METANOIAC.id Pelbagai gerakan feminisme maupun patriarki dalam arus globalisasi membawa sejuta pergerakan kemanusiaan, kebudayaan, dan keadilan. Feminisme adalah pergerakan atau aliran terkait hak-hak perempuan dari Eropa untuk menanggapi patriarki yang sistem kepemimpinan hanya untuk laki-laki, sehingga lahir beberapa isu sosial di Indonesia. Konon katanya, agama menganut sistem patriarki dan kesenjangan sosial terkait gender. Oleh karena itu, menjawab isu-isu seperti ini penulis melihat khasanah keilmuan dalam studi Al-qur’an dan kajian budaya khususnya di Sulawesi Selatan.
Melansir pada www.kompas.com dan video Tiktok yang viral terkait kekerasan bumil (Ibu hamil) di Gowa, Sulawesi Selatan. Ratna Susianawati deputi bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak kerja sama para petugas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk bertindak tanpa kekerasan. Banyak berita yang beredar terkait sentimen terhadap perempuan, penulis sendiri meyakini tindakan seperti ini merupakan stigma gender perempuan yang dipandang hanya sebatas biologis. Kasus seperti inilah yang membuka pikiran penulis meninjau martabat dan peranan perempuan dalam dua perspektif yang sudah disebutkan sebelumnya.
Asumsi maraknya budaya patriarki dalam pelbagai tatanan kehidupan secara universal bermula dari parents di mana ayah sebagai kepala rumah tangga, wacana seperti ini kemudian masuk ke ranah publik bahwa perempuan hanya sebatas ibu Rumah Tangga. Hampir seluruh daerah di Indonesia berbudaya patriarki, kecuali adat istiadat Minangkabau yang kekerabatannya menganut matrilineal juga memegang syariat Islam. Sulawesi Selatan sendiri memegang sistem bilateral karena sangat sesuai dengan kearifan lokal yang dianut dalam membangun kekeluargaan dan kekerabatan yang humanis.
Harkat dan martabat perempuan maupun laki-laki dalam khasanah Islam memiliki keistimewaan masing-masing. Laki-laki dalam Islam menjadi pemimpin sebagai kepala rumah tangga dan pemimpin dalam menjalankan aktivitas ibadah, begitu pun perempuan yang sangat dimuliakan dalam Islam sejak Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi wa Salam menyuarakan dakwah pertamanya di kota Makkah. Bagi penulis Islam bukanlah agama patriarki, Islam telah menjelaskan dalam Qs. Al-Hujurat [49] ayat: 13 bahwa gender bukan menjadi pembeda dalam aspek kehidupan, melainkan simbol pengenal satu sama lain.
Selain itu, segala praktik ibadah menjadi tugas yang urgensi bagi seorang laki-laki untuk memimpin perempuan, hal itu dipandang berdasarkan kacamata koadrat laki-laki beserta karakternya. Perempuan pun memiliki tanggung jawab untuk saling berkolaborasi dalam hal apapun, sehingga peranan perempuan dalam ranah politik, budaya, agama, dan sebagaiannya memiliki peranan yang sangat urgensi. Meninjau pada Qs. At-Taubah [9] ayat: 71 membahas dan memberikan gambaran di luar masalah gender untuk memiliki rasa tanggung jawab dan saling berkolaborasi antara perempuan dan laki-laki.
Islam memberikan pandangannya dalam kehidupan rumah tangga bahwa dalam Qs. An-Nisa [4] ayat: 34 menyatakan masing-masing memiliki peranannya dan laki-laki memiliki fungsional dalam mengatur peranan tersebut, bahkan dalam hal pembagian harta warisan unsur keadilan telah terbangun di dalamnya. Prof. Faturrahman menjelaskan dalam kitab Ushul Fiqh tentang mawaris “Salah-satu alasan warisan anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan karena suatu saat laki-laki akan memberikan mahar kepada calon istrinya,” lebih lanjut ketika kita melihat budaya di Sulawesi Selatan tentang adat pernikahan, kearifan lokal terbesar terbangun melalui falsafah-falsafahnya.
Kebudayaan, keadilan, dan hubungan sosial yang humanis dalam adat pernikahan khususnya Bugis-Makassar ini terintegritas dengan kearifan lokal. Konsep siri’ dalam pernikahan menunjukkan begitu mulia martabat perempuan terhadap sompa (Mahar) dan uang panai (Uang belanja) terikat dengan falsafah sipakalebbi (Saling menghormati) untuk menjunjung tinggi rasa hormat kepada sesama.
Konsep pecce terbentuk dalam bilateral ini yang tidak lepas dari rasa sipakatau (Saling memanusiakan) konon leluhur Bugis-Makassar memiliki rasa persaudaraan dan belas kasih yang tinggi, sehingga bentuk kebaikan apa pun yang diberikan itulah kembali yang dibalaskan dan senang sekali sipakainge’ (Saling mengingatkan). Tidak bisa di munafikkan bahwa patriarki selamanya benar atau salah dalam sistem kekeluargaan atau kekerabatan, hak dalam bidang apapun itu yang paling optimis menjadi landasan berbangsa berbudaya adalah rasa kemanusiaan, sebagaimana yang selalu di semboyankan Gus Dur “Memanusiakan manusia”.
Kita sebagai rakyat Indonesia memiliki berbagai perbedaan dan kesamaan, untuk itu kita mulai mengenal berbangsa dan berbudaya, bersatu pada sistem yang adil, dan menjaga kehormatan serta jiwa sosial yang humanis antar sesama. Peran tanpa membedakan gender adalah langkah awal mengenal berbudaya, saling menghormati hak-hak kemanusiaan, adil dalam berkontribusi membangun negeri. Islam telah menunjukkan kita bagaimana menyingkapi perbedaan dan kesamaan, kemudian kearifan lokal membangun dan menjaga kita dari budaya asing. Kita memiliki sejarah luhur yang berbeda dan lahir dengan biologis yang berbeda pula. Namun, tidak menjadi penghalang dalam membangun kerukunan antar sesama, sehingga istilah sianre bale (Ikan yang saling memakan)-saling menyerang, menghina, dan mendiskriminasi satu sama lain bukan tradisi kita sebagai cendekia yang benar-benar paham terhadap budaya dan agama.
Penulis: Muh. Akhdan Abizar Anwar (Runner up kategori Essay METAFAIR 2021)