Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan oleh lukisan dengan medium dinding, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengertian diatas disebut “Mural”. Mengapa mural kali ini justru viral dibandingkan mural lainnya? Jawaban sederhananya karena mural-mural tersebut bernada puitis dan sarkas, serta tentu saja memberi efek terhadap pemerintahan untuk merespon. Walhasil, pemerintah dipaksa membuka mulut agar secepatnya menghapus mural-mural itu.
Namun, pada tulisan ini lebih lanjut tidak membahas mengenai mural. Toh, secara fisik mural-mural itu sudah tidak ada, tetapi kalimat-kalimatnya membekas dalam ingatan. Penggabungan dari seni lukis dan sastra memberikan dampak yang luar biasa sehingga masyarakat mudah mengenangnya karena “Lukisan adalah sastra dalam gambar, sedangkan sastra adalah lukisan dalam kata-kata.”
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa ini identik dengan sastra (puisi), puisi sangat signifikan memainkan perananannya sebagai propaganda guna menggerakkan jiwa-jiwa yang rindu akan perubahan. Dengan struktur kalimat magisnya. Para insan dirayu bahkan disihir agar mengikuti jalan yang dilontarkan oleh bahasa sang puisi. Tak heran jika Sutardji Calzoum Bachri mengartikan puisi secara sederhana, tetapi mengandung makna yang luar biasa yaitu “mantra.”
Puisi mengandung mantra berarti kata-katanya memiliki roh (jiwa) yang dihiasi oleh kekuatan gaib, unsur bunyi menjadi hal utama dalam kesakralan bahasa puisi karena dengan bunyi itulah membuat seseorang tergetar dan tergerak hatinya mewujudkan kata-kata menjadi sebuah tindakan. Hal yang wajar jika para pendahulu memiliki ilmu tingkat tinggi, sebab dalam berbahasa, sekali lagi ia memiliki roh (nyawa) dalam artian kata-katanya memiliki napas tersendiri.
Mari sejenak mengembara pada fase pra-kemerdekaan, dengan segela heterogenitas bangsa ini, yaitu berbeda suku, budaya, agama, dan bahasa. Akan tetapi, pada akhirnya bersatu dengan segala perbedaan. Lantas apa yang melatarbelakangi sehingga mereka bersatu? Tidak lain dan tidak bukan kata “merdeka.” Bagi mereka, merdeka mengandung daya magissehingga ego masing-masing individu dikesampingkan dan bahasa merdeka adalah bahasa pemersatu yang mendorong semangat jiwa-jiwa kesatria terdahulu terlepas dari belenggu kolonialisasi (penjajahan).
Selanjutnya, pada tahun 1998, di saat terjadinya krisis moneter dan pemerintahan berjalan dengan gaya otoriter, kembali lagi masyarakat disadarkan oleh kata tirani kemudian mereka berkumpul dan bersatu padu turun ke jalan-jalan raya dengan semangat perjuangan “reformasi” guna menumbangkan rezim militeristik.
Dari kronik masa silam yang seluruhnya tidak dijelaskan dalam tulisan ini, setiap peristiwa besar menghadirkan arwah puisi di dalamnya. Kembali di awal-awal tulisan bahwa bangsa dan negara ini tidak akan terlepas dengan puisi. Puisi sebagai instrumen mengungkap realita dan kemudian memompa semangat rakyat guna mengambil alih sistem negara yang dijalankan oleh pemerintah rakus dan culas.
Benar bahwa bahasa paling puitis adalah bahasa kebenaran yang dikemukakan oleh Gie karena puisi adalah panggilan jiwa. Jiwa merupakan dimensi terdalam manusia yang terdapat pada alam rohani (kalbu). Bahasa kalbu tidak mungkin berbohong, tetapi suci dan murni jikalau bahasa itu dilahirkan dari seseorang yang memiliki hati yang tulus.
Seiring berjalannya waktu hingga saat ini, merdeka dan reformasi sekadar pemanis belaka. Semacam angan yang tak tahu bagaimana cara memanifestasikannya. Dibutuhkan sekawanan hati tulus guna mendobrak kebobrokan yang terjadi di negeri ini dan mempertahankan dengungan puitis yang pernah terlontar agar puisi tidak berakhir pada bahasa, tetapi menjelma menjadi aksi nyata.
Penulis: Widi Suma