Dalam hidup ini kesempatan terbentang luas, tetapi keputusanlah yang membuatnya sempit. Namun, bukankah luas ataupun sempit itu relatif? Mungkin tergantung ke mana kita melangkah.
“Maka pulanglah ke makna,” begitulah kira-kira bunyi kalimat Rumi.
Pada malam yang cerah, saya pernah bertemu dengan seorang laki-laki usianya sekitar 20-an tahun di kedai kopi bernuansa literasi. Kala itu saya sedang membaca buku kumpulan puisi Goenawan Moehamad. Tidak lama berselang, ia menegur saya dengan nada rendah dan tanpa basa-basi menanyakan perihal buku yang sedang saya baca.
Pembatas buku saya selipkan di halaman terakhir bacaan lalu memperlihatkan sampulnya, Goenawan Moehamad.
“Saya juga membaca karyanya, tapi bukan puisinya,” katanya
“Lalu apa?” tanyaku penasaran.
Ia melanjutkannya dengan berkata “Kumpulan tulisan yang rutin ditulisnya di Tempo, catatan pinggir judul bukunya”.
Begitulah awal mula saya mengenal “Catatan Pinggir” Goenawan Moehamad. Sampai saat ini saya belum mencari tahu mengapa ia memberi nama judul bukunya “Catatan Pinggir”.
Namun, halaman demi halaman terus berlanjut hingga perjalanan itu sejenak terhenti pada sub judul “Aneh”. Sebuah tulisan yang memikat pikiran saya untuk berlama-lama di sana, merenung dan bernikmat ria oleh kata demi kata beserta pengalaman orang-orang di dalamnya.
Goenawan Moehamad menceritakan rangkuman perjalanan hidup seseorang bersama jabatan di negara yang berbeda-beda. Terdapat lima tokoh yang disertai dengan keanehan hidupnya masing-masing. Tetapi dalam tulisan ini saya hanya mengutip satu tokoh, semoga ada pembelajaran yang bisa kita petik darinya.
“Di Israel, seorang perdana menteri bernama Manachem Begin berjanji bahwa ia akan tetap tinggal di alamatnya yang lama di sebuah apartemen berkamar tiga. Janji ini tidak terlalu berat untuk dipenuhi, ia tetap saja tinggal di sana sejak tahun 1946 walaupun ia termasuk ‘Tokoh Nasional’.
Kota Israel terkenal dengan terornya menghalau (kalau perlu membunuh) orang-orang Palestina dari tanah mereka. Orang bilang, “Begin memang orang berbahaya terutama bagi perdamaian Timur Tengah, tetapi dia bersih”.
Semua tokoh yang diceritakan oleh Goenawan Moehamad memiliki status tergolong tinggi, mereka adalah orang-orang penting di pemerintahan. Namun, ketinggian statusnya tidak membuat hidupnya searah dengan sistem yang dijalankan. Mereka memilih hidup berbeda, hidup yang lain sesuai dengan sub judulnya yaitu Aneh.
Mungkin tidak hanya mereka yang memiliki keanehan itu, masih ada orang-orang lainnya yang disembunyikan atau memilih sembunyi dari riuhnya kehidupan ini dan saya mengetahuinya sebagai Presiden Malioboro.
Presiden Malioboro itu bernama Umbu Landu Paranggi, lahir di Sumba Timur pada 10 Agustus 1943. Salah satu pendiri Komunitas Persada Studi Klub (PSK) untuk membimbing kelompok penyair dan seniman muda kala itu di Yogya. Bagi Umbu, puisi bukan sekadar tulisan melainkan kehidupan. “Umbu mengayomi anak-anak muda belajar puisi, tetapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair,” kenang Emha Ainun Nadjib.
Terdapat perbedaan antara menulis puisi dengan menulis hal-hal lainnya, puisi membutuhkan unsur-unsur tertentu agar layak disebut puisi. Unsur terpenting dalam puisi ialah makna dan estetika, tanpa kedua unsur yang disebutkan di atas agaknya tulisan belum layak disebut puisi.
Berangkat dari pemahaman tersebut, idiom Umbu “Kehidupan Puisi” menginterpretasikan agar kehidupan pun memiliki unsur yang serupa dengan puisi, yakni manusia harus memberi makna dan estetika terhadap hidupnya, sebab tanpa keduanya apakah hidup layak disebut hidup?
Penulis: Widi Suma