Ilustrasi. Ilustrasi kekerasan terhadap wartawan. [Sumber: cnnindonesia.com]
METANOIAC.id Mark Twain pernah berkata “Matahari yang menyinari alam semesta dan pers yang berkembang di muka bumi merupakan dua cahaya yang menerangi dunia ini” menurutnya, ungkapan tersebut tidak salah. Pers sangatlah berpengaruh dalam penyebaran informasi kepada publik.
Informasi yang akan disampaikan harus terstruktur rapi sebelum dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan pers saat ini sangat berperan penting untuk menerangi kegelapan informasi masyarakat publik.
Memandang tugas dan fungsi pers sangat penting, maka pers di Indonesia pun berkembang pesat. Pada zaman demokrasi liberal, pers turut andil dalam menyebarkan berita mengenai kemerdekaan untuk membangun negara Indonesia pasca penjajahan.
Seiring berjalannya waktu, banyak pers mahasiswa yang bermunculan dan berkembang, maka diadakanlah konferensi pers dengan tujuan untuk membentuk organisasi induk nasional bagi pers mahasiswa dan lahirlah dua organisasi, yaitu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI).
Setelah terbentuknya dua organisasi induk pers nasional, dinamika kehidupan para jurnalis pun dimulai.
Pada zaman demokrasi terpimpin, kegiatan pers mahasiswa terhalang dengan adanya keputusan Ir. Soekarno untuk memasukkan Manifesto Politik Undang-Undang Dasar 1945 (ManiPol USDEK) dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) lembaga kemahasiswaan.
Dampak dari keputusan ini adalah timbul suatu kebingungan di tubuh IPMI (Gabungan IWMI dan SPMI pada konferensi pers kedua) karena beberapa anggota memilih untuk mempertahankan independensinya sebagai pers atau memihak pada partai politik (parpol) tertentu. Sehingga banyak lembaga pers yang mengalami kemunduran karena dinamika kebangsaan yang berkembang pada saat itu.
Kemudian di zaman orde baru, pers dihadapkan dengan masalah SK dari menteri yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang membuat lembaga pers mahasiswa diberedel pada saat itu. Belum lagi dengan adanya tragedi Malapetaka 15 Januari (MALARI) yang mengharuskan pers mahasiswa padam pertama kalinya. Bukan hanya pers mahasiswa yang diberedel, bahkan pers umum pun mendapatkan dampak dari tragedi-tragedi tersebut.
Kejadian pada dua zaman tersebut bisa dikatakan membatasi ruang gerak jurnalis dalam melakukan peliputan di lapangan. Maka dibuatlah sebuah konstitusi yang tertuang dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang perkembangan pers di Indonesia. konstitusi ini diharapkan agar kegiatan peliputan jurnalis benar-benar terlindungi.
Kebebasan pers telah dijamin oleh undang-undang, tetapi tidak menutup kemungkinan tetap saja ada resiko yang terjadi saat melakukan peliputan di lapangan. Banyak kasus-kasus yang menimpa jurnalis saat melakukan reportase. Contohnya diteror, dianiaya, dilecehkan, jurnalis yang hilang hingga diancam untuk dibunuh. Semua itu terjadi karena para jurnalis mengungkap fakta yang tersembunyi kemudian disebar ke publik.
Contoh di atas bukan tidak berdasar, ada banyak kasus yang terjadi di Indonesia tentang kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Berikut Beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terangkum diantaranya:
- Dilansir dari IDN Times, sebuah kasus kekerasan terhadap jurnalis Detik.com mengalami intimidasi, doxing, teror bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan setelah menulis berita terkait Presiden Joko Widodo yang akan membuka mal di Bekasi di tengah pandemi COVID-19.
- Sebut saja N yang merupakan jurnalis Tempo yang menjadi korban penganiayaan saat melakukan kerja jurnalistik di Surabaya, Jawa Timur. Mengalami saat dia melakukan reportase terkait Angin Prayitno Aji selaku Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dalam kasus dugaan suap pajak yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dilansir dari KOMPAS.COM.
- Kasus selanjutnya sekaligus kasus terakhir yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah kasus penganiayaan hingga pelecehan terhadap jurnalis merahputih.com, Ponco sulaksono. Ia dikabarkan menghilang saat meliput kejadian aksi UU Cipta kerja atau Omnibus Law, kemudian ditemukan dalam kondisi babak belur di Polda Metro Jaya. Ponco menjelaskan bahwa ditahan oleh aparat berpakaian preman, Ia pun memperlihatkan ID Persnya sembari mengatakan bahwa dia adalah wartawan. Kemudian Ponco sempat dibawa ke Monumen Nasional (Monas) untuk diamankan dan alat komunikasi serta alat reportase pun disita oleh aparat. Thomas Kukuh selaku Pimpinan Redaksi merahputih.com menegaskan kepada aparat agar tidak mengulangi kejadian ini lagi sebab kegiatan para jurnalis dilindungi oleh UU No. 40 tahun 1999.
Itulah beberapa kasus yang menimpa para jurnalis saat terjun langsung ke lapangan untuk mengungkap fakta. Namun, kerap kali mendapat banyak perlakuan tidak wajar yang tidak berjalan sesuai koridor kehidupan yang berlaku. Jelas bahwa kegiatan para jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang (UU), namun hukum hanya sebatas hitam diatas putih tetapi tidak diaplikasikan.
Berkaca dari kejadian-kejadian yang menimpa para jurnalis, akan ada saja pihak-pihak yang akan mencederai para wartawan. Bisa saja suatu saat nanti kita hilang entah ke mana dan benar-benar tidak ada bantuan. Sekalipun ada LBH Pers yang siap membantu dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tetap saja akan ada resiko dari setiap pekerjaan yang ditempuh.
Pesan penulis untuk para jurnalis “Tetaplah menjadi jurnalis yang independen dan berani, abaikan pihak yang mengintimidasi. Lakukanlah demi menyinari dunia ini dari banyaknya dramatisasi gelap kehidupan, seperti yang dikatakan Mark“.
Salam Pers Mahasiswa!
[MB/331]