Membaca buku “Talijiwo” karangan Sujiwo Tejo membuat jiwa semakin penasaran akan keindahan kata-katanya, terutama berbagai puisi yang agaknya sengaja ia sisipkan guna menambah cita rasa yang ia hidangkan kepada audiensnya. Di mana ia mampu menyuguhkan “Makanan kata” yang membuat pembaca tidak ingin cepat-cepat menghabiskan makanan tersebut. Ya, kita hanya ingin mencicipi kata demi kata yang penuh makna, kemudian mengunyahnya, dan akhirnya menelan makanan itu hingga kedalaman jiwa.
Seperti halnya kalimat yang tertera di cover belakang buku “Sudah berapa lama kau terjebak dengan beragam kesibukan yang tak habis-habis itu? Berhentilah berbusa-busa tentang kemerdekaan bila ternyata kau sendiri tak punya waktu luang”. Tambahnya, “Padahal hanya di dalam waktu luang manusia bisa berpikir dan merenung tentang bagaimana seyogianya mengisi kemerdekaan hidup”.
Sangat menarik apa yang dikemukakan Sujiwo Tejo, sebab manusia mana yang tak ingin merdeka? Setiap orang menginginkan kemerdekaan, sama halnya dengan setiap orang membutuhkan makan dan minum. Sederhananya, manusia mendambakan kemerdekaan dari segala hal, mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur.
Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan di pikiranku bahkan mungkin juga jiwaku. Apa hakikat dari kemerdekaan? Dan bagaimana wujud merdeka itu?
Hari-hari yang manusia jalani tak lepas dari suatu aktivitas, kita berangkat dari kegiatan satu menuju kegiatan berikutnya. Sejatinya, kita terikat oleh keadaan bernama kegiatan.
Misalnya, kita ingin merdeka dalam pekerjaan. Jadinya, kita sejenak lepas dari ikatan pekerjaan tersebut. Sebut saja istirahat dari pekerjaan, saat ini bagi kita istirahat adalah suatu kemerdekaan. Tetapi bukankah dari istirahat itu justru melahirkan ikatan berikutnya, yakni keterikatan dalam istirahat. Dari ilustrasi tersebut agaknya menimbulkan suatu pemahaman baru bahwa manusia merdeka dari suatu hal menuju ke hal tak merdeka lainnya. Kemerdekaan melahirkan ketidakmerdekaan.
Sejarah pun mencatat, para pahlawan dengan susah payah mengupayakan kemerdekaan di negeri ini dari belenggu kolonialisasi, justru lahir kolonialisasi menggunakan cara yang berbeda.
Baik itu kolonialisasi yang dilakukan elite global, maupun elite nasional. Produknya adalah hukum, sering digaungkan untuk kepentingan rakyat, tetapi dalam praktiknya malah sebaliknya. Mohon maaf, pernyataan sebelumnya tidak bermaksud untuk menyalahkan terkait adanya hukum, sebab hukum berperan untuk menertibkan. Agar setiap insan mengetahui batas antara hak dan kewajibannya. Dari batasan itulah setiap orang dapat mengetahui mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Pada hakikatnya kemerdekaan berimplikasi pada batasan, bukan hanya berbuat sebebas-bebasnya. Jika individu memberi arti merdeka adalah bebas, cenderung individu hanya mengetahui hak-haknya sebagai manusia dan mengesampingkan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Hak ialah kemerdekaan, dan kewajiban adalah batasan. Keduanya harus jalan beriringan, agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial. Dengan demikian dalam mengarungi alur lingkungan sosial, individu dapat merdeka jika haknya telah terpenuhi dengan syarat individu tersebut tidak melanggar batasan-batasan yang ada.
Akhirnya, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebait puisi:
Jika ingin adalah merdeka
Hidup tak akan mengenal rasa benci
Jika benci ialah tak merdeka
Cinta akan hilang dari diri
Batasi inginmu, bebaskan cintamu
Penulis: Widi Suma