Hingga menjelang akhir semester lima, Saya sangat benci dengan yang namanya puisi. Bagiku, puisi hanyalah kalimat absurd, sekalipun penyair menggunakan kata-kata penuh estetis, namun dengan arogan Saya tetap berpendirian bahwa puisi hanyalah ilusi yang menipu.
Menurutku, orang-orang yang mengambil jalan puisi hanyalah “manusia gelandangan” yang tidak memiliki tujuan hidup serta dikalahkan oleh kehidupan sehingga mengambil jalan pintas menulis syair-syair indah demi menghibur hatinya yang sedang kalut.
Waktu berjalan sesuai dengan ketentuannya, terkadang apa yang dibenci justru berubah menjadi cinta dan begitupun sebalikya. Bukankah Tuhan telah menegaskan dalam Firmannya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal Ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal Ia amat buruk bagimu.”
Perkenalanku dengan puisi bermula dengan membaca esai “Presiden Malioboro” yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, entah angin apa yang berhembus sehingga jari-jari ini berkeliaran di google dan menemukan situs caknun.com.
Sosok presiden malioboro yang digambarkan oleh Cak Nun sangat misterius sekaligus langka, ditambah lagi dengan kisah percintaan yang diceritakannya membuat Saya kemudian berpikir bahwa hal ini tidak masuk akal bahkan sangat mustahil, bahkan sukar menemukan orang yang meninggalkan kampung halamannya kemudian merantau hanya karena senang dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Beliau bernama Umbu Landu Paranggi, satu-satunya guru yang diakui Cak Nun. Minggat dari Sumba kemudian berlayar menuju Yogya dengan tujuan menempuh pendidikan di Taman Siswa. Namun cita-citanya tidak tercapai karena terlambat mendaftar. Beliau tidak menyerah dan tetap melanjutkan sekolahnya dan itulah garis hidup yang ditentukan Tuhan untuknya.
Di sekolah itulah beliau senang menulis puisi kemudian bekerja di Redaksi Pelopor Yogya sekaligus menginisiasi pembentukan komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang sangat terkenal di zamannya dan banyak melahirkan sastrawan muda.
Iman Budhi Santosa merupakan kesatria generasi pertama PSK berkata bahwa kelebihan Umbu adalah caranya dalam memperkenalkan sastra, bukan hanya lewat teori dan pelajaran di kelas, tetapi memperkenalkan sastra melalui pengalaman.
Akhirnya setelah mencari banyak literatur mengenai sosok Umbu, Saya menemukan sebuah karya beliau yang mampu menghipnotis sekaligus merubah pikiranku mengenai puisi.
Puisinya berjudul “Melodia”.
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri
Dalam mengarungi suara-suara luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi
Membawa langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
Dalam kamar berkisah
Taruhan jerih memberi arti kehadirannya
Membukakan diri, bergumul dan merayu
Hari-hari tergesa berlalu
Meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
Takkan jemu-jemu napas bergelut disini
Dengan sunyi dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka duka
Hikmah pengertian melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal
Penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan,
Mengadu padaku dalam deras bujukan
Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis,
Bahagia sederhana
Di ruang kecil papa,
Tapi bergelora hidup kehidupan da berjiwa
Kadang seperti terpencil,
Tapi gairah bersahaja harapa impian
Yang teguh mengolah nasib
Dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Presiden Malioboro pantas disandang oleh Umbu. Sebagai kepala Negara Malioboro beliau banyak memberikan hikmah bagi rakyatnya, salah satu ucapan yang pernah dilontarkan Cak Nun. Puluhan tahun kemudian Saya menyadari bahwa Saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang Saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi”.
Kehidupan puisi itulah ideologi Negara Malioboro, segala sendi-sendi kehidupan dirangkum oleh “Puisi”.
Setelah masa jabatan Umbu berakhir di Malioboro, beliau kemudian berlabuh ke Bali hingga menghembuskan nafas terakhirnya disana tepat hari ini. Namun, “nafas puisi” Umbu tetap abadi di dunia ini.
Umbu Landu Paranggi adalah sosok guru yang tidak menggurui.
Banyak pembejaran yang dapat saya petik dari sosok Umbu, meskipun Saya tidak pernah bertemu secara langsung dengan beliau. Entah mengapa, setiap kata dari karyanya memikat jiwa ini untuk mencintai puisi.
Penulis: A. Wira Hadi Kusuma