bibi erat.
“Kay,” tangannya mendarat tepat di pundak kiriku. Memecah ingatan yang gaduh tentang masa kecil.
“Lampunya udah ijo tuh,” Tangan Laras menunjuk kearah lampu stopan yang sudah berwarna hijau itu. Perlahan kami mulai bisa terbebas dari kemacetan.
“Oh, Sorry-sorry,” ucapku panik.
“Kay, kalau loe belum tenang, kenapa pulang? loe masih punya waktu satu hari lagi untuk nikmatin hak loe.
“Bukan, Ras. Bahkan satu hari kemarin itu gue anggap utang.”
“Ya ampun Kay, Gue sedih liat keadaan Loe.”
“Jadi dewasa itu perih ya Ras.”
“Sabar, namanya juga hidup. Kalau lurus-lurus aja namanya jalan tol.”
Tidak terasa, kuda besi ini telah sampai di rumahnya. Laras tidur di rumahku malam ini. Aku tidak bisa menerka isi kepalanya namun aku mengerti raut wajah Laras yang cemas karena harus tidur di rumah yang telah bersegel. Khawatir esok dipaksa keluar.
Benar saja, belum juga matahari bertengger di tempatnya, orang – orang berseragam datang untuk menjemputku.
“Hai manusia biasa, waktumu untuk bermanja telah selesai. Sekarang saatnya kamu berdiri selayaknya manusia dewasa. Berani menempatkan benda pada haknya. Mengembalikan rasa pada yang seharusnya,” bisiku dalam hati.
Kulihat lelaki gagah itu layu. Jakunnya terlihat jelas, matanya hitam bak mata panda. Laki-laki yang memberiku segalanya kini menatapku nanar. Tanganku mengepal. Ingin aku menonjok wajahnya. Namun kepalan itu lepas seketika digantikan derai air mata yang jatuh di pundaknya. Aku memeluknya erat. “Maaf” bisiknya lirih.
Mana bisa aku membenci orang yang selama ini membesarkanku dengan susah payah. Dia bukan hanya ayah, tapi juga ibu. Ayah, engkau keliru. Ambisimu untuk membuatku bahagia sampai menghalalkan segala cara ternyata membuatku sengsara di akhirnya. Bisnismu hancur, uangmu habis untuk menyumpal mulut-mulut ember. Kasus sepuluh tahun lalu terungkap lagi.
Anggap saja, kami sedang membayar kebahagiaan yang dulu kami pinjam dari orang tidak bersalah itu. Aku tahu, uang satu koper tidak bisa menghidupkan kembali ayah mereka yang pergi.
Kulihat seorang ibu dan tiga anaknya menatap aku dan ayah. Kami hanya bisa tertunduk malu. Kucoba untuk menghampiri mereka meski dada sesak dan mulut bergetar.
“Maaf, Bahagiamu aku pinjam sebentar,” bisikku pada sang Ibu.
“Saya sudah lupa. Tapi Ayahmu tetap harus membayarnya. Agar tidak ada lagi orang di dunia ini yang bisa membeli nyawa dengan uang,” ucapnya tegar.
Ayah harus menebus dosanya. Sebab keadilan memang harus ditegakkan. Pedihku ini tidak sebanding dengan pedih keluarga korban tabrak lari Ayah. Peluhku kali ini tidak sebanding dengan puluhan nyawa yang melayang akibat korupsi yang ayah lakukan.
Senja mengajarkanku bahwa lari tidak akan pernah menjadi jawaban. Membias pun mustahil dilakukan. Aku dan Ayah mungkin bisa menyogok hakim dan seperangkatnya. Tapi tidak dengan waktu. Dengan cantiknya, waktu akan mengembalikan semua pada tempat yang semestinya.