METANOIAC.id “Bangku pendidikan adalah tempat orang bodoh belajar. Jika tidak ada orang bodoh, maka siapakah yang harus diajar?”
Ibarat kedua kaki yang mampu menopang seluruh anggota tubuh, hadirnya pendidikan mampu mengangkat derajat seseorang. Dunia pendidikan merupakan tempat berteduh bagi orang-orang ‘bodoh’ untuk dapat dididik, layaknya secuil cahaya yang mampu menerangi kegelapan. Dan untuk mencapai hal tersebut, tentunya harus melalui proses yang tidak sebentar.
Dunia pendidikan, tak terkecuali di bangku perkuliahan, telah menyuguhkan dua kegiatan yang dapat dinikmati oleh para pemburu ilmu, yakni kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Pemburu ilmu yang dapat menikmati kegiatan tersebut telah dipastikan mengantongi identitas sebagai ‘Mahasiswa’ dan resmi terdaftar di perguruan tinggi di mana mereka bernaung.
Untuk kegiatan intrakurikuler ini, diwajibkan agar diikuti oleh seluruh mahasiswa dengan jadwal yang telah ditentukan. Tidak hanya dituntut untuk menundukkan teori, namun harus melumpuhkannya melalui praktik. Kegiatan ini berfokus dalam bidang akademik sesuai jurusan yang ditekuni hingga mencapai gerbang kelulusan.
Bidang akademik tidak terlepas dengan kegiatan menulis. Teringat perkataan Imam Asy-syafi’i yang berkata, “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.” Kalimat tersebut benarlah adanya, sebab daya ingat manusia lemah dan terbatas.
Jika daya ingat dikaitkan dengan materi perkuliahan, tidak jarang mahasiswa hanya menghafalkan materi terutama saat menyambut musim ujian. Pertanyaannya, apakah dengan cara menghafal dapat menjamin mengurangi kebodohan? Jawabannya tentu ada pada diri masing-masing.
Sebaliknya, kegiatan ekstrakurikuler tidak diwajibkan, namun dapat menjadi opsi untuk dapat memanfaatkan wadah tersebut dalam mengasah minat dan bakat yang dimiliki, serta mendapatkan berbagai pengalaman lainnya. Mahasiswa dapat mengembangkannya melalui organisasi-organisasi internal kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun organisasi yang berada di eksternal kampus.
Pada kenyataannya, tidak banyak yang berani untuk terjun dalam dua kegiatan tersebut sekaligus. Namun, tak jarang juga kita temukan mahasiswa yang hanya fokus mengembangkan akademiknya dan memilih untuk tidak berorganisasi. Mengapa? Salah satu alasannya adalah tingginya rasa khawatir bahwa berorganisasi dapat menyebabkan nilai yang jeblok. Apapun pilihannya tidak menjadi masalah karena setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, yang salah adalah apabila kompas kecerdasan selalu diukur dengan tingginya Induk Prestasi Komulatif (IPK).
Hal tersebut tidak dapat dibandingkan dengan mudahnya men-delete foto dalam gallery, karena kenyataan yang terjadi, IPK lebih mendapat sanjungan di tengah masyarakat bahkan dalam family circle. Tidak heran, budaya tersebut tumbuh dan bermekaran dengan baik di negeri ini. Sementara itu, organisasi bukanlah satu-satunya jalan dalam menentukan segala aspek kehidupan.
Menapaki kaki untuk menjelajah di berbagai organisasi kampus tidak pernah disalahkan. Selain mahasiswa tertarik dengan bidang penalaran ataupun minat dan bakat, organisasi juga akan memberikan feedback-nya dengan memberikan wawasan, teman, bahkan ketenaran. Hanya saja, masih banyak yang belum mampu membagi waktu dengan baik, hingga tak jarang kegiatan intrakurikuler pun menjadi taruhannya.
Meski begitu, sah-sah saja jika ingin menjatuhkan fokus di antara dua kegiatan tersebut dan sejatinya, proses memilih selalu membuat siapapun akan kebingungan hingga berakhir pada keputusan.
Seandainya dua kegiatan tersebut dikaitkan dengan tim sepakbola, maka kegiatan intrakurikulerlah yang menjadi pemain dan kegiatan ekstrakurikulerlah yang menjadi supporter-nya. Artinya, jika aktivitas tersebut dikolaborasikan ‘si mahasiswa’, maka terjadilah simbiosis mutualisme dan mampu meng-upgrade dirinya semakin baik.
Yang perlu diingat kembali, percaya diri tidak akan tumbuh begitu saja apabila keraguan dan ketakutan masih bersemayam, sehingga besarnya keinginan tidak sejalan dengan tindakan. Bukankah waktu selalu melangkah ke depan?
Jika percaya diri berhasil tumbuh, maka keberanian untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis atau bahkan dengan siapapun itu akan semakin terlatih.
Perjalanan hidup selalu membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar, termasuk keluarga, dosen, juga teman. Sebelum mendapatkannya dari mereka, jangan lupa untuk accept yourself and love yourself terlebih dahulu. Itulah pentingnya ada tempat bernaung bagi orang ’bodoh’ untuk terus belajar, diajar dan kelak dialah yang akan mengajar. [INK/296]