METANOIAC.id Dialihkannya pandangan matanya keluar, menembus pepohonan dengan udara yang sejuk. Seraya perlahan menghisap sebatang kretek di tangannya, menghembuskannya kembali perlahan. Matanya menangkap sosok kawannya yang datang mendekati meja. Ditaruhnya kreteknya, dilambaikan tangannya, dan dengan gerakan sekilas, dibenahinya jilbabnya.
“Ndak malu ko itu sama jilbab mu” komentar seorang laki-laki di suatu cafe, yang mengomentari tentang perempuan berjilbab yang merokok di tempat umum. Hal ini terkesan mengejutkan, bukan saja karena pendapatnya, tetapi juga anggapannya mengenai merokok dapat menimbulkan rasa malu bagi perempuan yang mengenakan jilbab.
Tidak lama kemudian yang lainnya ikut berbicara, salah satunya dari seorang perempuan, “Kalau sudah pakai jilbab, harusnya sudah tahu implikasi atas perilakunya dong.” dari perkataan yang dilontarkannya pada konteks pembicaraan perempuan berjilbab yang merokok. Hal itu menyiratkan bahwa rokok bertentangan dengan implikasi perilaku dari keputusan seorang perempuan untuk berjilbab. Singkat kata, tidak pantas bagi seorang perempuan berjilbab untuk merokok.
[Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Nama Baik Siapa?].
Sedikit merefleksi, di Indonesia perempuan yang merokok biasanya digambarkan sebagai perempuan yang tidak benar, nakal, terkadang juga amoral. Penggambaran semacam ini dapat kita lihat pada film-film Indonesia dari masa ke masa. Masih ingat film Taksi di era 90an? Di mana Meriam Belina berperan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) yang digambarkan berbaju seksi dan merokok. Pada konteks yang lebih kekinian, film Virgin misalnya, menggambarkan tiga sosok anak SMA yang “nakal” dan lagi-lagi digambarkan dengan merokok, selalu merokok pada perempuan digambarkan sebagai bagian dari gaya hidup perkotaan yang “tidak baik”, “tidak benar”, “tidak pantas” atau “bahkan amoral”. Tetapi apakah benar merokok itu amoral?
Stigma terhadap perempuan perokok: beyond reality
Di luar semua perdebatan perkara kesehatan, bagi saya penggambaran yang dilekatkan pada perempuan yang merokok ini adalah stigma. Stigma, dapat diartikan sebagai cap buruk, dalam kaitannya dengan perilaku, stigma dapat kita rasakan pada penilaian seseorang atau banyak orang yang menegatifkan perilaku tersebut. Bagi saya, stigma ini merupakan penilaian negatif yang melebihi dari realitanya (beyond reality).
Mungkin tidak ada yang tahu sejak kapan stigma ini ditempelkan kepada perempuan yang merokok. Tetapi hingga hari ini kita masih dapat menemui orang-orang tua (perempuan) di pedesaan yang merokok, tanpa ada beban dianggap sebagai “perempuan nakal”. Hal yang menarik pada kasus perkotaan adalah, pada perempuan tidak berjilbab, perilaku merokok mendapatkan pemakluman, meski masih dilekatkan dengan stigma. Namun, sudah ada semacam pemakluman dari masyarakat perkotaan terhadap perempuan tak berjilbab yang merokok.
Lain halnya, ketika kita berbicara tentang perempuan berjilbab yang merokok, stigma yang melekat jauh melebihi perempuan yang tidak berjilbab. Jika dianalogikan, stigma pada perempuan yang merokok, baik berjilbab maupun tidak akan seperti garis linear dengan nilai minus di belakang nol dan plus di depan nol.
– (minus) ———— 0 (nol) ———— + (plus)
Mari kita mulai dengan titik + (plus), yang merupakan analogi dari perempuan berjilbab. Artinya, dia melakukan kewajiban agama (dalam hal ini Islam) dengan berjilbab dan diikuti dengan perilaku “baik” dan sesuai dengan apa yang ingin disimbolkan oleh jilbabnya, yakni ajaran keIslaman. Sementara itu, titik 0 (nol) adalah perempuan, tidak berjilbab, tidak merokok, perempuan biasa-biasa saja, dan titik – (minus) adalah perempuan yang merokok, baik berjilbab maupun tidak. Jika merujuk pada analogi ini, dapat terlihat bahwa cap buruk yang menempel pada perempuan berjilbab dan merokok dua kali lebih besar daripada perempuan yang tidak berjilbab dan tidak merokok, dalam artian perempuan berjilbab dan merokok, dianggap mengalami degradasi moral dua kali lebih banyak dari pada yang merokok namun tidak berjilbab.
Pada perempuan berjilbab dan merokok, setidaknya ada dua jenis stigma yang bisa kita bedakan di sini: (1) Stigma dari orang lain (2) Stigma dari dirinya sendiri.
Stigma dari orang lain dapat tergambar dari pendapat banyak orang tentang perempuan berjilbab dan merokok. Mari simak ucapan beberapa narasumber mengenai perempuan berjilbab dan merokok:
“Untuk pertama kalinya, saya melihat seorang perempuan menggunakan jilbab sedang merokok di acara bazar di suatu cafe. Cukup risih melihatnya, karena dia menggunakan jilbab disaat merokok. Kalau tidak pakai jilbab, penilaian ku mungkin tidak seheboh itu, jilbab kan suci. Tapi, sebenarnya mau dia berjilbab atau tidak, merokok bagi perempuan bukanlah satu hal yang sepantasnya,” (SK, 19, perempuan berjilbab, tinggal saat ini di Makassar)
“Kalau saya sih tidak mempermasalahkannya, mau berjilbab dan merokok, mau berjilbab dan menjajakan dirinya, ya terserah mereka. Saya tidak takut kalau nantinya Islam dicap buruk dengan perilaku seperti itu, semua orang juga tahu kalau itu adalah oknum,” (DN, 20, pria, perokok, tinggal di Makassar)
Mari kita telaah ucapan keduanya. Bagi SK, untuk pertama kalinya melihat perempuan berjilbab yang merokok adalah pengalaman yang membuatnya cukup risih. Merunut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), risih (risi) diartikan sebagai: berasa jijik atau merasa tersinggung. Bagi saya, ini berarti SK bisa saja merasa jijik, atau merasa tersinggung, ketika jilbab digunakan pada orang yang merokok. Rasa ketersinggungan ini bisa saja timbul karena sebenarnya, baik SK dan orang yang dilihatnya sama-sama menggunakan jilbab. Tersinggung dikarenakan bagi SK merokok adalah perilaku yang tidak baik atau tidak sepantasnya, yang tidak sejalan dengan makna dibalik jilbab. Oleh karena itulah, SK sendiri tidak mau disejajarkan, disamakan identitasnya, dengan perempuan yang merokok.
Sementara itu, pernyataan yang lainnya, yang juga dari SK “Kalau tidak pakai jilbab, penilaianku mungkin tidak seheboh itu, jilbabkan suci” dapat menggambarkan bahwa perempuan tidak berjilbab merokok masih mendapatkan pemakluman, tapi jika berjilbab dan merokok, ini adalah masalah. Merokok dianggap sebagai aktivitas yang tidak sepantasnya dilakukan bagi seorang perempuan berjilbab. Bisa jadi dengan tidak adanya jilbab pada perempuan yang merokok tersebut, antara SK dengan perempuan yang merokok menjadi terpisah, karena identitas yang berbeda. Artinya, SK tidak ingin disamakan dengan perempuan berjilbab tersebut.
Sekarang kita lihat ucapan DN: “…mau berjilbab dan merokok, mau berjilbab dan menjajakan dirinya, ya terserah mereka..” pada ucapannya ini, DN seakan menyamakan kedudukan perilaku merokok itu setara dengan dengan menjajakan diri. Perilaku (negatif) yang setara, dan berimbas pada dosa yang setara. Sementara kata-kata selanjutnya: “..saya tidak takut kalau nantinya Islam dicap buruk dengan perilaku seperti itu, semua orang juga tahu kalau itu adalah oknum..”. Pada bagian ini, DN menegaskan bahwa sebenarnya, merokok (yang setara dengan menjajakan diri) merupakan perilaku yang dapat membuat Islam dicap buruk. Namun, karena itu perbuatan sebagian orang (oknum), maka tidak sepantasnya perilaku buruk ini dikenakan pada seluruh umat Islam.
Dua pendapat mengenai perempuan berjilbab yang merokok ini sebenarnya gambaran stigma yang dilekatkan oleh orang lain, kepada perempuan berjilbab. Sementara itu, stigma dari perempuan berjilbab yang merokok terhadap dirinya sendiri dapat tersurat pada penuturan narasumber lainnya:
“Kalau saya sih tidak, tidak ada sedikitpun kepikiran untuk merokok. Karena sejak awal yang tertanam dalam pikiran ku, merokok itu tidak baik untuk tubuh. Selain itu, Karena kan cewek berjilbab atau pun tidak, kalau merokok itu pasti perempuan nakal.” (SK, 19, perempuan berjilbab)
“Saya sendiri adalah perokok dan kalau keluar rumah berjilbab. Tapi saya tidak pernah mau merokok di luar rumah.” (FR, 22, perempuan berjilbab)
Pada kasus SK, sebagai perempuan berjilbab, ia tidak punya sedikitpun pikiran untuk merokok. Hal ini dikarenakan ketakutannya pada publik yang akan membicarakannya, bahkan juga mengomentarinya, ketika dia mencoba merokok pada saat menggunakan jilbab. Baginya, stigma terhadap perempuan merokok bukan saja mampu membuatnya tidak berani merokok di tempat umum, tapi juga menimbulkan persepsi pada dirinya sendiri, bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan buruk. Sementara pada kasus FR yang bercerita tentang dirinya sendiri, ia terang-terangan menyatakan bahwa dirinya memang tidak ingin publik tahu bahwa ia merokok, terutama karena ia menggunakan jilbab.
Inilah yang merupakan hal mencerminkan stigma terhadap diri sendiri, pada perempuan berjilbab yang merokok. Simbol buruk yang dilekatkan pada rokok, membuat para perokok berjilbab ini seakan terkungkung dalam pemikiran bahwa merokok ini memang buruk, dan tidak pantas disandingkan dengan jilbab.
Jilbab dan Rokok: Kontestasi Simbol
Jilbab atau juga disebut hijab, diartikan penutup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab:59)
Sebagian besar umat muslim pasti setuju, jika dikatakan seorang perempuan yang memutuskan menggunakan jilbab juga paham dengan implikasi pada perilaku. Jilbab sendiri dapat dikatakan sebagai simbol muslimah. Ahimsa-Putra mengartikan simbol sebagai segala sesuatu yang dimaknai. Dimaknai karena, makna sebuah simbol tidaklah menempel, melekat atau ada pada simbol itu sendiri. Makna ini berasal dari luar simbol, yakni dari manusia. (Ahimsa-Putra, 2009). Artinya, dalam konteks jilbab, jilbab tidak sekadar menjadi penutup aurat, tetapi juga dimaknai sebagai pengatur perilaku, agar sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pemaknaan ini dapat terlihat dari penuturan beberapa orang mengenai jilbab, bahwa dengan menggunakan jilbab, seharusnya seorang muslimah menjaga perilakunya. Banyak hal yang kemudian tidak lagi pantas dilakukan. Dan juga, bahwa menggunakan jilbab tidak hanya masalah menutup aurat, tetapi juga menutup perilaku.
Sementara itu, rokok kerap digunakan sebagai simbol perilaku buruk, yang selalu ditujukan dengan “budaya barat”, yang kerap dianggap sebagai produk dari “budaya luar”. Pada salah satu pemberitaan di salah satu media mainstream misalnya, sebuah berita dimunculkan dengan memasak judul: “Adegan Merokok Jerumuskan Remaja” dari judul ini, sudah dapat ditangkap kesan bahwa merokok memiliki citra negatif, dianggap sebagai perilaku yang berada di “bawah” norma-norma yang berlaku pada masyarakat umumnya. Dalam tulisan tersebut kemudian diceritakan bahwa merokok, ditularkan melalui adegan merokok pada film-film. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa merokok, pada masyarakat Indonesia, selalu dianggap sebagai budaya dari luar Indonesia sendiri. Kita kerap kali amnesia, bahwa jauh sebelum film masuk ke Indonesia sendiri, para perempuan di negeri kita sudah begitu fasih menghisap aroma tembakau ini.
Rokok dan Jilbab: Ketimpangan Pencitraan
Seperti sebelumnya, pada perempuan berjilbab perilaku merokok adalah perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang dimaknakan pada jilbab. Satu hal yang menarik, terutama ketika beberapa narasumber pria mengungkapkan pandangan-pandangannya mengenai perempuan berjilbab yang merokok ini.
“Perempuan berjilbab yang merokok adalah orang yang keliru. Mereka keliru karena memutuskan untuk pakai jilbab tapi tidak berpikir panjang. Pakai jilbab itu tidak cuma tinggal pasang aja, tetapi tingkah laku juga harus dijilbab-in.” (DN)
Pada penuturannya ini DN sekali lagi menegaskan bahwa merokok adalah perilaku yang tidak baik (tidak sepantasnya) yang tidak sesuai dengan pemaknaan atas jilbab. Hal yang menarik adalah, karena DN sendiri adalah perokok. Artinya, sebagai pria dia tidak merasa bahwa perilaku merokok menjadi masalah atau bahkan tidak dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik. Namun, jika hal tersebut dilakukan oleh perempuan yang berjilbab, perilaku merokok sendiri menjadi salah, menjadi tidak sepantasnya.
“Cewek berjilbab yang merokok di tempat umum, itu adalah cewek yang tidak bisa menempatkan dirinya. Karena nilai dalam jilbab itu kurang etis jika diikuti dengan sikap merokok. Kenapa cewek berjilbab keliatan aneh merokok di depan umum padahal banyak cowok berpeci atau berbaju koko merokok di depan umum itu keliatan lumrah? Saya sulit menjawabnya, ini sudah menjadi common sense bagi saya sendiri. Bisa jadi karena dalam keluarga saya sendiri tidak ada perempuan yang merokok,” (WD, 22 tahun, pria, perokok)
WD dalam penuturannya secara lugas menyatakan ketimpangan pendapat dari masyarakat mengenai perempuan berjilbab yang merokok. Menarik jika menilik kembali retorika yang dilemparkannya mengenai perbedaan anggapan terhadap perokok perempuan yang menggunakan simbol keagamaan, dan perokok laki-laki yang juga menggunakan simbol keagamaan. Terdapat ketimpangan pencitraan yang disadari WD, namun di luar logikanya (ini sudah menjadi common sense bagi saya sendiri). Perempuan berjilbab yang merokok di depan umum dianggap menyalahi etika ke-Islaman, namun pria berbaju koko dan berpeci yang merokok dianggap sebagai sebuah kewajaran. Adanya ketimpangan pencitraan ini, bisa jadi dikarenakan dalam aspek ke-Islaman pada umumnya, terutama pada konteks masyarakat Indonesia, pelekatan citra tidak pernah terlepas dari sistem dominasi yang dikembangkan oleh budaya patriarki.
Dalam Islam sendiri, kiranya tidak ada dalil yang menyatakan bahwa merokok adalah perbuatan yang dilarang. Kalaupun sekarang dijadikan makruh, lebih dikarenakan pertimbangan manfaat dan akibatnya, bukan salah dan benarnya.
“Islam tidak pernah melarang umatnya (laki-laki ataupun perempuan) untuk merokok, tetapi Islam melarang mereka untuk memamerkan auratnya”.
Kalau sudah begini, bukankah sewajarnya kita kembali bertanya pada diri kita sendiri, apakah berjilbab dan merokok adalah perbuatan yang terlarang?
Hidup dalam kondisi dengan sistem patriarkal yang melekat dalam keseharian masyarakatnya, tidak mudah bagi perempuan untuk mengekpsresikan diri. Ada banyak hal yang kemudian menjadi tidak pantas dilakukan perempuan. Mereka seakan-akan berada dalam satu ruang yang memiliki garis demarkasi antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Sayangnya, yang tidak pantas dilakukan perempuan itu bisa dengan leluasa dilaksanakan lelaki tanpa ada pandangan miring terhadapnya.
Pandangan masyarakat terhadap kretek (rokok) merupakan salah satunya. Tindakan mengkretek apabila dilakukan oleh lelaki, akan dinilai masyarakat sebagai hal yang biasa. Namun, apabila seorang perempuan terlihat sedang mengkretek, maka akan dilabeli sebagai seorang yang entah itu “tidak baik”, “nakal”, atau bahkan “jalang”.
Terlebih dalam realitasnya, begitu stigma diberikan, selesailah sudah. Mereka tidak pernah diberikan kesempatan menjawab, atau setidaknya memberikan alasan. [CAN/377]