Setiap tahun yang namanya Ramadan itu bertamu ke kediaman kita, tamu ini sangat egois. Suka ataupun tidak, mesti disambut dengan baik. Yah, kan malu sama tetangga jika ada tamu lantas dibiarkan berdiri di depan pintu, dengan sangat terpaksa tamu itu disambut dengan hangat.
Eitss, jangan berprasangka buruk dulu, Ramadan ini bukan tamu biasa melainkan tamu agung. Wajar jika tuan rumah mesti memuliakannya melebihi tamu-tamu lainnya. Tidak heran jika tuan rumah mesti menyetrika baju koko yang telah lama tersusun rapi di lemari dan mengelap tempelan debu pada Alquran, itu semua dilakukan dengan dalih “menyenangkan tamu” yang satu ini.
Padahal dalam adab, tamu hanya diperbolehkan berkunjung tiga hari tetapi dia malah menambah durasinya hingga 30 hari. Kembali lagi kita menggunakan kata “wajar” untuk tamu agung.
Dalam kunjungannya selama 30 hari ini, ia memiliki agenda tersendiri untuk dilaporkan pada atasannya dan ada tiga fase yang mesti dilalui untuk sampai ke partai puncak. Agendanya adalah menyaksikan dan mengawasi manusia yang beribadah.
Wah, menarik juga jika fase-fase ini dianalogikan dengan liga champions, dimana pada babak penyisihan setiap klub bertarung untuk mengisi slot yang tersedia agar tidak tersingkirkan kemudian melangkah ke babak play off dengan menyisakan sedikit klub dan akhirnya di partai puncak tersisa dua klub yang saling mengalahkan agar dapat mengangkat tropi.
Seperti halnya dengan agenda Ramadan, fase awal manusia berbondong-bondong melaksanakan puasa dan salat tarawih sehingga masjid pun terasa sangat kecil karena sesak oleh jemaah, fase pertengahan mulai banyak orang tidak konsisten dan gugur. Pada akhirnya yang mengangkat tropi adalah orang-orang bertakwa, dimana mereka menggunakan strategi dan memiliki mentalitas juang yang tak pantang menyerah untuk menyandang gelar juara pada “Liga Ramadhan”.
Tetapi jangan senang dulu kawan, ini baru hasil pengawasan Ramadan sebagai bentuk pertanggungjawaban bahwa dia telah melaksanakan tugas. Kan, atasan yang berhak menilai bahwa hal itu diterima atau tidak, bahwa kau pemenang sesungguhnya atau tidak.
Puasa artinya menahan, yaitu menahan lapar dan dahaga mulai dari sebelum azan subuh berkumandang hingga matahari terbenam merupakan tafsiran berpuasa untuk anak kecil. Masa iya, kita yang memilki umur dewasa disamakan dengan anak kecil? Namun, saya tidak ingin membahas lebih spesifik mengenai makna puasa karena pada intinya puasa mengajarkan kita untuk menahan dir dari hal-hal buruk.
Zaman sekarang ini dihiasi oleh alat-alat canggih yang serba memudahkan. Ditambah lagi dengan efek pandemi Covid-19 mengharuskan manusia untuk mengubah kebiasaan hidupnya. Bukan sekadar mematuhi protokol kesehatan, melainkan juga beralih pada kehidupan digital atau “online”.
Setiap hari kita dituntut dan dipaksa untuk online, kemana-mana membawa smarthphone agar tidak ketinggalan informasi dan dapat berkomunikasi dengan sesama menggunakan media sosial. Semua orang sepakat bahwa perubahan adalah hal yang niscaya, konsekuensi logis untuk dapat bertahan hidup adalah beradaptasi.
Ketika puasa diadaptasikan dengan konteks era ini, maka berpuasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan menahan agar tidak berlebihan dalam menggunakan medsos. Ini merupakan momentum agar tidak terlampau jauh kecandauan dalam bermedsos.
Puasa medsos inilah tema yang sebaiknya diusung kemudian disampaikan oleh para mubaligah pada saat berceramah di awal-awal bulan suci ini. Lain juga rasanya pada saat ustadz berdiri di mimbar lantas jemaahnya hanya asyik bercengkarama dengan gawainya. Lagi pula ini bukan sekolahan jika murid kedapatan bermain HP oleh gurunya diberi sanksi dikeluarkan dari kelas.
Untuk meringankan beban penceramah, ada baiknya pengurus masjid lebih kreatif dalam mengingatkan jemaah dalam urusan ini. “Harap smartphone di non-aktifkan” merupakan peringatan kuno dan hampir keseluruhan masjid memasang poster itu di dinding-dinding ataupun seorang protokol menyampaikannya sebelum ustadz menyampaikan isi ceramahnya.
Kalau boleh saran, pamflet itu diganti dengan kalimat “Harap Smarthphone di mode pesawatkan karena kita akan terbang”. Selain mengajak jemaah berpikir, ustaznya pun ikutan berpikir.
Jika semua orang memahami makna kalimat tersebut, Ramadan pun tidak terhegemoni untuk ikut-ikutan bermedsos.
Penulis: A. Wira Hadi Kusuma