Mari Menumbuhkan Budaya Baca Tulis |
METANOIAC.id National Institute for Literacy mendefinisikan “Literasi” sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Kemampuan tersebut sebenarnya sudah kita peroleh dari dalam kandungan ibu. Bertumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu, seorang anak mulai memahami dan menggunakan bahasa; dimulai dengan bahasa Ibu, kemudian berkembang menjadi bahasa nasional.
Untuk memiliki pola berbahasa yang baik dan benar, maka harus dikembangkan melalui latihan dari mengenal huruf, kata, kalimat, sampai membaca dan menulis. Namun jika tidak dibiasakan melatih kemampuan membaca dan menulis, maka ketika beranjak dewasa, minat baca dan menulis akan menurun.
Merujuk pada hasil survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2012, indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen; dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang masih mau membaca buku secara serius. Kondisi ini yang menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sumber (http://www.republika.co.id).
Banyak hal yang menjadi faktor penyebab rendahnya minat baca-tulis pada masyarakat Indonesia. Salah satunya dapat dimulai dalam lingkungan keluarga. “Jika orang tuanya membiasakan budaya membaca bagi sang anak, maka secara otomatis seorang anak akan tumbuh dengan kebiasaan membaca,” ujar Kepala UPT. Perpustakaan, Salmubi (22/12).
Salmubi kemudian melanjutkan dengan sebuah representatif dari luar negeri mengenai budaya baca tulis. “Di luar negeri, mulai dari kecil mereka sudah diajak oleh orang tuanya untuk ke perpustakaan dan perpustakaan pun seringkali mengadakan kegiatan bermain seperti storytelling,” lanjutnya.
Salmubi mengatakan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah juga mempunyai dampak yang besar terhadap anak di masa yang akan datang. Dalam proses pengajaran, guru jarang menginstruksikan kita untuk membaca di luar dari konteks pelajaran. Itulah yang menyebabkan siswa menjadi pasif dan hanya menerima tanpa berusaha sendiri untuk mencari tahu lebih banyak.
Selain itu guru juga jarang mewajibkan siswa untuk membaca cerita-cerita yang dimana itulah yang menjadi sumber inspirasi dan imajinasi. Padahal di dalam sebuah buku cerita terdapat pendidikan karakter dan moral yang baik.
Pengaruh yang lainnya datang dari kultur yang tumbuh saat ini. Kultur oral atau kultur bercakap yang dimana membuat tiap orang lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bercakap-cakap. Disamping itu, kemunculan teknologi dengan tawaran yang menggiurkan seperti facebook, twitter dan instagram membuat orang sampai tak sadar akan waktu.
Pekerjaan pun tak ada yang selesai karena pengaruh tersebut sangat besar di kehidupan sekarang, terlebih waktu untuk membaca buku sudah tidak ada.
“Tak sedikit orang yang bertanya pada saya jika sedang ada seminar, Kenapa baru 15 menit saya membaca, saya sudah rasa ngantuk?. Itu memang berpengaruh karena kebiasaan membaca harusnya dibangun dari awal,” ungkap Salmubi ketika ditanyai mengapa perlu mengembangkan budaya literasi.
Memang sulit untuk memahami sebuah teks jika struktur berpikir tidak terbiasa dengan struktur bacaan. Selain itu kosa kata yang terbatas akan membuat segalanya sulit untuk dipahami. Dengan membiasakan diri untuk melatih keaksaraan, setiap orang tidak lagi terpaku dengan batasan dalam belajar. Selain itu, wawasan akan mudah meluas dengan informasi yang ada di tiap literatur.
Mengembangkan budaya literasi dapat dimulai dari mana saja. Sudah selayaknya gerakan literasi mulai digalakkan dan himbauan secara moral dan struktur. Salmubi kemudian menutup dengan harap agar pimpinan, dosen maupun mahasiswa di level pengurus himpunan atau organisasi dapat menghimbau ide dan gagasan yang dapat menarik minat baca. “Sering mengkampanyekan tentang pentingnya membaca buku,” tutup Salmubi. [SS/249]
*sumber gambar: tes.com/teaching-resource/