“Korupsi adalah kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang Sangat Merugikan Bangsa dan Negara. Tidak cukup hanya dibasmi dengan lembaga yang berwenang saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam gerakan semesta”
Korupsi merupakan suatu tindakan seseorang untuk menguntungkan diri sendiri yang merugikan bangsa dan negara, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Dalam penjelasan tersebut, secara garis besar dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa korupsi dilakukan oleh orang per orangan atau individu untuk kepentingan pribadi dan atau golongannya dengan memanfaatkan kedudukan atau jabatannya.
Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia terus dimaksimalkan dengan berbagai hal yang telah dilakukan baik dari lembaga yang berwenang berdasarkan Undang-undang yang berlaku seperti: Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selain lembaga tersebut, berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) turut serta dalam memerangi korupsi di Indonesia.
Setiap tahun persentase korupsi di Indonesia masih sangat dalam jumlah yang besar meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya tapi bukan berarti korupsi di Indonesia sudah menempati posisi aman, seperti yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2018, di mana ICW menyebutkan bahwa terdapat 454 kasus korupsi yang ditangani oleh lembaga penegak hukum, dengan total tersangka yang ditetapkan sebanyak 1.087 orang dengan berbagai latar belakang profesi dan lembaga, dengan jumlah kerugian negara sebanyak 5,6 triliun.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke-89 dari 180 negara. Nilai yang berhasil diraih oleh Indonesia yakni 38 dengan skala 0-100, (semakin rendah nilainya, maka semakin korup negara tersebut) tetapi pemberantasan korupsi harus tetap ditingkatkan. Penindakan korupsi di Indonesia tentu harus dilakukan secara maksimal sebab pelaku korupsi di Indonesia tidak hanya mewabah pada kursi parlemen dan kursi eksekutif saja, bahkan nyaris pada kursi yudikatif.
Sebuah contoh konkret telah nyata terjadi dihadapan mata kita bersama, mulai dari kasus mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Priode 2016-2017 Setya Novanto dengan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), Mantan Menteri Agama Republik Indonesia 2009-2014 Suryadharma Ali, yang terjerat kasus penyelewengan dana haji, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2013 M. Akil Mochtar dengan kasus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, pelaku korupsi tidak hanya terjadi pada politisi, menteri, dan penegak hukum saja, bahkan korupsi juga terjadi pada lingkungan pemerintahan yang paling bawah yakni pemerintahan desa, pada tahun 2018 ICW mencatat terdapat sebanyak 104 kasus korupsi yang terjadi, dengan 148 orang tersangka dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 triliun.
Karena korupsi merupakan suatu tindakan pribadi atau individu, di mana individu tidak memiliki nilai integritas dalam dirinya, maka jalan untuk memberantas korupsi di Indonesia adalah dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada setiap pribadi manusia. Nilai-nilai anti korupsi yang akan menjadikan individu memiliki integiritas yang tinggi, tanpa kita sadari tentu sangat relevan dengan berbagai nilai falsafah yang telah menjadi warisan leluhur kita.
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan adat istiadat dan kebiasaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah Sulawasi Selatan yang memiliki banyak falsafah dan mengandung nilai anti korupsi.
Berdasarkan hasil pemantaun yang dilakukan oleh ICW, menyebutkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan menempati posisi ke 3 dengan kasus korupsi di terbanyak di Indonesia, hal ini tentu menjadi sesuatu yang sangat serius untuk dilakukan sebuah penindakan, karena seperti yang telah kita ketahui satu kata falsafah Bugis Makassar yakni “Siri” mengandung arti yang luar biasa bagi masyarakat Bugis.
Salah satu penindakan yang harus dilakukan adalah dengan kembali menanamkan nilai-nilai kearifan lokal Bugis dalam menjalankan amanah, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan negara. Kearifan lokal yang dikemas dalam falsafah Bugis tanpa disadari sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai anti korupsi yakni; Siri, Sipakatau, Sipakainge, dan Taro Ada Taro Gau.
Falsafah Bugis dan Relevansinya dengan Pemberantasan Korupsi
Siri, merupakan suatu falsafah atau nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Bugis, siri hadir sebagai suatu falsafah yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat dalam suatu nilai sosial, budaya, dan kepribadian seseorang. Siri jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki makna malu, sehingga dengan tertanamnya budaya siri dalam diri pribadi seseorang ia tertantang untuk terus berperilaku yang baik dan terpuji, penanaman budaya siri tentu memberikan sebuah tugas berat bagi setiap individu untuk terus berperilaku jujur, sopan, dan bertanggung jawab sebagai bukti bahwa ia mempertahankan nilai siri dalam dirinya sehingga akan menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat dan dihargai.
Bagi mereka yang tidak dapat mempertahankan budaya siri dalam dirinya, dalam hal ini seseorang tersebut melakukan sesuatu hal yang memalukan atau perbuatan yang tercela tentu akan mendapatkan sanksi sosial di mana ia tidak lagi dihargai dalam suatu lingkungan sosial.
Relevansi dari budaya siri dalam pemberantasan korupsi adalah di mana perilaku korupsi merupakan suatu hal yang sangat memalukan, sebagai gambaran kecil tindakan mengambil barang orang lain (mencuri) saja bagi masyarakat Bugis adalah suatu tindakan yang sangat memalukan dan tercela, dengan demikian bagi mereka yang melakukan tindakan korupsi tentu telah melakukan suatu tindakan mengingkari budaya siri dan nilai yang terkandung di dalamnya yakni kejujuran.
Penerapan budaya siri dalam memerangi korupsi tentu memotivasi seseorang untuk tidak melakukan hal-hal yang berhubugan dengan perilaku koruptif, dengan demikian setiap individu yang menanamkan budaya siri dalam dirinya ia cendurung mengutamakan kehormatan dirinya dibandingkan segalanya sehingga akan menimbulkan kejujuran dalam bekerja, bertugas, dan mengembang amanah yang diberikan negara kepadanya.
Sipakatau merupakan suatu falsafah Bugis yang memiliki banyak kandungan nilai di dalamnya, kata Sipakatau dari bahasa Bugis jika diartikan ke dalam bahasa Indonesai memiliki makna memanusiakan manusia. Sipakatau merupakan suatu konsep kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis memandang setiap manusia sebagai manusia.
Sipakatau mengandung nilai dari sisi kemanusiaan, di mana seseorang haruslah memandang seseorang sebagai manusia seutuhnya, memperlakukan setiap manusia sebagaimana ia diperlakukan sebagai manusia. Konsep nilai yang terkandung di dalamnya adalah di mana seseorang dalam hal ini tidak membeda-bedakan orang lain baik dari status agama, sosial, budaya, ekonomi, maupun politiknya.
Relenvansi dari Sipakatau dan pemberantasan korupsi adalah di mana seseorang tidak membeda-bedakan orang lain dari segala aspek kehidupannya seperti status hubungan, kedudukan, pangkat dan jabatannya, jika konsep Sipakatau ini menjadi pegangan bagi mereka yang menjabat atau bertugas sebagai pelayan publik dan sebagai pejabat tinggi tentu dapat menghindari perilaku nepotisme dalam dirinya. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa nepotisme adalah suatu perilaku yang cenderung mengutamakan dan mengutungkan sanak saudara, kerabat atau orang terdekatnya terhadap sesuatu hal misalnya pemberian jabatan tertentu.
Salah satu contoh kecil yang biasa terjadi adalah dalam sebuah antrian pada instansi pelayanan publik, biasanya bagi mereka yang memiliki banyak uang dapat melakukan suap atau biasa disebut dengan pungutan liar kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), atau biasanya bagi mereka yang memiliki kenalan atau kerabat lebih cepat dilayani ketimbang mereka yang tidak ber uang dan tidak memiliki kerabat.
Jika budaya Sipakatau tertanam dalam setiap diri individu maka perilaku nepotisme yang sering kita jumpai pada setiap lembaga negara dan instansi pemerintahan dapat dengan mudah diberantas, praktek korupsi dari lini yang terkecil dapat diberantas sehingga terwujudlah pelayanan publik yang bersih dan berkeadilan tanpa pandang bulu.
Sipakainge dalam falsafah Bugis memiliki makna saling mengingatkan, dalam falsafah Bugis Sipakainge memiliki dua nilai yakni: Warani yang bermakana memberikan pelajaran kepada setiap manusia untuk memiliki keberanian dalam mengungkapkan kebenaran atau mengemukakan pendapat serta saran kepada orang lain, sedangkan Arung yang bermakna memberikan pelajaran kepada setiap manusia untuk berjiwa rendah hati dalam menerima segala masukan, kritikan, dan saran dari orang lain.
Sebagai contoh kecil, apabila seseorang melakukan perilaku melawan hukum, maka kita memiliki kewajiban untuk mengingatkan mereka agar tidak melakukan perilaku yang melawan hukum, namun hal ini tentu harus disertai dengan keberanian.
Relevansi Sipakainge dalam pemberantasan korupsi adalah jika setiap orang merasa sadar dan memiliki beban dalam memberantas korupsi di Indonesia maka ia akan terpanggil untuk mengingatkan setiap orang yang malakukan tindakan koruptif dengan cara-cara yang sopan dan santun, bentuk pengingatan tersebut bisa saja dapat mencegah seseorang malakukan tindakan koruptif, sehingga dengan melalui tindakan Sipakainge perilaku koruptif dapat diminimalisir dengan cepat.
Taro ada taro gau adalah sebuah falsafah Bugis yang memiliki arti sama perkataan dan perbuatan atau bersatunya kata dengan perbuatan, yang memiliki makna bahwa konsiten dengan perkataan dan perbuatan. Dari falsafah tersebut mengandung nilai yakni; tidak mengingkari janji, tidak mengkhianati, tidak mengubah keputusan, dan tidak mengubah kesepakatan.
Bagi mereka yang mengingkari prinsip Taro ada taro gau, sudah pasti mendapatkan sanksi sosial di masyarakat salah satunya adalah tidak menempati janji atau pengkhianat. Maka dari itu prinsip Taro ada taro gau merupakan sebuah bentuk tanggung jawab yang harus dikerjakan atas apa yang telah dikatakan.
Salah satu contoh kecilnya adalah setiap orang yang akan mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara ia telah berikrar dan berjanji untuk setia kepada Negara Kesatua Republik Indonesia dan menjungjung tinggi Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga bagi meraka yang memegang teguh prinsip Taro ada taro gau ini, akan terus berupaya untuk tidak melakukan tindakan korupsi sebab ia sadar bahwa tindakan korupsi adalah tindakan menghianiati bangsa dan negara.
Relevansi Taro ada taro gau dan pemberantasan korupsi adalah di mana bagi mereka yang menjabat sebagai mandataris negara yang diberikan amanah oleh negara untuk mengayomi dan melaksanakan fungsi-fungsi negara dengan memegang teguh prinsip Taro ada taro gau dan mengaktualisasikan nilai-nilai Taro ada taro gau maka setiap melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya ia akan bertanggung jawab atas apa yang telah ia ucapkan pada saat sumpah dan janji jabatan sebagai bentuk kekonsitenan seseorang terhadap sumpah dan janjinya.
Para leluhur telah mewariskan pedidikan anti korupsi kepada generasi muda, penanaman budaya anti korupsi telah tercermin dari falsafah Bugis Sulawesi Selatan. Tanpa kita sadari budaya yang diwariskan para leluhur memiliki andil dalam memberantas korupsi di Indonesia, dari filsafah Bugis tersebut, telah mencerminkan sembilan nilai integritas dari pemberantasan korupsi. Sehingga dengan demikian bagi mereka yang memegang teguh dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah tersebut dengan konsisten dalam setiap kehidupannya maka ia adalah individu yang memiliki nilai integeritas yang tinggi.
Sekarang sudah waktunya kembali belajar dari sejarah, kembali mengingat dan memahami nilai-nilai dari falsafah yang diwariskan para pendahulu, untuk kemudian diimplementasikan dalam berkehidupan sehari-hari. Dengan demikian, budaya koruptif yang terjadi di Indonesia dapat dengan mudah diberantas dengan pendekatan kebiasaan dan budaya lokal di masyarakat.
Penulis: Sadri Saputra. S. (Mahasiswa Program Studi Ilmu Falak selaku Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Periode 2019)