METANOIAC.id Makassar, 8 Juni 2024 – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas di DPR menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama dari komunitas pers dan aktivis kebebasan berpendapat. RUU ini dinilai mengandung sejumlah pasal yang berpotensi membatasi kebebasan pers dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi.
Pasal Kontroversial
Beberapa pasal dalam RUU Penyiaran tersebut dipandang kontroversial karena memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah untuk mengawasi dan mengatur konten media. Salah satu yang paling disorot adalah Pasal 27 yang memungkinkan pemerintah untuk mencabut izin siar media jika dianggap melanggar ketentuan yang belum dijelaskan secara rinci. Pasal ini berbunyi:
“Pemerintah berwenang mencabut izin penyiaran lembaga penyiaran yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penyiaran, keamanan nasional, atau ketertiban umum.”
Pasal ini dinilai sangat rawan disalahgunakan untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah karena kriteria “pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penyiaran, keamanan nasional, atau ketertiban umum” dianggap terlalu luas dan tidak spesifik.
(https://www.hukumonline.com/berita/a/ruu-penyiaran-berpotensi-berangus-kebebasan-pers-lt664c181ae5594/)
Reaksi Komunitas Pers
Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa RUU ini akan mengembalikan era represif dimana kebebasan pers terancam. Ketua AJI, Sasmito Madrim, menyatakan bahwa, “RUU Penyiaran ini berpotensi menjadi alat politik yang digunakan oleh pihak berkuasa untuk mengontrol media dan mengekang suara kritis. Kami mendesak agar DPR mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang berpotensi membatasi kebebasan pers.”
(https://bengkulu.antaranews.com/berita/339534/aji-sebut-perlu-rencana-aksi-nasional-terkait-keselamatan-jurnalis)
Dukungan dari Aktivis
Selain komunitas pers, aktivis hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa RUU Penyiaran ini berisiko mencederai hak warga negara untuk mendapatkan informasi yang akurat dan bebas dari intervensi politik. “Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi. Jika ini diganggu, maka demokrasi kita juga terancam,” kata Ketua YLBHI, Asfinawati.
(https://www.tribunnews.com/nasional/2024/05/18/ylbhi-sebut-revisi-uu-penyiaran-hambat-pemberantasan-korupsi-ini-penjelasannya#:~:text=Ketua%20Yayasan%20Lembaga%20Bantuan%20Hukum%20Indonesia%20(YLBHI)%20Muhammad%20Isnur.)
Pernyataan Pemerintah
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Budi Arie menegaskan sikap penutur yang menghargai dan menerima apapun hasil dari proses legislatif yang sedang berlangsung, termasuk keputusan untuk menunda pembahasan jika diperlukan “Tentu saya menghormati proses dan keputusan-keputusan yang diambil oleh pimpinan dan anggota DPR RI dalam proses revisi Undang-Undang Penyiaran, termasuk jika akan melakukan penundaan pembahasan,”
(https://news.detik.com/berita/d-7362781/pembahasan-ruu-penyiaran-ditunda-menkominfo-kami-dukung-kemerdekaan-pers)
Baca artikel detiknews, “Pembahasan RUU Penyiaran Ditunda, Menkominfo: Kami Dukung Kemerdekaan Pers” selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-7362781/pembahasan-ruu-penyiaran-ditunda-menkominfo-kami-dukung-kemerdekaan-pers.
Tantangan ke Depan
Debat mengenai RUU Penyiaran ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan kedua belah pihak bersikukuh pada argumennya masing-masing. Banyak yang berharap bahwa DPR akan membuka ruang dialog yang lebih luas dengan melibatkan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi terbaik yang tidak mengorbankan kebebasan pers.
Dalam konteks ini, peran masyarakat sipil dan media sangat penting untuk terus mengawal proses legislasi ini agar kebebasan pers tetap terjaga dan demokrasi Indonesia tidak mundur ke belakang. [SVE/416]