METANOIAC.Id Sengketa tanah atau lahan yang ditempati warga di Jalan Abu Bakar Lambogo (Bara-baraya), yang diklaim sebagai tanah okupasi asrama TNI telah bergulir sejak tahun 2016 lalu.
Kasus ini bermula pada bulan Desember 2016, Kodam VII Wirabuana memberikan surat peringatan pengosongan lokasi kepada warga Bara-baraya. Berdasarkan surat layangan pertama dari Kodam VII Wirabuana, dengan perihal sosialisasi terkait objek tanah yang ada di Bara-Baraya, menyatakan bahwa tanah yang di luar asrama itu masuk dalam tanah okupasi yang pernah disewa oleh pihak Kodam VII Wirabuana pada tahun 1965, kemudian surat edaran kedua yang dimaksud dan tujuan yang sama dengan edaran pertama.
Pada tanggal 19 Februari 2017, surat layangan berikutnya kembali dilakukan oleh pihak Kodam VII Wirabuana dengan perihal bahwa akan diadakan penertiban secara paksa. Penertiban tersebut akan dilakukan di atas objek tanah yang di kelurahan Bara-baraya RT 01/RW01 sebanyak 8 warga dan RT 06/RW 04 sebanyak 20 warga. Tidak lama kemudian, pihak Kodam memaksa untuk melakukan pengosongan lahan tanpa melalui jalur pengadilan. Tetapi warga berhasil menghadang upaya intervensi dan keterlibatan TNI dalam perampasan lahan mereka.
Pada 21 Agustus 2017, seorang bernama Nurdin Dg. Nombong mengaku sebagai ahli waris dari almarhum Moedhinoeng Dg. Matika menggugat 18 warga Bara-baraya di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dengan register perkara Nomor: 255/Pdt.G/2017/PN Mks. Nurdin Dg. Nombong dan Kodam XIV Hasanuddin mengklaim tanah yang menjadi tempat tinggal warga sebagai tanah bekas okupasi asrama TNI-AD. Sementara warga telah menempati objek tanah mereka sejak tahun 1960-an dengan bukti atas hak kepemilikan.
Pada 24 Juli 2018, Pengadilan Negeri Makassar atas perkara Nomor: 255/Pdt.G/2017/PN Mks, menjatuhkan putusan amar “Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima,” dengan pertimbangan, yaitu :
- Bahwa ketidakjelasan batas-batas tanah obyek sengketa menjadikan gugatan yang diajukan oleh penggugat akan menjadi permasalahan apabila perkara telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilaksanakan eksekusi.
- Oleh karena batas-batas obyek sengketa tidak jelas, maka berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Pada 7 Desember 2018, Nurdin Dg. Nombong mengajukan banding pada tingkat Pengadilan Tinggi (PT) Kota Makassar. Namun pada 4 April 2019, Majelis Hakim PT Makassar membacakan putusan perkara dengan menyatakan memori banding Nurdin Dg. Nombong tidak dapat diterima.
Selanjutnya pada 10 Juli 2019, Nurdin Dg. Nombong kembali mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Makassar dengan register perkara Nomor: 239/Pdt.G/2019/PN Mks. kepada warga Bara-Baraya, dengan menggugat 39 warga Bara-Baraya. Sidang mediasi digelar pada tanggal 3 hingga 17 September 2019, namun selama dua kali Nurdin Dg. Nombong tidak pernah hadir. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa gugatan tak dapat diterima selama satu pihak tidak menunjukkan itikad baik dengan tidak menghadiri sidang mediasi. Namun, hakim tetap memutuskan untuk melanjutkan persidangan perkara tersebut.
Sidang agenda pemeriksaan saksi berlangsung pada 4 Februari 2020 di Pengadilan Negeri Makassar. Setelah para saksi diperiksa, Ketua Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan membuka pembicaraan mengenai rencana sidang pemeriksaan setempat di atas tanah objek. Di tengah berjalannya sidang, Kuasa Hukum Pangdam XIV Hasanuddin meminta izin kepada Ketua Majelis Hukum untuk menurunkan prajurit TNI dalam sidang pemeriksaan setempat yang akan dilaksanakan pada 6 Februari 2020, dengan alasan TNI adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara ini. Selain itu, mereka juga mengkhawatirkan adanya kerumunan massa. Akan tetapi, Kuasa Hukum Warga Bara-Baraya keberatan dengan permintaan pihak Kuasa Hukum Pangdam XIV Hasanuddin tersebut, dengan alasan bahwa mereka tidak punya kewenangan untuk mencampuri persidangan dengan perkara sipil, baik alasan sebagai pihak maupun alasan pengamanan.
Setelah Majelis Hakim bermusyawarah, akhirnya permintaan dari pihak Kuasa Hukum Pangdam XIV Hasanuddin ditolak. Namun, pada kenyataannya dalam sidang pemeriksaan setempat, pihak TNI tetap menurunkan beberapa prajuritnya.
“Kami warga Bara-Baraya menolak penggusuran yang terjadi di Bara-baraya. Di mana kami telah tinggal selama berpuluh-puluh tahun. Namun ada mafia tanah yang ingin langsung mengambil tanah tempat tinggal kami,” keluh seorang warga Bara-baraya.
Edy Kurniawan Wahid selaku kuasa hukum warga Bara-Baraya, mengungkapkan telah mengajukan kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi selama proses persidangan.
“Fakta pertama bahwa tanah sengketa yang diklaim milik penggugat bukanlah milik asrama atau dikuasai oleh TNI karena selama warga tinggal di area tersebut, mereka tidak pernah mendapat teguran dari TNI. Kedua, masyarakat tidak mungkin langsung menyerobot tanah TNI,” ungkap advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar tersebut.
Lebih lanjut, menurut Edy, warga menempati tanah yang kini jadi objek sengketa adalah secara sah dan legal. Dibuktikan dengan adanya kepemilikan berupa surat-surat.
“Warga memperoleh tanah itu dari jual beli, ibah, ada rinci ada penguasaan fisik, dan ada dasar haknya,” jelasnya.
Saat yang dinanti pun tiba, tepat pada tanggal 12 Maret 2020 Pengadilan Negeri Makassar atas perkara nomor 239/Pdt. G/2019/PN Makassar, menjatuhkan putusan amar “Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima” dengan pertimbangan, yaitu:
- Penggugat tidak menarik Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) Kecamatan Makassar sebagai tergugat, dalam hal ini untuk menilai sah atau tidaknya Akta Jual Beli milik tergugat VIII (Subaedah), maka mutlak ditarik PPAT selaku pejabat yang berwenang mengeluarkan Akta Jual Beli milik tergugat VIII (Subaedah).
- Dalam sidang pemeriksaan setempat, penggugat tidak mampu menunjukkan satu persatu tanah yang dikuasai oleh masing-masing tergugat.
Pada kemenangan yang ketiga kalinya, warga kembali diganggu oleh Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV Hasanuddin dengan mengajukan banding putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar. Di tengah situasi darurat kesehatan akibat Covid-19, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan di antaranya social distancing dan physical distancing perkara banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar bergulir di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar.
Selama proses banding berjalan, para tergugat tidak pernah mendapat surat pemberitahuan dari Pengadilan Tinggi (PT) Makassar perihal penerimaan berkas dan register perkara. Namun, berdasarkan sistem administrasi peradilan, sudah seharusnya pihak pengadilan tinggi menyampaikan surat pemberitahuan tersebut kepada para pihak, khususnya bagi para tergugat atau warga.
Pada tanggal 9 September 2020, Pegadilan Tinggi (PT) Makassar mengeluarkan putusannya atas perkara banding Nomor: 228/PDT/2020/PT.Mks dengan putusan mengabulkan gugatan penggugat serta membatalkan putusan Pengadilan (PN) Negeri Makassar Nomor 239/Pdt.G/2019/PN.Mks. yang di mana hal ini sangat berbeda dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Makassar atas putusan Perkara Nomor: 255/Pdt.G/2017/PN.Mks.
Pemberitahuan putusan banding tersebut baru diterima oleh warga selaku terbanding pada tanggal 5 Oktober 2020, sedangkan Kodam XIV Hasanuddin dan Nurdin Dg. Nombong selaku pembanding telah menerima surat pemberitahuan putusan banding sejak tanggal 23 September 2020 lalu.
Saat setelah menerima pemberitahuan putusan banding tersebut, warga melalui kuasa hukumnya kembali berjuang di jalur litigasi dengan mengajukan memori kasasi. Pada tanggal 15 Desember 2020 Kepaniteraan Pengadilan Negeri (PN) Makassar mengirim berkas kasasi ke Mahkamah Agung dengan Nomor: W22.U1/5725/HK.02/12/2020.
Andarias selaku warga tergugat mengakatan bahwa ia merasa kecewa dengan putusan hakim yang tidak objektif.
“Hakim tidak objektif dalam pengambilan keputusan. Kami sangat kecewa dengan keputusan hakim saat ini,” tuturnya.
Selain itu, ia menambahkan, sengketa tanah yang melibatkan Nurdin Dg. Nombong dengan Kodam XIV Hasanuddin selaku penggugat, melawan warga Bara-Baraya sebagai tergugat, selalu berhasil dimenangkan warga dalam perkara tersebut.
“Warga Bara-Baraya telah memenangkan putusan pengadilan sebanyak tiga kali, dengan landasan hukum serta alasan-alasan yang jelas bahwa mereka berhak atas tanah tersebut,” ungkapnya.
“Namun kali ini, kami kalah dalam pengadilan ini dikarenakan adanya mafia pengadilan,” tambahnya
Lanjutnya, jelang pandemi Covid-19, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Makassar. Warga Bara-Baraya tidak melakukan aktivitas apapun dalam mengawal kasus sengketa tersebut.
“Karena harus mengikuti instruksi pemerintah agar tidak keluar rumah. Hingga saat itu warga Bara-Baraya harus menerima kekalahan di PT Makassar,” sambung Andarias.
Eta yang juga merupakan warga tergugat menuturkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak memberikan kejelasan terkait kasus tersebut karena gugatan pertama warga Bara-Baraya dinyatakan menang, namun pada gugatan kedua dinyatakan kalah.
“Padahal banyak bukti yang lebih kuat dari gugatan yang pertama, makanya warga datang kembali ke Pengadilan Tinggi ini untuk menyatakan sikap serta mengkampanyekan keadaaan Bara-Baraya yang tidak nyaman dan hampir empat tahun ini kami terus diresahkan,” tuturnya.
Eta juga mengungkapkan berbagai upaya yang telah dilakukan warga setempat untuk menghentikan kasus sengketa tanah tersebut mulai dari mengkampanyekan kepada publik hingga mengurus surat ukur di Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar.
“Kami telah mendatangi kantor kecamatan untuk meminta pernyataan terkait Akta Jual Beli yang dinyatakan abal-abal oleh pengadilan, padahal itu dikeluarkan langsung oleh kecamatan, upaya selanjutnya yaitu kami mendatangi Badan Pertanahan Nasional untuk membuktikan bahwa surat ukur yang kami miliki itu sah di Badan pertanahan,” ungkapnya.
Pada 8 April 2021, perwakilan warga Bara-Baraya mendatangi Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia melaporkan adanya dugaan praktik mafia peradilan dalam perkara persidangan warga Bara-Baraya melawan Nurdin Dg. Nombong. Upaya ini melatarbelakangi karena adanya indikasi pelanggaran teknis yudisial, hukum acara, serta maladministrasi pelayanan publik dan informasi yang tidak benar terkait kasus tersebut yang sedang bergulir di tingkat kasasi.
Hery salah satu perwakilan warga yang mendatangi MA mengatakan bahwa selama tiga bulan terakhir warga yang sedang mengikuti perkara diliputi kecemasan. Setiap hari warga dibayangi oleh ancaman penggusuran karena mendengar isu dan provokasi dari oknum-oknum TNI bahwa warga sudah kalah dalam perkara di Mahkamah Agung dan dalam waktu dekat akan dilakukan eksekusi pengosongan lahan.
“Ketidakjelasan proses perkara kasasi dan dugaan kuat intervensi di tingkat banding yang lalu, maka hal ini memicu keresahan warga dan kami khawatir situasi mencekam di Tahun 2017 yang lalu terulang kembali. Selain itu, kami ingin mempercepat turunnya respons dari lembaga-lembaga yg telah kami surati sebelumnya dengan cara mendatangi langsung,” ungkapnya.
Terkait pelaporan adanya dugaan pelanggaran teknis yudisial, hukum acara serta maladministrasi dan pelayanan publik, Hery menambahkan bahwa dugaan itu meliputi putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Makassar, putusan tersebut tidak menerapkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Mediasi sehubungan dengan fakta ketidakhadiran penggugat dalam pertemuan mediasi tanpa alasan yang sah.
Hal ini menimbulkan kecurigaan warga Bara-Baraya bahwa aktor yang sedang mereka hadapi merupakan aktor fiktif. Diperkuat oleh usia penggugat yang hampir mencapai 100 tahun.
“Demikian halnya dengan putusan Majelis Hakim Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Makassar, juga tidak menerapkan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang mediasi. Padahal, penerapan PERMA ini sangat penting untuk menunjukkan itikad baik para pihak khususnya Penggugat,” tambah Heri.
Terkait pengaduan dan permohonan pengawasan ketat perkara tanah di Bara-Baraya yang diajukan perwakilan warga Bara-Baraya, Pengadilan Tinggi Makassar membentuk Tim Pemeriksa pada Agustus 2021 yang kemudian melakukan pemanggilan kepada tiga perwakilan warga Bara-Baraya untuk memberikan keterangan dan klarifikasi terkait pengaduan tersebut.
Selanjutnya, pada 7 September 2021, tiga perwakilan warga Bara-Baraya bersama kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mendatangi Pengadilan Tinggi Makassar untuk menghadap ke tim pemeriksa. Hal ini merupakan tindak lanjut atas pengaduan warga dan permohonan pengawasan ketat atas perkara sengketa tanah yang terjadi di Bara-Baraya kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) pada April 2021 lalu.
Dalam pemeriksaan ini, perwakilan warga Bara-baraya memberikan keterangan dan melampirkan bukti-bukti atas dugaan pelanggaran teknis yudisial dan hukum acara oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar dan Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Makassar yang mengadili perkara sengketa warga Bara-Baraya. Begitu pula atas dugaan maladministrasi dan pelayanan publik oleh kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar yang mengurus teknis administrasi perkara tersebut.
Berdasarkan keterangan tersebut, perwakilan warga menyampaikan pihak-pihak terlapor diduga telah melanggar prinsip-prinsip transparansi dan non diskriminasi dalam sistem peradilan bersih.
Heri yang juga merupakan warga Bara-Baraya menyatakan bahwa hasil pertemuan, para tim pemeriksa telah menampung dan menerima aduan-aduan warga terkait maladministrasi dan pelayanan publik.
“Perwakilan warga telah menguraikan keberatan dan dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi kepada tim pemeriksa. Untuk itu, tim pemeriksa menampung keterangan tersebut dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri Makassar,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa warga Bara-Baraya akan tetap menaruh perhatian dan melakukan pengawalan pada perkara ini.
“Secara keseluruhan, seluruh warga Bara-Baraya, bahkan elemen masyarakat lainnya akan terus menaruh perhatian dan mengawal perkara ini,” tambahnya.
Ia juga berharap agar kasasi ini dilakukan dengan proses mekanisme peradilan yang bersih dan independen.
“Kami berharap di tingkat kasasi perkara ini dapat segera diproses melalui mekanisme peradilan yang bersih dan independen. Selain itu, kiranya masyarakat luas memberikan dukungan dan solidaritasnya kepada warga Bara-Baraya dalam mengawal perkara ini agar upaya intervensi untuk mempengaruhi putusan atas perkara ini dapat dicegah,” tutupnya. [CAN/377]
“Reportase tindak lanjut lokakarya: Digitalisasi Media Pers Mahasiswa yang diselenggarakan oleh PPMI Nasional.”