[Sumber: asumsi.co]
METANOIAC.id Lembaga kemahasiswaan merupakan wadah dan pilihan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kapasitas kemahasiswaannya dan kreativitasnya ketika memasuki jenjang perguruan tinggi.
Lembaga kemahasiswaan memiliki banyak ragam dan varian namun, umumnya dibagi menjadi dua kategori. Pertama, organisasi mahasiswa intrakampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kedua, ada juga organisasi mahasiswa ekstrakampus.
Tulisan ini merupakan kumpulan ‘sapaan cinta’ terhadap organisasi mahasiswa intrakampus yang sampai hari ini tidak pernah melampaui apapun, melainkan hanya mengambang di atas spektakel-spektakel menjijikkan tentang idealisme mahasiswa atau dalam kadar yang tak kalah rendahnya, hanya mereproduksi individu yang bermental budak (ressentiment).
Tulisan ini berdasarkan pada pengalaman yang orang-orang alami di organisasi mahasiswa intrakampus dan ekstrakampus. Pengalaman yang dianggap tidak secara umum terjadi di beberapa lingkungan kampus.
Budaya Senioritas
Kita mengenal istilah biner “senior dan junior” di dalam kampus. Istilah yang mengarah pada penegasan akan identitas berdasarkan strata yang dibangun oleh mahasiswa sendiri.
Bahwa “senior” berarti ‘mahasiswa yang lebih dahulu eksis di kampus maupun organisasi’ dan karena dia lebih dahulu eksis, maka segala bentuk kehormatan secara otomatis melekat padanya.
Sebaliknya, “junior” berarti ‘mahasiswa yang baru eksis di kampus maupun organisasi’ dan karena dia lebih baru eksis, maka dia dianggap lebih rendah derajatnya dari senior.
Alibi yang sering kali mereka pakai, seperti “mahasiswa baru (junior) belum tahu apa-apa dibanding senior”; “junior mentalnya belum terasah”. Sama sekali tidak layak dipertimbangkan, karena memang tidak berdasar.
Apakah tolak ukurnya adalah pengetahuan yang dimiliki?
Karena akses pengetahuan yang terbuka, pengetahuan yang dimiliki seseorang akan menjadi sangat relatif. Walaupun itu tentang pengetahuan kejuruan yang dianggap hanya akan didapatkan di pendidikan formal seperti perguruan tinggi.
Tidak ada seorangpun yang bisa membuat yang lainnya menjadi pelajar yang berwawasan dan kritis; sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh orang-orang yang menganggap dirinya adalah “senior”, selain hanya diri kalian sendiri, karena ketika kalian menjadi individu yang kritis dan merdeka, itu ibarat mereka sedang memberikan pisau yang akan kalian gunakan untuk membunuh mereka. Namun, budaya senioritas ini direproduksi terus menerus oleh organisasi intrakampus melalui pengaderan yang mereka lakukan setiap tahun.
Budaya senioritas juga secara inheren memicu hadirnya penokohan dan pengultusan senior dalam organisasi mahasiswa yang akan berujung pada otoritarianisme, yang mana pola pikir para junior dipaksa harus seragam, seolah otaknya digerakkan oleh para senior, sehingga para junor tidak mampu untuk berpikir mandiri.
Contohnya, dalam rapat-rapat organisasi, kesepakatan rapat terkadang harus dibatalkan atau berubah menjadi hasil yang berbeda hanya karena kemauan dari sang senior. Alih-alih membuat mahasiswa bisa berpikir bebas, berkreativitas serta bertindak, pengultusan terhadap senior ini akan membuat organisasi menjadi monoton karena tidak mampu menghadirkan kritik-otokritik di dalamnya.
Sektarian dan Eksklusif
Organisasi mahasiswa pada umumnya banyak yang bersifat sektarian dan eksklusif. Kita bisa melihat bentuk sektarian dan eksklusivitas organisasi mahasiswa pada pengaderan yang mereka laksanakan setiap tahun. Pengaderan tersebut penuh dengan indoktrinasi tentang kebanggaan yang berlebihan pada identitas organisasi mereka (identitas kampus, jurusan, bahkan UKM).
Maka kita tak jarang menemukan mahasiswa baru yang tidak ikut organisasi akan dikucilkan, sementara yang ikut organisasi mendapatkan perlakuan istimewa. Hal yang bertentangan dengan slogan-slogan yang selalu mereka umbar tentang kesetaraan untuk semua orang. Selain itu, tak jarang juga kita menemukan tawuran antarkelompok mahasiswa yang dipicu dari kebanggaan akan identitas palsu masing-masing dari mereka.
Produk organisasi inilah, kita dapat melihat adanya kontradiksi. Bagaimana di setiap tahun ajaran baru, mereka dengan lantang menyuarakan sumpah atas ketidakadilan dan penindasan. Namun, mereka secara sadar menjadi penindas di tempat mereka bernaung. Seperti menciptakan labirin, mereka justru tersesat di labirin yang mereka ciptakan sendiri.
Kesesatan ini bisa kita telusuri dengan fragmentasi yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri, mereka saling memandang dirinya tidak terhubung antarsatu dengan lainnya, sehingga akan berujung pada keterasingan dengan masalah-masalah sosial yang mereka anggap sedang mereka perjuangkan.
Lebih jauh, tak hanya soal antar kelompok mahasiswa, tetapi bagaimana eksklusivitas dan sektarianisme membuat mahasiswa teralienasi dari masyarakat umum. Seolah mahasiswa adalah kelompok individu yang mempunyai masalah yang berbeda dengan masyarakat umum. Mereka mahasiswa, abai melihat bahwa kita semua masih hidup dalam tatanan mapan bernama negara dan kapitalisme.
“Dalam periode di mana semakin banyak anak-anak muda yang semakin berusaha membebaskan diri dari prasangka moral dan otoritas keluarga, sebagaimana yang mereka jadikan subjek secara blak-blakan, secara terang-terangan mengeksploitasi masa muda mereka, mahasiswa justru berpegang teguh pada sikapnya yang tak bertanggung jawab dan larut pada sikap kekanak-kanakan mereka yang berlarut-larut.
Krisis remaja yang datang terlambat cenderung menjauhkan mereka dari keluarga, tetapi mereka justru tanpa mengeluh menerima diperlakukan seperti seorang bayi saat berbagai institusi mengendalikan kehidupan sehari-hari mereka. (Apabila institusi-institusi tersebut sekali waktu berhenti mengencingi wajah para mahasiswa tersebut, hal tersebut justru membuat para mahasiswa merasa terganggu).” Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1966
Budaya Kekerasan
Salah satu hal yang paling menjijikkan di dalam organisasi mahasiswa adalah awetnya budaya kekerasan. Budaya “kekerasan” yang kami maksud bukan hanya sebatas pada kekerasan fisik dan verbal yang sudah mendarah daging menjadi perpeloncoan dalam setiap pengaderan tetapi juga kekerasan yang “tersamarkan” melalui model-model relasi sosial yang hierarkis, dominatif, dan koersif.
Dalam organisasi mahasiswa, kekerasan seringkali muncul sebagai bagian dari metode pengaderan mahasiswa baru. Praktik kekerasan yang diterapkan bisa bermacam-macam: mulai dari menggunduli kepala mahasiswa baru; menyeragamkan pakaian; memaki dan mencemooh; manipulasi; dan juga memukuli. Alasannya sama sekali tak masuk akal dan tak sepadan, yakni untuk membentuk mental, karakter, serta solidaritas mahasiswa baru sebagai kader dan penerus organisasi.
Bagaikan polisi moral, para mahasiswa senior melegitimasi kekerasan institusional, kekerasan struktural maupun kekerasan langsung yang hasilnya hanya untuk memuaskan hasrat kepengecutan mereka.
Siasat Heteronom
Mahasiswa mau tak mau harus mengamini bahwa lembaga kemahasiswaan adalah layaknya miniatur cacat dari negara walaupun lembaga-lembaganya tak selengkap layaknya negara, tetapi tetap bersifat permanen, sentralistik, dan mereproduksi watak negara yang selalu berusaha menjaga status quo.
Eksistensi lembaga kemahasiswaan tidaklah lebih dari upaya pereduksian potensi individu-individu mahasiswa, pengalienasian mahasiswa dari masalah sosialnya, separasi mahasiswa dari lingkungan sosialnya, dan reproduksi dari relasi sosial yang diproduksi oleh negara dan kapitalisme.
Bahkan yang menjadi kekeliruan ialah, lembaga-lembaga kemahasiswaan terlalu suci untuk menyaring deretan wacana-wacana kritis yang seharusnya menjadi gizi dan nutrisinya.
Sungguh ruang kewarasan yang sangat sempit di tengah luasnya peradaban yang pelan-pelan semakin mengeksploitasi akal sehat. Jika terus seperti ini, maka budaya berpikir yang dipresentasi Karlina Supelli, adalah “terjebak di antara mono dan polikromatik, masyarakat prismatik”.
Sederet lembaga kemahasiswaan, sangat sedikit dan hampir tidak ada secara organisasi maupun individu yang mampu menyiratkan perspektif independen, kritis, dan terbuka sebagai budaya dalam kehidupan kampus. Sangat boleh dikatakan keberhasilan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) secara historis mencapai dominasinya dalam sipil akademik.
Dalam hal ini, etos yang melekat dalam struktur politik kelembagaan tidak lain hanyalah etos yang dikembangkan sejauh meningkatkan fungsi kekuasaan, sebaliknya etos kritis terhadap tanggung jawab publik tidak diberikan tempat.
Mengamati cuaca kultural pada masyarakat kampus saat ini, kalian akan menemukan seonggok masyarakat prismatik, masyarakat tradisional (monokromatik) yang hidup dalam manufaktur industrial modern (polikromatik). Di mana kebudayaan yang berkembang hanya sebagai aspek perayaan gaya hidup yang dikemas dengan prinsip formalisme; loyalitas tetapi tidak kompeten, bukan sebagai aspek berpikir.
Seperti halnya berlembaga, mereka hanya menerima lembaga sebagai aspek identitas atau seremonial, tidak sebagai aspek gagasan.
Tentu saja kekeliruan strategi budaya yang berpengaruh terhadap cara berpikir ini dibangun dan ditanggung oleh masyarakat itu sendiri. Jika matra ini tetap linier, maka terus terang pola pikir progresif sulit mendapatkan tanah yang subur untuk tumbuh, kecuali secara otonom, jika tidak bersiaplah hidup dalam siasat heteronom.
“Beberapa organisasi harus menekankan kritik radikal atas seluruh fondasi masyarakat yang mereka perangi, antara lain: produksi komoditi, ideologi dalam segala penyamarannya, negara dan separasi yang dihasilkannya.” Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1996 [CAN/377]