
METANOIAC.id Raja Ampat, Papua Barat Daya – Keindahan Raja Ampat yang selama ini dikenal dunia sebagai “surga terakhir di bumi” kini menjadi sorotan setelah munculnya aktivitas penambangan di beberapa wilayah. Kehadiran tambang tersebut menimbulkan dampak sosial yang nyata bagi masyarakat sekitar, terutama komunitas adat yang menggantungkan hidup pada kelestarian alam.
Julukan “surga terakhir” disematkan bukan tanpa alasan. Raja Ampat ini dikenal luas berkat keindahan lautnya yang memukau serta pemandangan alam yang masih sangat alami. Pulau ini diakui sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati terumbu karang terbesar di dunia. Sekitar 75 persen dari seluruh spesies karang yang diketahui dapat ditemukan di perairan sekitar Kepulauan Raja Ampat, yang merupakan rumah bagi beberapa spesies paling beragam di dunia. Menjadikannya kawasan strategis dalam konservasi lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Namun, aktivitas pertambangan yang mulai dilakukan di beberapa wilayah adat mulai mengusik keseimbangan ekologis Raja Ampat. Kegiatan ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi merusak hutan dan mencemari laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Seiring meningkatnya tekanan industri di wilayah konservasi, risiko kerusakan jangka panjang terhadap alam dan budaya lokal pun semakin besar. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat mengancam keberlanjutan pariwisata dan ketahanan sosial-ekologis Raja Ampat secara keseluruhan.
Komisi Nasional (Komnas) HAM mendapati bahwa terdapat enam pulau kecil di Raja Ampat yang menjadi lokasi penambangan nikel. Tambang tersebut dimiliki lima perusahaan, yakni PT Gag Nikel (Pulau Gag), PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawei), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Nurham (Pulau Waigeo), serta PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun), sebagaimana dilaporkan oleh DetikNews (13/06/2025).
Sementara itu, laporan dari Greenpeace Indonesia pada 12 Juni 2025 mencatat bahwa empat dari lima izin yang aktif tersebut berada di dalam kawasan Raja Ampat UNESCO Global Geopark, sebuah wilayah yang telah dipromosikan untuk konservasi dan pariwisata. Dampak pertambangan sudah terlihat di beberapa lokasi. Hutan telah dirusak dan limpasan air hujan kini membawa sedimen dari daerah yang telah dibuka. Hal ini menyebabkan peningkatan kekeruhan di laut yang menutupi terumbu karang, terlihat dari perubahan warna air di dekat dermaga dan area pertambangan.
Kekhawatiran terhadap dampak lingkungan ini juga menguat dari sisi hak asasi manusia. Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah, menyatakan bahwa pertambangan nikel di Raja Ampat berpotensi kuat menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya dalam konteks hak atas lingkungan hidup yang sehat.
“Setiap warga negara punya hak dan dijamin dalam konstitusi untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang sehat,” ujar Anis dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip dari DetikNews (13/06/2025).
Berbagai temuan dan peringatan dari lembaga seperti Komnas HAM dan Greenpeace semakin menyoroti urgensi penanganan kasus ini. Namun, respons pemerintah dinilai terlambat dan baru muncul setelah tekanan publik memuncak. Kritik pun mengemuka bahwa tindakan pencabutan izin baru dilakukan setelah kerusakan terlanjur terjadi di lapangan. Kondisi ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas industri ekstraktif di wilayah konservasi, serta minimnya pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut ruang hidup mereka.
Sebagai tindak lanjut atas berbagai tekanan dan sorotan publik, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memerintahkan pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah awal pemerintah dalam menata ulang tata kelola sumber daya alam yang selama ini kerap dipertanyakan akuntabilitas dan keberpihakannya terhadap lingkungan.
“Atas petunjuk Bapak Presiden, beliau memutuskan pemerintah akan mencabut IUP 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” ujar Prasetyo dalam jumpa pers, dikutip dari DetikNews, Selasa (10/6/2025).
Meski pencabutan IUP oleh pemerintah pusat patut diapresiasi, kebijakan ini harus disertai dengan langkah nyata di lapangan. Harapan publik kini tertuju pada komitmen pemerintah untuk tidak menjadikan keputusan tersebut sekadar respons sesaat terhadap tekanan media atau protes masyarakat. Langkah ini harus dibuktikan dengan transparansi dalam proses pencabutan, pemulihan kawasan yang terdampak, serta jaminan bahwa praktik serupa tidak terulang di masa depan. Tanpa pengawasan yang ketat dan pelibatan masyarakat adat secara aktif, kebijakan ini dikhawatirkan hanya akan menjadi wacana politik yang tidak menyentuh akar persoalan.
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata atau sumber daya ekonomi, melainkan warisan ekologis dan kultural yang tak ternilai. Melindungi wilayah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan upaya bersama yang berkelanjutan, harapannya Raja Ampat dapat terus menjadi “surga terakhir di bumi” yang lestari bagi generasi kini dan mendatang. Pencabutan izin tambang seharusnya menjadi langkah awal untuk meninjau kembali semua izin tambang di wilayah konservasi Indonesia. Dengan begitu, kejadian serupa tidak lagi terulang dan wilayah-wilayah penting seperti Raja Ampat bisa tetap terjaga untuk masa depan. [HAH/448]
Referensi: