METANOIAC.id Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hukum perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Dengan melakukan ratifikasi, maka pemerintah mengikatkan diri dengan sejumlah kewajiban yang melekat sebagai negara pihak dalam perjanjian itu untuk menjamin penikmatan hak-hak dasar warga negara.
Sebab Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia dan telah diratifikasi oleh pemerintah. Maka keberadaan Hak Asasi Manusia sangatlah fundamental, tidak bisa untuk tidak dipenuhi.
Negara sebagai pemangku kewajiban
Ada tiga kewajiban HAM yang diemban negara, yaitu to respect (menghormati), to fulfill (memenuhi), dan to protect (melindungi) hak-hak dasar warga negara.
Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, tetapi juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak tersebut.
HAM memiliki dua rumpun, yaitu hak-hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB). Hak SIPOL disebut juga hak negatif di mana negara tidak boleh melakukan intervensi. Semakin negara bertindak, maka potensi
pelanggaran HAM makin besar. Kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk rumpun hak SIPOL, sehingga semakin kecil intervensi negara dalam penghormatan hak ini, maka peluang penikmatan HAM makin besar.
Sebaliknya, hak EKOSOB disebut sebagai hak positif di mana pemenuhan hak ini sangat tergantung pada seberapa besar intervensi negara. Pemenuhan hak EKOSOB akan makin terjamin jika negara mengambil langkah-langkah yang memadai dengan cara realisasi progresif.
Secara periodik, Pemerintah Indonesia dievaluasi oleh badan-badan perjanjian internasional di bidang HAM untuk mengukur seberapa patuh Pemerintah Indonesia pada sejumlah kewajiban dalam hukum-hukum perjanjian internasional yang sudah diratifikasi.
Kewajiban pemerintah adalah memajukan dan menegakkan HAM tertera pula pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM.
Namun, HAM (Hak Asasi Manusia) masih saja diperbincangkan di kalangan masyarakat. Di semua ranah kehidupan orang-orang berbicara mengenai isu-isu yang berkaitan dengan HAM. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya tak pernah tersentuh dengan HAM sekali pun, kedudukan dan peran HAM makin banyak diperbincangkan.
Isu-isu mengenai hak asasi manusia dewasa ini bukan lagi hanya seputar masalah pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, karena hampir semua negara baik dalam konstitusinya maupun dalam peraturan perundang-undangan telah diberikan pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, di samping telah adanya beberapa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Masalahnya sekarang tertuju pada isu-isu penegakan dan pemajuan hak asasi manusia itu.
HAM, Pandemi dan Oligarki
Oligarki secara signifikan telah melemahkan negara. Kedaulatan Negara menjadi hilang dan karena itu kapasitas negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan sebagai kekuatan domestik untuk mensejahterakan rakyat menjadi semakin dipertanyakan. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa negara lebih banyak mewakili dan memperjuangkan kepentingan pemegang otoritas (korporasi) daripada kepentingan rakyatnya.
Alih-alih dibuatnya perjanjian kerja sama internasional semata-mata untuk membuat sistem perdagangan internasional yang bersifat monopolistik, serta memuluskan upaya penyelamatan kapitalisme dari kebangkrutan, yakni dengan mendesak dibuka bebasnya pasar tenaga kerja dan pasar investasi. Pada akhirnya, dominasi korporasi semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi korporasi seperti itu, segala segi hajat hidup rakyat tersandera oleh kepentingan kuasa modal hingga terciptanya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau lebih familiar kita kenal dengan Omnibus Law.
Juga demokrasi yang regresif paralel dengan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi di berbagai sektor, baik di bidang hak sipil dan politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya. Penanganan pandemi COVID-19 yang telah mewabah sejak dua tahun lalu, juga sedikit banyak mempengaruhi kemunduran demokrasi maupun berbagai pelanggaran hak asasi.
Secara garis besar, dampak nyata dari semua itu adalah terjadinya represi terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, kekerasan aparat kepolisian, kekerasan seksual domestik yang terus meningkat (dengan mengingat pula bahwa UU khusus perlindungan dari tindak kekerasan seksual juga tak begitu menjadi prioritas), hingga mengenai cenderung stagnannya kebijakan penetapan angka upah minimum bagi pekerja/buruh pasca pemberlakuan UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Kemunduran demokrasi hadir bersamaan dengan menguatnya oligarki. Nyatanya, UU Cipta Kerja dengan tujuan utama menciptakan kerangka hukum yang sangat kondusif bagi investasi, adalah proyek pamungkas oligarki. Omnibus Law ini telah merombak berbagai UU yang ada, dan memangkas berbagai jaminan-jaminan ketenagakerjaan bagi pekerja/buruh. Tidak terkecuali pula dengan pengesahan UU Mineral Batubara yang diproyeksikan akan mengancam lingkungan hidup, membuka keran investasi besar besaran bagi industri ekstraktif.
Pada sektor buruh, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. Dalam penetapan PP ini, maka kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2022 paling tinggi hanya 1.09%. Angka tersebut didapatkan dari formula baru dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi dari daerah yang bersangkutan. PP 36/2021 ini juga memperkenalkan formula untuk menghitung batas atas, sehingga upah minimum di sebuah daerah tidak naik jika besarannya melebihi batas atas. Variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas adalah rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, serta rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak menaati PP 36/2021.
Begitu juga dalam sektor agraria, di tengah pandemi dan perekonomian yang defisit, konflik agraria justru semakin meningkat. Berdasarkan penelitian Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), tercatat sepanjang 2020 terdapat 241 konflik agraria dengan jumlah korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga. Ia menerangkan bahwa konflik agraria di sektor perkebunan mendominasi dengan 121 kasus. Sementara itu, sektor kehutanan menyusul di posisi kedua dengan 41 kasus. Konflik di kedua sektor tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2019. Sektor perkebunan naik sebanyak 28 persen, sedangkan sektor kehutanan naik sebanyak 100 persen. Juga terdapat 139 kasus kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, aktivis dan 11 petani yang meninggal saat mempertahankan hak atas tanahnya.
Di saat terjadinya krisis ekonomi akibat pandemi, cara-cara penanganan konflik agraria justru tetap represif dan intimidatif. Pemerintah dan hukum turut memfasilitasi maraknya perampasan tanah. Hal tersebut nampak dari keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam proses penyelesaian konflik agraria. Sementara dalam sektor lingkungan, perubahan kata “didasarkan” menjadi “mempertimbangkan” pada perubahan UU No. 41 tahun 1999 akan mengakselerasi kesewenang-wenangan korporasi dalam eksploitasi ruang hidup masyarakat dan semakin melemahkan perlindungan lingkungan.
Sedangkan dalam sektor pendidikan, Omnibus Law akan memantik persaingan antar institusi pendidikan sekaligus merubah bentuk institusi itu sendiri dengan dihapusnya kewajiban prinsip nirlaba dengan kemudahan investasi.
Selain itu, hadirnya “Kampus Merdeka” juga saling mendukung dengan Omnibus Law. Dalam Undang-Undang tersebut, ada beberapa pasal yang berkaitan dengan pendidikan tinggi. Pasal 68 poin (6) dalam Omnibus Law telah memberi keleluasaan pada investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi dan juga mempertegas peralihan status pendidikan dari sekedar hak warga negara menjadi penjualan jasa. Sedangkan, pada pasal 69 poin (2) yang mengusahakan bagaimana kampus diberikan kemudahan dalam membuka program studi yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Dua pasal dalam Omnibus Law tersebut, kemudian didukung dengan adanya kebijakan Kampus Merdeka yang dibuat oleh Kemendikbud. Dalam Kampus Merdeka, terdapat empat poin yang dijadikan program utama di perguruan tinggi. Pertama, perguruan tinggi memiliki otonomi atau keleluasaan dalam pembukaan program studi baru. Kedua, kemudahan proses akreditasi perguruan tinggi. Ketiga, memberi kemudahan bagi perguruan tinggi berstatus Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja untuk menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH). Keempat, kebijakan bagi mahasiswa untuk mengambil 40 SKS (2 semester) di luar perguruan tinggi ditambah 20 SKS (1 semester) dengan prodi berbeda di perguruan tinggi sendiri. Empat poin dalam Kampus Merdeka tersebut mengacu pada Permendikbud No. 3, 4, 5, 6, 7 Tahun 2020.
Kemudahan-kemudahan yang ada di dalam Kampus Merdeka itu sama dengan Undang-Undang Omnibus Law. Keduanya sama-sama memberikan kemudahan bagi investor untuk berinvestasi dalam mencari keuntungan modal yang sebesar-besarnya. Banyak peraturan-peraturan dan proses-proses yang dihapus dalam Kampus Merdeka dan Omnibus Law dari kebijakan sebelumnya, sehingga memberikan karpet merah bagi para pemodal untuk masuk di dalamnya.
Mengaktivasi ruang, merawat ingatan dan menolak lupa
Lebih dekat dalam landscape lokal, Sulawesi Selatan terutama Makassar, beberapa kasus yang telah terjadi dan baru mencuat diantaranya: ancaman penggusuran bagi warga Bara-Baraya, dugaan pembunuhan di luar hukum terhadap Agung, penanganan kepolisian atas kasus kekerasan seksual yang menimpa tiga anak di Luwu Timur yang sangat tidak efektif, kriminalisasi terhadap Ibu Ramsiah dosen UIN Alauddin dengan menggunakan pasal karet UU ITE, vonis bersalah terhadap Asrul oleh PN Palopo karena pemberitaannya yang disangka melakukan pencemaran nama baik, pelaporan oleh terduga pihak kampus kepada Polrestabes Makassar kepada dua jurnalis mahasiswa UPPM UMI dengan sangkaan kasus penganiayaan maupun pengrusakan, represi Ormas reaksioner pada aksi-aksi demonstrasi mahasiswa Papua dan masih banyak lagi. [CAN/377]