METANOIAC.id Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan kejayaan dari kerajaan Holing. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-6 hingga ke-7 Masehi yang terbentang dari Jabarangkah, Pesisiran, Adi Hyang, Bhumi Mataram dan Bhumi Shambara, dari Pekalongan hingga Jepara. Berdasarkan catatan I-Tsing dan Dinasti Tang. Holing merupakan suatu negeri yang mempunyai kekuatan ekonomi agraris dari hasil bumi di pedalaman dan kekuatan ekonomi maritim dari wilayah pesisir sehingga mampu menghasilkan peradaban maju dan makmur meskipun dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Keindahan Holing digambarkan pada prasasti Tuk Mas yang dalam bahasa Sanksekerta menyatakan Kwacititant uśucyamburuhānujātā, Kwacicchilā wālukanirgateyam, Kwacitprakĩrnnā ubhaśĩtatoyā, Samprasratā medhya kariwa gańgā yang bermakna: “Bermula dari teratai yang gemerlapan, dari sini memancarlah sumber air yang mesucikan, memancar dari sela-sela batu dan pasir, di tempat lain memancar pula air sejuk dan keramat seperti sungai Gangga. Meskipun mempunyai keindahan alam dan hasil bumi yang luar biasa, Holing tidak akan digdaya jika tidak didukung oleh dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kemajuan peradaban Holing bukan hanya karena hasil bumi yang melimpah. Akan tetapi, juga ditopang oleh kebudayaan agung dan masyarakat yang berperikemanusiaan yang melahirkan suatu sikap keadilan sosial. Menurut Hamka (2005) yang didasarkan pada berita China. Peradaban Holing merupakan kerajaan yang makmur, berbudaya luhur dan peraturan yang tegas. Budaya jujur di negeri itu ditunjukkan dari emas dari yang diletakkan oleh penguasa Ta-Shih (diperkirakan Arab-Umayyah) di alun-alun Holing dan keadaannya yang tetap utuh hingga pemiliknya datang walaupun dalam waktu yang sangat lama. Keadilan sosial dari Holing ditunjukkan dari catatan Tiongkok yang mengisahkan Ratu Shima yang menghukum putra Mahkota karena mengenai barang yang bukan miliknya. Selain itu, dari sisi kemanusiaan Holing juga memberikan sebuah keteladanan berupa memperkecil ketimpangan antar masyarakat dan stratifikasi sosial yang diperlemah. Teladan seperti inilah yang perlu kita contoh pada masa sekarang ini.
Ketimpangan sosial dan maraknya orang yang berbudi candala serta sikap yang tidak memanusiakan manusia merupakan hal yang cukup banyak ditemui pada sekarang ini. Permasalahan kemanusiaan dan keadilan sosial serta hilangnya budaya luhur merupakan masalah yang dihadapi setiap negara didunia termasuk di Indonesia. Pencegahan merupakan cara utama untuk meminimalisirnya. Holing dan Indonesia mempunyai beberapa kesamaan. Holing merupakan salah satu kerajaan Kuno di Indonesia yang keberadaannya bersamaan dengan beberapa kerajaan seperti Medang Kamulan, Tarumanegara menjelang terpecahnya menjadi Sunda-Galuh, Sriwijaya era Dapunta Hyang dan Kutai Martadipura. Budaya agraris yang dipadukan oleh budaya maritim merupakan corak dari kerajaan Holing yang juga tergambar pada negara Indonesia saat ini.
Sisi kemanusiaan pada Holing terlukis dari sikap tenggang rasa berbagai pihak dan kemajuan pada berbagai aspek kehidupan. Sumber dari catatan I-Tsing menyebutkan kemajuan pendidikan dari negeri ini dan kisahnya bertemu cendekiawan yang bernama Janabadra. Aspek toleransi pada negeri Holing tergambar jelas pada wilayah Adi Hyang yang merupakan kutaraja dari negara Maharani Shima ini. Bahkan sampai sekarang peninggalannya dapat dilihat di Dataran Tinggi Dieng berupa kompleks candi yang merupakan gabungan dari arsitektur Jawa Kuno (Punden Berundak), arsitektur India Utara (Shikkara) dan arsitektur India Selatan. Semua itu menunjukkan kemakmuran negara dari sisi kemanusiaan yang dapat dicapai dengan kualitas sumberdaya manusia yang berilmu dan mengamalkannya serta menghargai sesama yang memiliki pendapat yang berbeda.
Sisi kebudayaan dari negeri Holing tergambar dari kebudayaan luhur yang jujur, tegas dan amanah. Sikap rakyat Holing yang tidak mengambil peti emas ditengah alun-alun merupakan sikap masyarakat yang memegang teguh pada prinsip kebenaran. Adapun sikap Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara yang menghukum putra mahkotanya walaupun hanya mengenai barang yang bukan miliknya merupakan gambaran dari sikap tegas dan amanah. Semua ini menunjukkan kemajuan budaya luhur suatu negara dapat dicapai dengan rakyat dan penguasa yang memegang teguh kebenaran.
Sisi keadilan sosial yang dapat dilihat dari pemerataan sumber daya dan akses yang seimbang pada setiap komponennya. Sebagai negara yang bercorak agraris keadilan ditunjukkan dengan sistem perairan Subak dan Tanibhala yang memungkinkan keadilan dalam mendapatkan air irigasi sebagai kunci pertanian. Keadilan sosial juga tergambar dari peraturan yang tidak membedakan antara rakyat jelata dan pejabat negara.
Peri kemanusiaan merupakan tautan menuju keadilan sosial. Budaya luhur adalah suatu hipertaut untuk menuju sikap manusia yang memanusiakan manusia. Holing merupakan salah satu dari banyak teladan tentang negeri Kuno di Cakrawala Dwipantara. Meskipun kondisi masa lampau dan masa sekarang berbeda, meskipun Holing dan Indonesia berbeda dari berbagai sudut seperti luasan dan diversitas-nya. Akan tetapi pelajaran dapat diambil dari mana saja. Inti dari pelajaran tersebut adalah untuk meraih sebuah kemakmuran bangsa tidak cukup dengan alam yang Gemah Ripah Loh Jinawiakan tetapi juga perlu ditopang oleh manusia yang Berbudi Bawa Laksana untuk menghasilakan negeri yang berkemanusiaan, berbudaya luhur sebagai pranala untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Penulis: Bagastama Dipa Briliawan (Pemenang katergori Essay METAFAIR 2021)
Referensi:
Hamka. 2005. Sejarah Umat Islam. Edisi Baru. Cetakan V. Singapura (SG): Pustaka Nasional Ltd.