Maraknya terjadi kasus kekerasan seksual menjadi tugas besar bagi negara. Dengan tak kunjung di sahkannya RUU PKS kasus kekerasan seksual belum menemui penanganan yang efektif. Di samping tetap menyuarakan RUU PKS agar segera disahkan, gerakan-gerakan atau aliansi juga mendorong pengadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual terkhususnya dalam sektor kampus, yang dinilai terbukti telah banyak terjadi pelecehan hingga kekerasan seksual. Tidak sampai di situ, terkadang dalam gerakan baik organisasi maupun kolektif juga terjadi pelecehan bahkan kekerasan seksual, ini akibat dari sangat bervariatifnya gerakan-gerakan yang ada serta kurang massifnya penginformasian terkait isu-isu perempuan.
Dalam bazar diskusi yang dilaksanakan oleh Serikat Perempuan Indonesia (SRIKANDI) Kota Makassar, Kamis Malam (10/06) di Warkop Mau.co Jalan Tun Abdul Razak, Gowa dengan tema “Matinya Kemanusiaan” masih banyak yang menganggap bahwa isu-isu perempuan adalah masalah perempuan bukan masalah kemanusiaan. Diskusi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat yang terlibat secara sadar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang juga termasuk masalah kemanusiaan.
Diskusi dipantik oleh Suniarti Yusuf dari Kohati Cab. Gowa Raya, Cici Saputri dari Kopri PMII Cab. Makassar, Ai’ dari Srikandi Kota Makassar, dan Nabila Syadza seorang aktivis perempuan. Penyelenggara menghadirkan keempat pemantik diskusi yang memiliki background berbeda, dengan tujuan setelah diskusi organisasi atau kolektif dapat memberi ruang untuk membangun satu gerakan untuk memperjuangkan satu isu (isu perempuan) dengan menanggalkan identitas ideologis masing-masing.
“Mereka menganggap bahwasanya isu perempuan adalah masalah perempuan bukan masalah kemanusiaan. Selanjutnya, kami menganggap telah matinya kemanusiaan, karena isu-isu perempuan itu terkadang disepelekan oleh kawan-kawan aliansi, misalkan. Karena gerakan perempuan sangat-sangat variatif kita berupaya membentuk suatu gerakan perempuan dengan satu platform perjuangan yang revolusioner.,” Ujar Idha selaku Ketua SRIKANDI Kota Makassar.
Masalah perempuan tidak terlepas dari tindakan-tindakan patriarkis. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual selalu ada dalam keluarga, organisasi, sekolah, serta di tempat kerja. Konsekuensinya, perlawanan atas ketertindasan terhadap perempuan berbenturan dengan paradigma bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua dalam strata sosial.
“Saat ini, kita harus melakukan langkah-langkah taktis untuk membangun konsistensi serta resistensi, karena gerakan perempuan hadir bukan untuk melawan laki-laki, tapi untuk membangun ruang aman bagi perempuan,” ungkap salah satu pemantik diskusi.
Diskusi pun selesai setelah hampir dua jam berlangsung. Ketua SRIKANDI Kota Makassar dan pemantik dalam diskusi pun berharap setiap perempuan secara individu sadar bahwasanya ketertindasan perempuan itu ada di sekelilingnya, baik dari diri sendiri, keluarga, maupun orang lain. Dan juga pengideologisasian akar rumput setiap gerakan senantiasa mengakar, karena yang perlu diperhatikan dari konsep kesetaraan adalah bagaimana cara pikir dan laku perjuangan telah mencapai dimensi kualitatif dengan pola kecenderungan lebih mengutamakan ekuilibrasi antara tingkat intelektualitas dengan praktek perjuangan. Maka atas dasar itu semua orang harus membangun ruang aman bagi diri dan sekelilingnya. [CAN/CAB]