Rabu, Maret 29, 2023

Darurat Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Nama Baik Siapa?

Rekomendasi

Edisi Terbaru

Sumber: sinarpaginews.com

Sejarah kemajuan ditulis dalam darah pria dan wanita yang berani mendukung tujuan yang tidak populer seperti misalnya hak pria kulit hitam atas tubuhnya atau hak wanita atas jiwanya.” Emma Goldman.

Pelecehan seksual marak terjadi di lingkungan sekitar kita bahkan orang terdekat pun dari kita dapat menjadi korban, dapat dikategorikan bahwa pelanggaran kejahatan ini secara langsung telah mencoreng aspek humanitas.

[Baca juga: Bukan Salah Korban, Ayo Berpihak Pada Para Penyintas Kekerasan Seksual].

Parahnya lagi, banyak dari kita mendapat tindakan yang kurang nyaman namun tak sadar bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelecehan. Apa mungkin karena kurangnya edukasi mengenai pelecehan seksual?

Mari bahas terlebih dahulu, apa itu pelecehan seksual. Melalui Komnas Perempuan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa pelecehan seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. 

[Baca juga: Mengerikan, Maraknya Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Sekitar].

Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. 

Sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Sumber: ketik.unpad.ac.id


Bentuk Kekerasan Seksual

Tindakan kekerasan seksual telah marak terjadi disekitar kita, hanya saja kita tidak menyadari atau kurang pengetahuan jadi sulit mendiagnosa bahwa hal yang diterima sudah dapat dikualifikasikan sebagai pelecehan seksual. 

Pelecehan seksual secara general dikategorikan dalam dua aspek yaitu; verbal dan nonverbal. Kebanyakan orang cuman mengenal aksi pelecehan itu dari segi non verbal dalam hal ini kontak fisik. Padahal, ada juga versi verbalnya. 

Dalam verbal harassment, hal tersebut dapat dikatakan terjadi pelecehan ketika kita merasa buruk, tidak percaya diri dan tentu saja tidak nyaman atas tindakan yang kita terima.

Seperti catcalling (pelecehan di ruang publik) yang marak terjadi membuat sebagian perempuan merasa tidak nyaman dan aman akibat tindakan sebagian orang seperti siulan hingga melontarkan kalimat misal, “Hai cantik! kenalan dong”. Tentu banyak dari kita belum mengetahui bahwa tindakan itu termasuk pelecehan seksual.

Sedangkan dalam nonverbal harassment dapat berbentuk sentuhan fisik secara langsung. Seperti memeluk, mencium, menempelkan tubuh, meraba area seksual, memijat pundak dan lebih parah lagi tindakan pemerkosaan. 

Melihat dari banyaknya kasus tindakan tersebut kebanyakan melibatkan perempuan sebagai korban. Namun, bukan berarti perempuan tak bisa jadi pelaku. 

Baca Juga:  KONGRES XIV Pers Mahasiswa PNUP

Adanya konstruk yang sangat tajam menyudutkan korban alhasil disaat seperti itu korban memilih menghindar, diam, dan melupakan hal tersebut, sebagian besar seperti itu, tetapi bisa saja hal tersebut dilakukan si korban karena telah merasa buruk. Bagaimana tidak, jika melihat dari sisi korban bukan hanya soal kerugian politik, ekonomi, atau hal lainnya tetapi kerusakan mental (psikis) korban yang tidak dengan mudah untuk dipulihkan.

Paling tidak mereka akan mengurung diri, depresi (jatuh mental) pada akhirnya berujung lebih memilih diam dibanding speak up, bahkan parahnya menurut dari pengakuan beberapa penyintas ada yang ingin mengakhiri hidup mereka akibat merasa geram melihat pelaku masih diberikan akses di lingkungan dengan pelaku yang terlihat tidak merasa bersalah atas tindakannya. 

Budaya Predator Seksual

Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat untuk mengembangkan daya pikir yang juga menjadi prioritas seseorang menempuh pendidikan setelah lulus dari tingkatan pendidikan menengah atas. 

Dapat dikatakan bahwa kita menuntut ilmu hingga pada akhirnya akan mendapatkan sebuah gelar yang juga sebagai kebutuhan hidup orang-orang tertentu. Akan tetapi, perguruan tinggi belum dapat memberikan rasa aman dan nyaman terhadap mahasiswa karena kerap menormalisasikan rape culture yaitu tindakan kekerasan seksual yang menjadi budaya di kalangan kelompok tertentu. 

Sebagian mahasiswa menyampaikan banyak dari mereka seringkali mendapatkan ungkapan yang membuat mereka risih ketika berkegiatan di kampus bahkan dalam kegiatan perkuliahan, beberapa juga mendapatkan pesan dengan nada dan nuansa seksual. 

Normalisasi Catcalling

Beberapa mahasiswa di perguruan tinggi khususnya di kota Makassar, mengungkapkan bahwa ia kerap kali mendapatkan catcalling dan itu tak satu atau dua kali namun setiap hari.

Ia kerap kali dihadapkan orang-orang yang membuatnya risih dan ia bahkan setiap hari menjumpai mahasiswa laki-laki yang memberi catcalling sebanyak tiga kali setiap hari. Bukan hanya sesama dari mahasiswa bahkan dosen pun serta civitas akademika yang lainnya. Tentu, hal ini sangat berpotensi menurunkan kepercayaan diri korban catcalling untuk bisa secara aktif melakukan kegiatan di kampus. 

Ada sebuah ungkapan yang berkembang di masyarakat yaitu “cantik itu luka”, begitu juga yang terjadi di lingkungan kampus sebagai gambaran bahwa dianggap cantik sudah sepatutnya harus menerima konsekuensi berpotensi besar mendapatkan catcalling. Namun, hal ini juga tidak dapat kita tampik dengan menyalahkan bentuk fisik seseorang karena yang menjadi hal krusial adalah alasan dibalik pelaku catcalling melakukan tindakan tersebut. 

Kita dibesarkan dalam budaya patriarki yang menjadikan jenis kelamin laki-laki menjadi sosok yang dominan bahwa stigma yang berkembang di masyarakat, yaitu laki laki ditunjuk sebagai mereka yang memberikan perlindungan kepada perempuan. Namun, hal itu yang menyebabkan kuasa dipegang oleh laki-laki jika dihubungkan dengan catcalling karena mereka (laki-laki) merasa lebih superior dan itulah sebabnya mereka merasa bangga jika telah memberikan ungkapan yang bernada dan bernuansa seksis.

Baca Juga:  Mahasiswi PNUP Menyabet Runner Up Putera Puteri Kampus Indonesia 2021

Tak bisa kita pungkiri juga pelaku catcalling tak hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga terkadang perempuan pun melakukan tindakan tersebut, akan tetapi mayoritas mereka yang melakukan catcalling berasal dari laki-laki.

Waspada Senior Berwatak Predator!

Tak hanya lahir dalam budaya patriarki, tetapi juga budaya senioritas yang menjadikan catcalling terus menampakkan wajahnya dan menampar rasa aman korban ketika mendapatkan ungkapan yang membuat mereka risih. 

Adanya kelompok yang menganggap diri mereka sebagai senior seringkali terjadi, apalagi pada saat awal semester karena banyaknya mahasiswa baru yang berkuliah di perguruan tinggi. Tentu ada tenggang rasa yang terjadi pada mahasiswa baru. 

Sudah saatnya kita membuka mata melihat permasalahan ini karena hampir semua mahasiswa telah mendapatkan serangan catcalling baik itu di jalan hingga ruang untuk menuntut ilmu. 

Sehingga dapat kita masukkan catcalling sebagai produk dari budaya patriarki karena telah melahirkan mereka yang merasa dirinya superior dan berkuasa diatas individu lainnya.

Korban Mampus Demi Nama Baik Kampus

Data dari Kemendikbud Ristek sepanjang 2021 mencatat ada 2.500 kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi juga bahwa kasus kekerasan seksual tersebut seperti fenomena gunung es. 

Ada banyak kasus namun tak menjumpai titik terang alhasil atas kepekaan inilah Nadiem Makarim mengesahkan Permendikbud No.30 Tahun 2021 yang juga menuai kecaman dari beberapa pihak dimulai dari ormas hingga beberapa kalangan akademisi, bahkan hingga saat ini belum ada satu kampus pun yang menerapkan hal tersebut. 

Pertanyaan lain pun hadir, apakah hal tersebut bisa mencegah pun menjadi solusi atau bahkan menjawab segala kekerasan dan pelecehan seksual yg terjadi dalam kampus?

Ketika terjadi kekerasan seksual mayoritas masyarakat menyalahkan korbannya atau yang biasa disebut dengan victim blaming. Alhasil karena adanya stigma seperti ini menyebabkan korban kekerasan seksual merasa lebih baik diam ketimbang harus melaporkan pelaku yang merugikannya secara mental dan fisik. 

Pimpinan perguruan tinggi sudah seharusnya tak menutup mata dalam persoalan pelecehan di dunia kampus karena telah memakan banyak dan mendapati korban tak dapat bergerak dengan aktif. Hal tersebut karena tidak adanya ruang aman yang diciptakan dalam kampus. [CAN/377]

Bagikan

- Adv -

Terbaru

close
Banner iklan disini