METANOIAC.id Pernahkah anda berpikir apa sebenarnya guna Pancasila bagi bangsa Indonesia? Apakah hanya sebagai bahan bacaan pada saat upacara bendera? atau menjadi alat untuk memberangus lawan politik yang tak seirama dengan pemerintah?
Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila hanyalah menjadi atribut serta slogan agitasi propaganda politik, bahkan nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
[Baca juga: Kemerdekaan yang Melahirkan Ketidakmerdekaan].
Sekedar merefleksi ingatan bahwa Pancasila lahir dari revolusi nasional Indonesia, yakni perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih tepatnya revolusi itu adalah revolusi borjuis demokratik. Revolusi ini adalah suatu revolusi yang tujuan utamanya adalah pembentukan negara bangsa yang mandiri dan demokratis.
Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai revolusi borjuis demokratik, Liberté, égalité, et fraternité (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Kebebasan, yakni merdeka dari penindasan manusia atas manusia. Kesetaraan, yakni keadilan sosial, kesetaraan hukum dan hak. Persaudaraan, yakni persatuan antar sesama. Tetapi, apa yang dielu-elukan oleh revolusi borjuis ini hanyalah untuk kaum borjuis penguasa saja. Agar sedikit lebih berguna, yang harus dilakukan ialah mengukuhkan Pancasila sebagai landasan etika sosial-politik bangsa Indonesia.
Sebagai etika sosial-politik, Pancasila butuh penafsiran lebih dalam agar menjadi mungkin untuk diimplementasikan bukan hanya pada lingkup pemangku kekuasaan, tetapi sampai pada skala terkecil, yaitu dalam diri setiap individu.
Keadilan Sosial Sebagai Tujuan Utama
Kita akan mulai menafsirkan setiap sila Pancasila. Dimulai dari sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci dalam sila ini adalah adil dan sosial. Kata adil tidak bisa direduksi hanya menjadi adil dalam arti materi semata. Sebab, bila kita menelisik lebih jauh, kata adil dalam Bahasa Yunani yaitu dikaios, padanan dalam bahasa Indonesia-nya ialah benar yang merupakan suatu esensi yang lebih dari kehidupan sehingga hidup dapat mengalirkan norma-norma etika yang benar.
Makna adil ialah tidak berpihak karena bersikap sama pada setiap kenyataan, walaupun harus berpihak maka hanya berpihak kepada kebenaran. Sedangkan sosial berasal dari kata latin socius yang berarti kawan atau teman. Dengan demikian, penulis menafsirkan keadilan sosial sebagai sebuah sikap atau tindakan yang melahirkan interaksi antar individu, kelompok, serta masyarakat yang berlandaskan pada apa yang benar (kebenaran).
Kebijaksanaan Sebagai Jalannya
Selanjutnya, bagaimana kita bisa melakukan suatu tindakan yang berlandaskan pada kebenaran untuk mencapai keadilan? Pancasila sendiri memberikan cara untuk mencapai kondisi keadilan sosial ini melalui sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ada dua kata kunci perlu kita elaborasi untuk mengerti apa maksud dari sila keempat yaitu hikmat dan bijaksana. Keduanya memang acapkali diidentikkan namun ada sedikit perbedaan.
Hikmat merupakan tujuan yang hendak dicapai sedangkan bijaksana adalah jalannya. Artinya, hikmat adalah kondisi di mana manusia sudah mengetahui kebenaran dan mengimplementasikannya; di mana hal tersebut dapat ditempuh manusia dengan ‘jalan’ selalu mengaktifkan akal dan budi dalam setiap tindakannya. Manusia bijaksana merupakan manusia yang memaksimalkan akal dan budinya. Kata hikmat dan bijaksana dapat kita lekatkan dengan kata filsafat; philo dan Sophia, yaitu cinta akan kebijaksanaan.
Adapun cara untuk mencapai keadilan sosial ialah di mana dalam diri tiap warga Indonesia harus ‘dipandu’ dengan sikap yang selalu mencintai kebijaksanaan sehingga tindakannya akan selalu mengarah pada dikaion. Setiap individu warga harus dipimpin oleh sifat sebagai pecinta kebijaksanaan (philosophos) dengan terus-menerus mencintai kebijaksanaan maka manusia akan terus mengaktifkan akal dan budinya.
Terkait akal dan budi, Franz Magnis Suseno menyebut itu sebagai ciri khas dari manusia; yang membedakan manusia dengan binatang. Aristoteles juga menyatakan bahwa kegiatan akal budi dilaksanakan dalam dua pola kehidupan manusia; kehidupan politis (praxis) dan kontemplasi (theoria). Praxis adalah aktualisasi kehidupan manusia melalui partisipasinya dalam kehidupan masyarakat, sedangkan theoria terkait jiwa manusia yang dekat kepada ilahi; sebuah kegiatan murni akal budi.
Melalui praxis, manusia dapat merealisasikan ciri khas dirinya sebagai makhluk sosial (zoon politicon), di mana hal ini yang membedakan manusia dengan dewa maupun binatang. Terdapat unsur kerohanian dan unsur kejasmanian dalam diri manusia. Sebagai zoon politicon, setiap manusia akan berusaha mewujudkan; eudaimonia atau kebahagiaan dalam kehidupannya secara bersama-sama.
Mencipta Kolektivisme
Bila setiap warga Indonesia mengupayakan yang telah dijabarkan pada sila kelima dan sila keempat, maka kesempatan terciptanya sila kedua; Kemanusiaan yang adil dan beradab, akan semakin terbuka lebar. Adab ialah kehalusan budi pekerti, ia akan semakin jernih untuk menilai baik dan buruk. Jika manusia sudah adil dan beradab apakah mungkin suatu perpecahan, pertikaian serta peperangan terjadi? Bukankah hanya persatuan yang kita tuai? Sebagaimana pada sila ketiga; Persatuan Indonesia.
Seorang penguasa sudah seharusnya tak mengeluarkan sebuah perintah (hukum) atau kebijakan yang akan menguntungkan kepentingan pribadinya atau golongan saja tetapi kepentingan warga sebagai subjek utama. Seperti halnya seorang dokter yang hanya mempelajari kepentingan pasien dan bukan kepentingannya sendiri.
Terkait soal persatuan, hal itu dapat tercipta dengan mengandaikan adanya keadilan, dengan kata lain persatuan ialah sahabat dari keadilan, di mana ada keadilan di sana akan ada persatuan.
Setelah sila kelima dan keempat diupayakan melalui penjabaran yang penulis tawarkan, lalu tercipta sila kedua dan ketiga, dengan begitu sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa akan tercipta dengan sendirinya. [CAN/377]