METANOIAC.id Aliansi Pro Demokrasi (APi Kampus) kembali melakukan aksi demonstrasi mengecam sikap pihak Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang lepas tanggung jawab terhadap dua jurnalis kampus UMI yang dikriminalisasi, serta mendesak Rektor UMI untuk segera memenuhi tuntutan massa aksi untuk melakukan forum mediasi bersama, Selasa (9/11).
Ciwang selaku massa aksi menuturkan, aksi ini adalah sebagai bentuk solidaritas terhadap dua jurnalis kampus UMI yang dilaporkan ke pihak kepolisian yang dimana masalah tersebut seharusnya diselesaikan di internal kampus.
“Seharusnya kampus memiliki tanggung jawab penuh terhadap penyelesaian kasus ini, bukan malah dilaporkan ke pihak kepolisian,” tuturnya.
Sejak awal pemanggilan hingga aksi solidaritas ini dilakukan seharusnya pihak kampus UMI yang notabene sebagai penanggung jawab utama bisa menangani kasus ini.
“Karena sebagai penanggung jawab utama, bukan malah melaporkan ke pihak kepolisian, artinya UMI lepas tanggung jawab terkait kasus ini,” tambahnya.
Digelarnya aksi kedua ini karena sampai hari ini pihak kampus belum punya iktikad baik, dimana pada aksi pertama kami berniat menemui rektor tapi yang keluar WR III tanpa memberikan solusi.
“Jadi, memang tidak ada iktikad baik dari pihak kampus untuk menyelesaikan kasus ini yang dari awal pemanggilan kedua jurnalis kampus hingga aksi solidaritas kedua ini dilakukan. Malahan kampus menutup mata dan enggan memberi komentar terhadap dua mahasiswanya yang dilaporkan ke polisi,” tutupnya.
Selaras dengan itu, Alex selaku Jenderal Lapangan (Jenlap) mengungkapkan bahwa sikap dari pihak kampus sangatlah tidak demokratis, karena seharusnya UMI yang bertanggung jawab atas persoalan ini dan ia berpendapat bahwa kasus tersebut seharusnya diselesaikan secara internal.
“Seharusnya pihak kampus UMI, utamanya rektor menyelesaikan kasus ini di internal kampus UMI. Kampus lepas tanggung jawab terkait insiden ini dengan menyerahkannya pada polisi,” ungkapnya.
Ia menilai pembangunan Gedung Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Mahasiswa Islam (UKM UMI) sangatlah tidak representatif, sebab 3 x 3 m tidaklah berbasis kebutuhan lembaga yang ada di UKM UMI.
“Kami tidak menolak pembangunan UKM UMI, kami meminta ruangan yang representatif, yang berbasis kebutuhan. 3 x 3 m bukanlah solusi karena kami membutuhkan ruang rapat, ruang diskusi, dan ruangan untuk menampung perlengkapan-perlengkapan kami,” tambahnya.
Ia juga meminta agar pihak kampus UMI membuka ruang mediasi dan tetap bertanggung jawab atas persoalan ini. Bahkan dalam pembuatan kebijakan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan.
“Kami meminta agar pihak kampus membuka audiensi dan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan kasus ini, bukan malah lepas tanggung jawab dan jika kampus membuat satu kebijakan atau aturan seharusnya melibatkan mahasiswa dalam penentuan kebijakan tersebut agar insiden seperti ini tidak terjadi lagi ke depan,” pintanya. [CAN/377 GIT/351]