METANOIAC.id Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Komite Aksi Hak Asasi Manusia (HAM) menggelar Human Right Fest dengan tagline HAM Dikorupsi. Festival berlangsung di aula Asrama IPMI Sidrap pada Rabu (08/12).
Festival tersebut merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Komite Aksi HAM sebelum tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari HAM Internasional.
Sonika selaku koordinator teamwork mengatakan bahwa festival kemanusiaan ini selain menjadi tempat silaturahmi untuk semua organisasi yang mengadvokasi isu-isu pelanggaran HAM, juga memperlihatkan kita semua bagaimana pelanggaran HAM itu nyata dan terjadi di sekitar kita.
“Sebelumnya tidak nyangka bakal banyak sekali yang datang karena beberapa hari ini cuaca kurang bersahabat. Festival ini kalau bisa dibilang ajang silaturahmi dan juga mengajak untuk membuka mata dan sadar ada banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar kita. Dibuktikan dari testimoni-testimoni yang disampaikan teman-teman,” jelasnya.
Fahri, salah satu anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) menerangkan bahwa tujuan festival ini salah satunya untuk merefleksi kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yang telah berlangsung sekian lama dan tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah.
“Di lain sisi, Human Right Fest ini juga sebenarnya menjadi wadah untuk merangkul kembali elemen solidaritas gerakan masyarakat sipil khususnya yang ada di Makassar, yang kita ketahui bahwa elemen gerakan masyarakat sipil saat ini tengah redup beberapa bulan yang diakibatkan karena pandemi Covid-19,” terangnya.
Ia juga menerangkan saat ini tidak ada tindakan yang serius dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu. Pemerintah justru menimbulkan kasus-kasus pelanggaran HAM baru dan terkesan tidak memiliki niat untuk menyelesaikan segala problematika kasus pelanggaran HAM.
“Setelah disahkannya Omnibus Law dan diberlakukannya sekarang, akhirnya semakin memperluas perampasan ruang hidup. Undang-undang yang kemudian pro rakyat seperti RUU Masyarakat Adat, RUU PKS, belum juga disahkan. Sehingga hal itu yang kemudian dapat disimpulkan bahwa rezim oligarki Jokowi-Ma’ruf itu sangat anti terhadap HAM atau pemenuhan HAM,” tambahnya.
Lebih lanjut Fahri menerangkan terkait pelanggaran HAM. Bahwa hal tersebut juga bersinggungan langsung dengan kasus-kasus agraria seperti perampasan lahan yang merupakan hak dasar manusia.
“Ketika hak dasar itu dirampas, maka secara langsung HAM itu dicabut, seperti kasus perampasan lahan yang terjadi di Bara-Baraya. Negara lewat instansi hukumnya telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Bara-Baraya yang secara sah merupakan pemilik tanah yang mereka tempati sejak tahun 1960 dengan memenangkan penggugat pada saat banding di Pengadilan Tinggi Makassar tanpa mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang ada,” tutupnya.
Rhandy, yang merupakan anggota Front Mahasiswa Kerakyatan (FMK) juga menerangkan bahwa sampai saat ini secara signifikan pelanggaran HAM terus terjadi dan hal itu dirawat oleh penguasa. Serta perlindungan dan pemenuhan hak seringkali dikesampingkan pemerintah.
“Hal semacam itu, dia dirawat betul oleh penguasa. Mulai dari Papua misalnya, sampai saat ini banyak korban yg terus berjatuhan. Baru-baru ini perampasan ruang hidup di Marafenfen juga jadi hal yang melukai kita semua. Perlindungan ada, tetapi jika berbenturan dengan kepentingan yang gigantik, hal mengenai perlindungan dan pemenuhan hak akan dikesampingkan,” terangnya.
Herliati, salah satu anggota Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mengungkapkan bahwa sangat banyak pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di bidang lingkungan. Beberapa diantaranya adalah hak atas informasi yang sangat jarang didapatkan oleh masyarakat yang notabene lingkungannya dirusak, tanahnya dirampas, atau wilayah tangkapnya diambil alih. Hak atas pembangunan, pemerintah saat ini tidak mempertimbangkan dengan baik manfaat maupun stabilitas pembangunan. Pembangunan saat ini hanya mengarah pada investasi dan kemajuan perencanaan pembangunan wilayah kota serta tidak mendistribusikan manfaat pembangunan itu ke masyarakat sekitar. Hak atas pekerjaan dan mencari nafkah, perampasan tanah dan pengrusakan wilayah tangkap oleh penambangan atau kegiatan industri lain akan menghilangkan sumber pendapatan masyarakat kecil. Hak atas lingkungan yang baik dan bersih, perampasan lahan terjadi bersamaan dengan kerusakan lingkungan, sedimentasi bekas tambang akan memperkeruh air laut di sekitar wilayah tangkap.
“Hal ini dilakukan oleh pemerintah dan korporasi-korporasi yang semisal dia punya wilayah konsesi yang dekat dengan pemukiman warga atau di wilayah tangkap nelayan tidak melakukan sosialisasi atau konsultasi publik serta pemulihan bagi nelayan dan perempuan pesisir yang sampai saat ini belum juga terpenuhi,” tutupnya. [CAN/377 GIT/351]