METANOIAC.id “Ada satu konsep kunci dalam negara, dan konsep itu adalah pengkhianatan. Jika dimungkinkan untuk bisa hidup tanpa kekuasaan negara, manusia tentu akan memilihnya, ketimbang hidup di bawah kekuasaan negara.”
Sedari awal, manusia hidup atas kehendak dan kebebasan yang sudah tumbuh dalam diri manusia itu sendiri, tanpa aturan dan hukum-hukum yang dipaksakan, bahkan manusia sudah mengembangkan perilaku saling menolong, mendukung dan membangun kebersamaan.
Namun, sekelompok orang datang menciptakan satu kondisi, dengan menerapkan aturan dan hukum-hukum yang berlaku sebagai pengadil dengan dalih agar hidup para manusia tetap terkendali dan berlangsung lama tanpa adanya kecemasan. Bukankah satu kondisi itu terkesan dipaksakan?
[Baca juga: Pancasila: Keadilan Sosial Sebagai Tujuan Utama].
Sejak saat itu, orang-orang mulai menjadikannya sebagai sebaik-baiknya alat berlindung dan juga tempat menitipkan secercah harapan.
Satu kondisi yang telah tercipta tersebut telah memberikan kekuasaan terhadap sekelompok orang dan menghasilkan dominasi manusia antar manusia.
Satu kondisi tersebut berlangsung hingga hari ini. Di mana kita melihat ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, alienasi, dan dehumanisasi nampak dengan begitu nyata.
Ini terjadi sebab adanya “kehendak untuk mendominasi” pihak lain; mendominasi dalam bentuknya yang sempurna: berkuasa. Dominasi ini bahkan dilembagakan dalam institusi bernama “negara”.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Peter Kropotkin seorang anarkis rusia, bahwa ada dua kekuatan yang hidup di tengah kehidupan masyarakat.
Kekuatan pertama adalah kekuatan yang sudah tumbuh semenjak manusia masih hidup dalam klan-klan primitif, dan kekuatan yang kedua adalah kekuatan yang merusak kebebasan manusia.
Negara adalah kekuatan kedua yang dimaksud oleh Peter Kropotkin; kekuatan yang merusak kebebasan manusia.
Dengan dalih agar hidup para manusia tetap terkendali dan berlangsung lama tanpa adanya kecemasan, nyatanya daya cipta dan kehendak bebas manusia yang tumbuh sedari awal dirusak dengan terciptanya kekuatan baru (kekuasaan yang dipaksakan) melalui aturan yang begitu normatif.
Tak hanya itu, kehadiran negara pun adalah awal mula dari munculnya kelas-kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat, yakni pertentangan antara kelas yang menguasai alat-alat produksi dan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi.
Mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi akan dipaksa tunduk kepada mereka yang menguasai alat-alat produksi.
Semenjak manusia memilih untuk berlindung dan menitipkan harapan di bawah kekuasaan, semenjak itu juga penaklukkan manusia lain dan alam dimulai.
Inilah panorama yang kita saksikan dalam sejarah panjang masyarakat kelas; pertentangan antara budak dengan pemilik budak dalam masyarakat perbudakan, pertentangan antara petani hamba dengan tuan tanah dalam masyarakat feodal, dan yang paling terakhir adalah pertentangan antara proletariat dan borjuis dalam masyarakat kapitalis.
Singkatnya, pertentangan antara mereka yang ditindas dan mereka yang menindas.
Kehadiran negara telah memupuk legitimasi atas kekuasaan, menciptakan tirani, melakukan penundukan dan pengontrolan penuh terhadap setiap individu.
Gairah untuk mengembangkan hidup dengan kehendak dan kebebasan asali setiap individu pun terbatasi. Dengan begitu, apakah kita memerlukan negara?
“Setiap klaim atas kekuasaan sudah pasti akan menimbulkan resistensi dari yang lainnya. Sebab manusia, secara naluriah, ingin hidup lepas dari ‘dominasi’. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alamiah untuk hidup ‘bebas’ dari dominasi atau kekuasaan oleh yang lainnya”
Melalui dominasi yang dilembagakan dalam institusi yang bernama “negara”. Legitimasi kekuasaan dan pembentukan lembaga kekuasaan yang dimotori oleh politisi, birokrat, kaum industrialis, agamawan dan para aparat yang telah merencanakan pemusnahan manusia dengan begitu detail.
Nyawa tak lagi berarti, masa depan tiap manusia tak akan pernah berarti di bawah tirani.
Dengan begitu, keberadaan institusi negara secara otomatis akan berujung pada keadaan yang tak ideal; ada sekelompok orang yang berkuasa, dan orang-orang lain yang dikuasai.
“Tunduk” pada kekuasaan orang lain adalah keadaan yang secara naluriah tidak disukai manusia.
“Dapatkah sebuah gairah yang kita bebaskan dengan liar sebanding dengan kenikmatan yang tak terdefinisikan dalam melanggar dan meruntuhkan dinding aturan dan hukum yang mematikan emosi?”
Kini kita hidup di dunia di mana kekuasaan mengontrol setiap kondisi manusia, inilah dunia tontonan. Dunia di mana segala yang kita lihat bukanlah sesuatu yang nyata, sebuah dunia di mana kita dikondisikan untuk menonton;
Sebuah dunia yang dikonstruksikan, sebuah dunia yang dibingkai, sebuah dunia yang dengan hati-hati mengkonstruksi ilusi tentang diri kita sendiri, tentang orang lain, tentang kekuasaan dan kehidupan sehari-hari. Sebuah pandangan hidup dari perspektif kekuasaan.
Setiap orang ingin bernapas dan keluar dari sudut sesak ini sebab tak seorangpun yang dapat bernapas dalam dominasi kekuasaan. Tetapi beberapa orang berkata: “Kami akan bernapas di hari tua kami.” Hanya saja, kebanyakan tetap tak pernah dapat bernapas sebab lebih dulu mati di tangan kekuasaan.
Dunia tontonan telah mengkonstruksi kenyataan, ia tak dapat membuat kebebasan dan ia juga tak membebaskan. Ia hanya menawarkan mimpi tentang kebebasan.
“Pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya mau membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang hingga sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka ” (Mikhail Bakunin).
Tatanan yang sentralistik dengan logika kekuasaan akan menghadirkan tirani yang melegitimasi segala bentuk penundukan, eksploitasi dan pengontrolan penuh terhadap setiap individu.
Karena logika kekuasaan hanya menghendaki dirinya sebagai pahlawan dan yang lain hanyalah penonton. Karena logika kekuasaan hanya menghendaki pengontrolan dan bukan kebebasan.
Dunia tontonan ini tidak hanya mengkooptasi waktu kita, tetapi juga mengkooptasi lingkungan kita. Menjadi pemisah antar individu satu dengan individu lainnya, karakter publik yang dikonstruksi dalam sebuah lingkungan yang dirancang dengan alur terbaik yang dapat menyembunyikan penderitaan hidup di bawah tirani kekuasaan.
“Zarathustra menyarankan agar gairah untuk bermain dikembalikan untuk menghancurkan masyarakat yang menindas gairah. ”
Penghancuran seluruh teritori dengan gairah yang merangkum semua detonator kemuakan bagi penindasan, untuk mengirimkan gelombang resistansi yang mengguncang seluruh kekuasaan.
Bukan untuk mengimprovisasikan masyarakat yang eksis saat ini; hanya untuk membuat bagaimana hidup menjadi lebih menarik.
Kita harus melibatkan diri dalam situasi-situasi radikal untuk mempercepat proses penghancuran kekuasaan; untuk menciptakan situasi yang merenggut orang-orang dari perilaku dan pola pikir kesehariannya.
Untuk menarik mereka dari kursi penonton menuju panggung. Untuk menghancurkan panggung yang telah disetting dengan ilusi-ilusi kekuasaan, untuk mengerti dan memperlihatkan bahwa selalu ada cara lain untuk melakukan sesuatu, apapun juga hal tersebut, diluar kekuasaan.
Untuk mengidentifikasi tuntutan-tuntutan nyata; tuntutan untuk hidup lepas dari dominasi kekuasaan. Satu-satunya tuntutan yang direnggut oleh kekuasaan itu sendiri.
Kita harus meneriakkan impian, hasrat dan gairah kita serta memberikan napas kehidupan padanya semampu diri kita. kita harus mulai untuk membangun dunia yang kita inginkan saat ini juga (Kebebasan individu dan kebersamaan sosial bagi tiap individu yang akan menghidupi hidupnya).
Satu-satunya cara untuk mengembangkan sebuah teori revolusioner adalah dengan mempraktekkannya; teori revolusioner hanya akan menjadi revolusioner apabila ia mampu diletakkan dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Sebuah fenomena revolusioner yang berdasarkan pada teori revolusioner adalah keberadaan partisipasi publik. Hanya dengan partisipasi langsunglah maka dominasi dan kekuasaan akan runtuh.
Revolusi adalah sebuah jalan, bukan tujuan, sesuatu yang seharusnya dimulai dalam kehidupan harian, hari ini, saat ini juga. Ini bukan saatnya lagi menunggu kekuasaan untuk menciptakan perubahan, tapi merebut kembali hidup kita dan membuat perubahan menjadi tanggung jawab kita sendiri!
Melihat bagaimana orang-orang merelakan hidup saat ini dalam keadaan tak bernafas. Kita tak akan kehilangan apa-apa, bahkan setelah kita mati.
Karena kita telah menghidupi hidup. “Menikmati momen yang ada! jangan pernah biarkan dirimu terlibat dalam apa pun yang tidak membuatmu bergairah!” seru Zarathustra. [CAN/377]