METANOIAC.id Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Berarti, pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum diciptakan agar tercipta suatu keselarasan dan keseimbangan sehingga kehidupan diharapkan dapat berjalan dengan penyimpangan seminimal mungkin. Berbicara tentang hukum, tentunya tidak lepas dari keadilan karena hukum dibuat untuk menciptakan suatu keadilan dalam kehidupan.
Sila kelima Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara jelas menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan tanpa terkecuali, tanpa memandang apa jabatan dan kekuasaannya. Namun, keadilan selalu mempunyai definisi tersendiri bagi setiap orang. Adil bagi suatu pihak belum tentu adil bagi pihak lain yang bersangkutan.
Dewasa ini, keadilan terdengar seperti kata yang mahal untuk diwujudkan. Banyak kasus dalam kehidupan yang diselesaikan dengan sanksi yang tidak seimbang dengan perbuatannya. Mereka yang lemah seakan makin di bawah dan yang kuat semakin di atas. Hukum terlihat seperti sutau hal yang mudah dipermainkan dan diobral dengan uang. Siapa kuat dia selamat, siapa lemah dia kalah. Sama halnya dengan ungkapan yang sering kita dengar: hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Runtuhnya langit keadilan di negara ini semakin terlihat ketika mencuatnya kasus Jaksa Pinangki yang membantu Joko Tjandra─pelaku korupsi Bank Bali yang menjadi buron 11 tahun. Pinangki diseret ke meja hijau karena menerima suap sekitar Rp 7 miliar dari Joko Tjandra. Suap itu diberikan untuk mengurus pembebasan Joko dari hukuman melalui peninjauan kembali dan permintaan fatwa kepada MA terkait kasus Joko Tjandra. Bahkan, Joko Tjandra yang menjadi buron sejak tahun 2009 itu bebas keluar masuk Indonesia berkat bantuan pegawai keluarahan hingga jenderal polisi.
Jaksa Pinangki bahkan sering bepergian ke luar negeri tanpa izin dari atasan, serta diketahui bertemu dengan Joko Tjandra di Malaysia. Ia juga telah melanggar kode etik sebagai Jaksa untuk tidak menggunakan jabatan atau kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Setelah rangkaian penyelidikan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mentapkan bahwa Pinangki terbukti melakukan tindak pidana suap dan gratifikasi. Bahkan, Pinangki diduga telah melakukan pemufakatan jahat dengan Joko Tjandra.
Uraian singkat diatas membuktikan bahwa hukum seakan tidak bernilai sama sekali. Banyak mafia hukum yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongannya. Jika diperhatikan, Jaksa Pinangki hanyalah pegawai biasa yang bekerja di Kejaksaan. Ia tidak mempunyai kekuasaan atau jabatan yang begitu besar untuk melindungi kepentingan orang lain. Tentunya, besar kemungkinan ada seseorang atau kelompok yang mampu menjanjikan bahwa Pinangki akan aman dari hukuman. Terbukti, vonis yang dijatuhkan Pinangki dipangkas lebih dari separuh hukuman yang mulanya 10 tahun menjadi 4 tahun
Alasan pemangkasan hukuman tersebut terkesan tidak masuk akal karena hakim mempertimbangkan bahwa Pinangki mempunyai anak yang masih berusia empat tahun yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Selain itu, disebutkan bahwa Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya. Apabila dibandingkan dengan kasus seorang nenek asal Situbondo, Jawa Timur yang diduga mencuri batang kayu jati milik Perum Perhutani yang dituntut dengan hukuman lima tahun penjara, terlihat jelas bahwa output hukum Indonesia sangat tidak proporsional
Perbandingan dua kasus tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak ketidakadilan yang mewarnai hukum di Indonesia. Seharusnya, hakim memperberat para penegak hukum yang melakukan tindak pidana. Vonis yang dipangkas atau tidak seimbang dengan perbuatan para penegak hukum hanya akan mencederai hukum dan sila kelima Pancasila.
Hukum semakin terlihat tidak mempunyai independensi karena masih dibayang-bayangi oleh kekuasaan dan kepentingan suatu golongan. Peradilan belum mampu mewujudkan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam demokrasi di negeri ini. Tindak pidana melibatkan penegak hukum, penguasa, dan pejabat di negeri ini yang merugikan rakyat kecil harus diusut dengan tuntas. Penegakan hukum masih menjadi PR besar para penegak hukum.
Hukum seharusnya mampu memberikan jaminan kepastian dan perlindungan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi. Sama halnya seperti adagium Fiat Justitia Ruat Caelu bahwa keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh, keadilan seharusnya tidak hanya menjadi ilusi yang digaungkan dalam bilik demokrasi. Namun, keadilan harus mampu diwujudkan agar tidak mencederai nilai-nilai kehidupan yang sudah disusun sedemikian rupa oleh para pejuang bangsa yang terdahulu.
Penulis: Dewi Azizah Nur Safitri (Pemenang kategori Opini dalam METAFAIR 2021)