METANOIAC.id Berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.
Kasus kekerasan seksual terus bertambah setiap harinya. Tak jarang pelaku kekerasan seksual berasal dari lingkungan sekitar kita sendiri bahkan seperti orang tua, saudara, dan kerabat dekat.
Sampai saat ini kasus pelecehan seksual masih menjadi masalah yang terus menerus terjadi. Meskipun diantaranya terdapat laki-laki yang juga menjadi korban, namun tidak dapat menutupi fakta bahwa perempuan masih menjadi sasaran utama dari pelecehan seksual dibandingkan dengan laki-laki. Kasus pelecehan seksual dapat dijumpai di berbagai kondisi dan yang menjadi pelakunya bisa dari orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Berbagai macam bentuk pelecehan seksual mulai dari yang paling sering dijumpai ialah melakukan kontak mata pada bagian tubuh perempuan, bercanda yang menjurus kepada unsur seksual, hingga mencapai level parah yaitu meraba-meraba tubuh korban atau bahkan memaksa melakukan hubungan seksual dengan mengiming-imingi sesuatu yang menjanjikan.
Namun, anehnya apabila korban adalah perempuan, ia akan disalahkan atas pelecehan seksual yang ia alami. Salah satu penyebab yang sangat digaungkan adalah karena gaya dari pakaian wanita yang dianggap kurang sopan sehingga mengundang nafsu laki-laki. Padahal sebenarnya hal pokok dari kasus ini bukanlah karena pakaian dari perempuan melainkan laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai objek dari nafsu mereka. Hal ini terjadi karena pola pikir masyarakat kita yang masih terbilang patriarkis. Termasuk juga para pemimpin, terkhusus yang berjenis kelamin laki-laki, sehingga solusi yang dihasilkan juga patriarkis.
Seperti pada kasus pencabulan terhadap 12 santri yang dilakukan oleh guru sekaligus pimpinan sebuah pesantren di Bandung.
Berdasarkan surat yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, mengatakan bahwa terdakwa terpaksa melampiaskan nafsu bejatnya kepada para santri karena sang istri enggan melayaninya di ranjang. Terdakwa mengaku ini karena mertuanya tak ingin punya banyak cucu, sehingga sang istri enggan untuk melayaninya.
Dalam menjalankan aksinya, pelaku melakukan berbagai cara agar dapat memaksa para santri melakukan hubungan intim dengannya. Di dalam surat dakwaan tersebut salah satu korban mengaku sempat dijanjikan akan dibantu bahkan akan dijadikan Polisi Wanita (Polwan) oleh pelaku.
Menyikapi hal ini, memanglah benar bahwa sebaiknya perempuan menjaga pakaiannya akan tetapi hal itu juga berlaku pada laki-laki yang harus menjaga hasrat serta nafsunya dan yang menjadi masalah lain juga karena perempuan kerap bungkam dan tidak berani ketika telah menjadi korban dari pelecehan seksual. Terdapat dua alasan utama yang menjadikan perempuan memilih untuk bungkam serta enggan melakukan apapun ketika menjadi korban pelecehan seksual, yang pertama adalah rasa malu serta rasa takut yang muncul secara alamiah dari korban. Mereka malu jika harus menceritakan ini kepada orang lain karena mereka berpikir hal tersebut adalah aib masyarakat yang harus ditutup rapat-rapat. Serta bungkamnya mereka karena takut dianggap tidak mampu menjaga diri. Korban pelecehan seksual bukan hanya takut kepada pelaku, melainkan mereka juga takut munculnya anggapan-anggapan negatif yang nantinya akan mereka terima dari orang-orang. Karena pemikiran patriarki masyarakat yang bisa jadi menyalahkan korban dan bahkan memandang negatif korban. [RNA/344]