Sumber : Pixabay.com
Oleh: Yasmin Namira Andani
(Runner Up Cerpen METAFAIR 2021 )
METANOIAC.id Terik cahaya matahari terasa sangat panas. Suara mobil dan motor yang berlalu-lalang menjadi penghias. Belum lagi teriakan sopir angkutan umum yang saling bersahut-sahutan mencari penumpang. Siang itu, semua kegiatan berjalan sebagaimana mestinya.
Gadis berusia lima belas tahun menenteng tas putih lusuh berisi beberapa lembar uang hasil dagangannya di sekolah. Sementara tas ransel yang sedikit berjamur ia bawa di punggungnya, siapapun yang melihatnya pasti akan langsung tahu bahwa kedua tas yang ia bawa merupakan hasil temuan dari pinggir tempat pembuangan sampah.
Tiba di sebuah persimpangan jalan, Tesa berbelok ke kiri, ia akan memberikan uang hasil dagangan ke pemiliknya, yaitu Bu Ristia. Ia mengetuk pintu bercat putih di hadapannya hingga sang pemilik keluar.
“Assalamualaikum, Bu. Ini uang hasil jualan hari ini,” ucap Tesa sambil memberikan beberapa lembar uang. Bu Ristia menjawab salamnya kemudian menghitung uang, memastikan tidak ada yang kurang. “Dua ratus ribu, uangnya pas, ya,” ucap Bu Ristia. Beliau hendak menutup pintu, tetapi Tesa menahannya sekuat mungkin.
“Kenapa?” tanya wanita berjilbab biru itu dengan wajah jengkel. “Hhm, upah saya?” tanya Tesa. Bu Ristia tertawa, ia berkacak pinggang menatap Tesa dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ibu kamu tadi berutang sama saya. Saya anggap upah kamu ini untuk melunasi utang Ibumu, paham?” Bu Ristia mengangkat sebelah alis, Tesa mengerutkan kening. Ibunya tidak pernah berutang kepada siapapun, wanita itu bahkan selalu mengajarkannya agar menghindari utang.
“Maaf, Ibu saya utang berapa sama Bu Ristia?” tanya Tesa setelah agak lama berpikir. Bu Ristia tersenyum miring. “Lima ratus ribu! Kamu memangnya sanggup bayar lima ratus ribu? Jadi, mulai sekarang upah kamu saya potong untuk lunasi utang Ibumu,” jawab Bu Ristia. Tesa terdiam dan menghela napas, berusaha untuk bersabar. Padahal, lima ratus ribu bukanlah angka yang fantastis bagi orang seperti Bu Ristia, wanita itu adalah wanita kaya yang memiliki tanah di mana-mana.
Tesa melangkah menuju gang yang akan membawanya ke rumah kecil di pojok gang. Tempat yang lembap, dingin, dan tanpa ventilasi udara. Gadis itu mendorong pagar kecil yang tingginya hanya sampai perut, kemudian masuk
“Tesa, sudah pulang?” tanya Ibu yang kebetulan sedang menjemur pakaian di teras rumah. “Iya, Bu. Tadi habis dari rumah Bu Ristia dulu, setor uang dagangan,” jawab Tesa sambil menyalami tangan Ibu.
“Dapat berapa hari ini?” tanya Ibu. “Nggak dapat, Bu,” jawab Tesa pelan. Ibu terkejut mendengar jawaban sang anak. “Kenapa?”
“Kata Bu Ristia, Ibu punya utang lima ratus ribu sama beliau. Memangnya benar, Bu?” Tesa balik bertanya. “Ibu nggak pinjam uang sepeser pun sama Bu Ristia,” jawaban Ibu berhasil membuat Tesa lunglai, seharusnya hari itu ia bisa membeli buku catatan karena buku catatan matematikanya sudah penuh. Tetapi gagal karena upahnya tidak diberikan.
“Tadi pagi Ibu pinjam teflon punya beliau buat bikin martabak kesukaanmu, tapi sudah Ibu kembalikan dan Bu Ristia nggak bilang kalau ada biaya sewanya,” jawab Ibu, beliau menatap anaknya dengan tatapan iba.
Tesa tersenyum dan mengangguk mengerti, Ibu tidak tahu apa-apa dan hanya ingin membuatkan makanan kesukaannya yang sudah lama tidak bisa Ibu buatkan karena tidak memiliki teflon. “Nggak apa-apa kok, Bu. Lagipula Tesa belum butuh uang,” jawab gadis itu menenangkan meskipun hatinya perih menghadapi kenyataan.
***
“Ristia, sini!” perintah seorang pria yang sudah beruban, wanita bertubuh molek yang sedang mengecat kuku di meja makan itu langsung datang menghampiri. “Kenapa, Pa?” tanyanya.
“Papa boleh pinjam mobilmu?” tanya pria itu sambil menatap anaknya disertai senyum tipis. “Boleh, Pa. Pakai aja,” jawab Bu Ristia.
“Ada biaya sewanya?” tanya Papa yang membuat Bu Ristia menoleh, ia mengalihkan pandangan dari deretan kuku yang berwarna biru. “Ya, nggak ada biaya sewanya dong, Pa. Kan Papa lagi butuh,” jawab Bu Ristia dengan memanyunkan bibir.
“Terus kenapa tadi pagi Ibunya Tesa pinjam teflon dan berujung upah Tesa tidak diberikan?” tanya Papa yang membuat sang anak terdiam. “Ristia, upah itu kewajiban yang harus kita berikan, walaupun kecil bagi kita, tetapi itu bisa menjadi nominal yang besar untuk orang lain. Coba pikir lagi, kira-kira kamu pantas memperlakukan Tesa seperti itu?” Papa menghentikan ucapannya sejenak.
“Ristia, jangan sampai jiwa kemanusiaan kamu mati karena gemerlap harta. Kamu sudah belajar bagaimana caranya memanusiakan manusia, kan?” lanjut Papa. Bu Ristia masih terdiam dan menunduk menatap lantai yang bersih.
“Kamu tidak bisa memperlakukan orang yang kondisi ekonominya jauh di bawah kita dengan semena-mena. Mereka juga manusia, sama seperti kita. Manusia itu selalu saling membutuhkan. Kalau jiwa kemanusiaan itu hilang dari diri kita, terus ke mana kita minta tolong kalau kita butuh bantuan manusia lain?”
Bu Ristia mengangguk mengerti, ia merasa tertampar dengan nasihat Papa. Wanita itu secepat kilat mengambil uang dua ratus ribu rupiah di dalam laci kamarnya dan bergegas menuju rumah Tesa. Mengetuk pintunya dan memberikan seluruh hasil dagangan hari itu kepada Tesa juga Ibunya.
“Terima kasih, Bu Ristia, terima kasih banyak,” ucap Tesa dengan wajah berseri-seri. Bu Ristia ikut tersenyum, ada rasa bahagia di dalam hatinya. Bahagia karena saling memanusiakan manusia.