![]() |
Kaki Gunung. Kaki Gunung Bawakaraeng di Selimuti Kabut, Senin (28/05/2018) [YOO/246] |
METANOIAC.id Pada hari Jum’at 26 Maret tahun 2004 lalu, di Gunung Bawakaraeng terjadi gerakan tanah atau longsor besar berupa runtuhnya dinding kaldera gunung yang diikuti oleh bencana banjir bandang. Bencana tersebut menewaskan dan menciderai puluhan orang, 10 rumah dan satu sekolah tertimbun akibat peristiwa tersebut. Puluhan hektar sawah juga tertimbun, hal ini kemudian mengakibatkan ribuan orang terpaksa harus mengungsi.
Dilansir dari makassar.terkini.id, menurut Prof Dr Ir Dorothea Agnes Rampisela, dalam Dialog dengan tema “Gunung Bulu’ Bawakaraeng Terdzholimi di Tanah Sendiri” pada kegiatan Extreme Mind Festifalse di Universitas Fajar mengatakan, pergerakan material berupa pasir dan batu yang besarannya atau volumenya mencapai 243 juta meter kubik pada Gunung Bawakaraeng tahun 2014 itu merupakan hal yang berbahaya.
Menurutnya, pergerakan sedimen yang keluar dari gunung dalam jumlah yang besar biasanya disebabkan oleh letusan, sementara yang terjadi pada Gunung Bawakaraeng bukan letusan. Pasca peristiwa tersebut, kedudukan Gunung Bawakaraeng mengalami kemunduran yang cukup buruk dengan laju percepatan kehancuran yang meningkat.
Dalam kegiatan nonton dan diskusi film Pers Mahasiswa PNUP (Politeknik Negeri Ujung Pandang) kamis pekan lalu (31/05), Candra Nur dari UKM Mapala berbagi mengenai beberapa peran dan kedudukan Gunung Bawakaraeng serta kondisinya yang memprihatinkan saat ini.
![]() |
Menyaksikan. Peserta kegiatan Nobar dan Diskusi Film Pers Mahasiswa PNUP menyaksikan film Asimetris sebelum diskusi bersama UKM Mapala di Kantin PNUP, Kamis (31/05/2018) [CAB/RG] |
Candra memulai diskusi dengan menjelaskan posisi Gunung Bawakaraeng sebagai sumber utama ketersediaan air di tujuh wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan. Daerah tersebut yakni Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. “Itulah kenapa kita dapat menemukan air pada puncak Gunung Bawakaraeng,” ucap Candra.
Gunung Bawakaraeng merupakan pertemuan dan hulu dari tiga sungai besar yang ada di Sulawesi Selatan. Candra kemudian menjelaskan hal tersebut dikarenakan komposisi dan struktur Gunung Bawakaraeng itu sendiri. Dalam tulisan Subandi mengenai Kondisi Geologi Dan Detail Kaldera Gunung Bawakaraeng, Bawakaraeng dibangun oleh Endapan Vulkanik Gunung Lompobatang yang terdiri dari Lava, tufa Lahar dan breksi vulkanik yang telah mengalami pelapukan. Pengendapan pada waduk yang sangat tinggi membuat Gunung Bawakaraeng memiliki kapasitas air hingga 340 juta meter kubik.
Permukaannya lempung lanauan hingga pasir lanauan berwarna kuning kecoklatan hingga coklat kehitaman membuat Gunung Bawakaraeng bersifat gembur. Hal ini yang membuat Gunung Bawakaraeng berbeda dari gunung pendakian lainnya menurut Candra. Gunung Bawakaraeng sangat rentan terhadap kerusakan akibat beban yang berat.
Salah satu penyebab kerusakan Gunung Bawakaraeng yang dituturkan Candra ialah pendakian massal pada bulan Agustus untuk upacara 17an. Berat ribuan orang membuat komposisi Gunung Bawakaraeng dapat patah. “Bayangkan saja jika ada empat ribuan orang yang mendaki Gunung Bawakaraeng, belum berat carrier yang mereka bawa,” tuturnya.
Kerusakan Gunung Bawakaraeng pun terus mengalami peningkatan, baik secara fisik maupun non fisik. Kerusakan fisik tersebut diantaranya adalah kerusakan geomorfologi, kerusakan ekologi, kerusakan vegetasi dan habitat, serta kerusakan pada aspek estetika. Sedangkan kerusakan non fisik yang dimaksud adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas-aktifitas yang bertentangan dengan kedudukan Gunung Bulu Bawakaraeng.
“Mungkin karena gunung diperlakukan sebagai objek, sehingga kita datang untuk melakukan apa saja terserah. Wisata dan hura-hura. Orang tua kita dulu hanya menjadikan Gunung Bawakaraeng sebagai tempat berkebun, penelitian, ritual agama dan adat,” ujar Candra.
Dengan segala keprihatinan atas Gunung Bawakaraeng, FISS (Forum Intelektual Sulawesi Selatan) kemudian membuat petisi kepada pemerintah provinsi Sulawesi Selatan semenjak satu bulan yang lalu untuk menjadikan Gunung Bawakaraeng sebagai kawasan Heritage. Untuk ikut menandatangani petisi, silahkan menungjungi laman chn.ge/2row7xY Masalah lingkungan bukan hanya masalah komunitas pecinta alam dan lingkungan, tapi semua elemen masyarakat. “Jangan mengelak lagi atas perasaan bersalah jika anak-anak yang lahir 20 tahun kedepan tidak lagi menikmati keindahan gunung bawakaraeng,” tutup Candra. (YOO/246)