Hidup Pekerja, Orang-orang yang Terasingkan
Setiap pagi, setiap malam, kita disuguhi pemandangan yang lazim nan membosankan. Orang-orang bangun dengan sisa kantuk di wajahnya, membersihkan diri dengan sabun dan diguyuri air, kemudian bersiap menjalani rutinitas harian. Kerja, atau dalam bahasa lain; pergi mencari uang, untuk menyambung hidup, pun secara terpaksa. Demi berlangsungnya remah-remah di mulut sendiri dan di mulut keluarga yang sedang tertanggalkan, di rumah, di kontrakan, ataupun di kos-an.
Orang-orang bersepakat bahwa senin adalah hari paling dibenci se-dunia. Dan jumat adalah hari paling disenangi para buruh, karyawan, dan mereka yang menggantungkan hidupnya pada relasi kerja upahan. Senin, selasa, rabu, dan kamis adalah hari-hari yang panjang dan melelahkan. Jumat, sabtu, dan minggu adalah hari paling singkat dalam kalender. Demikian seminggu berjalan.
Orang-orang hidup kehilangan gairah, menjadi sibuk, dan bosan dengan keseharian.
Hidup Mahasiswa Dalam Kampus Rasa Pabrik
Sementara itu, di ruang yang lain, para pelajar dan orang-orang yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa (juga) tengah sibuk. Duduk termenung membaca tulisan ini, mengingat kembali apa yang selama ini ia kerjakan.
Bangun, datang ke kampus, tapi tidak untuk membangun. Membaca buku, tapi tidak membaca sekitar. Berdiskusi di kantin, di koridor, atau di gazebo, tapi tidak mendiskusikan perubahan. Sibuk mempercantik diri dengan make up yang adalah buah kerja buruh pabrik. Sibuk bermain dengan dunia maya, tidak dengan yang nyata. Sibuk menikmati setiap tarikan rokok yang adalah buah keringat petani tembakau. Sibuk bercinta dengan kelamin yang lain, tidak dengan hidup, dengan semesta, dengan yang menghidupi hidup.
Kita semua perlu tahu, bahwa hidup sedang diambang kematian.
Kematian Hidup, Ketergesaan, Dan Keterasingan Yang Menghinggapinya
Dengan ketergesaan hidup dan keterburuan yang menghinggapi setiap pagi dalam kehidupan ini, patut rasanya untuk kita pertanyakan. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa hidup yang seharusnya menjadi nikmat malah berjalan tak sesuai rencana, menjadi sibuk dan membosankan.
Mestinya kejadian ini tidak terjadi begitu saja, ada diskursus, ada konstruksi. Ada hal-hal yang menjadi penyebab itu semua terjadi, yang membuat kita dan mereka saling terasing. Terasing dari faktor produksi, terasing dari nilai yang diproduksi tanpa bisa dikonsumsi, terasing dari alam yang dengan tersenyum kita terus saja dieksploitasi, terasing dari keluarga dan orang-orang sekitar yang karena desakan menjadi abai untuk kita sapa, hingga terasing dari potensi diri untuk terus berkembang dan mencari makna hidup. Kita telah terasing, dikontrol, bahkan dieksploitasi tanpa kita sadari yang disebabkan oleh kapitalisme.
Kapitalisme adalah sebuah sistem, ia membuat kita berjalan dalam lingkaran eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi. Ambisinya ada pada perputaran modal, memproduksi nilai untuk dipertukarkan dengan hal lain yang bisa menggandakan atau mendongkrak modal awal, dan bukan atas dasar kebutuhan. Membuat kita mengkonsumsi karena dorongan hasrat ingin membeli, bukan atas dasar kebutuhan. Tatanan manusia didesain sedemikian rupa dengan tujuan: kerja, laba, dan kontrol.
Alam adalah halal untuk digerusnya hingga habis, manusia menjelma mesin tanpa nurani. Raga, dan jiwa sesak dengan kerja, kerja, dan kerja. Kemudian beli, beli, dan beli, lalu kerja lagi, beli lagi, dan lagi.
Jika konsumen berkurang, ia akan membuat seribu satu rencana untuk menciptakan pasar, menciptakan pembeli, lagi, dan lagi. Melalui perluasan pasar, melalui hegemoni media dan pikiran, melalui apa yang mereka sebut sebagai “globalisasi”.
Sistem ini memapankan sistem kelas dan kekuasaan kelas; kelas tertindas dan kelas yang menindas. Secara penuh membiarkan kelas tertindas tetap berada dalam kotak kecil mereka, isolasi mereka. Mengontrol naratif dari kehidupan kita baik dalam soal ruang maupun waktu; membaginya menjadi waktu kerja/ruang kerja, waktu santai/ruang santai, dsb. Secara hati-hati ruang, waktu, dan aktivitas yang dikontrol, diisolasi, dan dipisahkan satu sama lainnya, pemisah antar individu satu dengan individu lainnya. Karakter manusia yang dikonstruksi dalam sebuah sistem yang dirancang dengan arsitektur terbaik, yang dapat menyembunyikan penderitaan hidup manusia di bawah tirani pasar.
Jadi, berhati-hati lah.
Menghidupi Hidup Sepenuhnya
Karena hidup mesti berhati-hati, maka hiduplah dengan nurani, jangan menjadi mesin. Gunakan akal mu agar tak tertipu televisi, pun media sosial yang memabukkan. Termasuk kabar jika dunia hari ini sedang baik-baik saja.
Cara terbaik untuk mengakhiri keterasingan dan kebosanan hidup adalah dengan membaca buku, membaca senja, membaca apa saja, dan membaca bagaimana semua ini bisa menjadi; kesenjangan antara yang tertindas dan yang menindas, kemiskinan yang seolah lazim, membaca segala ketergesaan hidup yang menghantui. Berpikir perihal substansi, perhatikan semua pilihan, apakah ini adalah yang dibutuhkan atau hanya keinginan (hasrat) yang sementara.
Berjejaring, berteman, dan membangun kolektif juga adalah salah satu cara untuk menentang keterasingan satu sama lain. Mengenali yang lain adalah cara terbaik untuk mencintai hidup. Bertegur sapa lah sebelum malam menelan mu, lagi.
“Zarathustra menyarankan agar gairah untuk bermain dikembalikan untuk menghancurkan masyarakat yang menindas gairah”
Lakukan hal-hal yang kalian senangi, berbahagialah. Retas segala keresahan yang ada dengan kobaran jalanan. Bakar setiap kebosanan hidup dengan melawan sistem yang membuat kita terasing, tak berdaya, dan tidak bergairah. Ciptakan jalan bagi atmosfer liar tentang kebebasan.
Dan yang terpenting adalah “Menikmati momen yang ada! Jangan pernah biarkan dirimu terlibat dalam apapun yang tidak membuatmu bergairah!”. Hidupilah hidup sepenuhnya. [CAN/377]