Sejak kecil kita dididik oleh orang tua untuk memiliki karakter yang baik agar menjadi orang sukses. Tidak ada satupun orang tua ingin melihat anaknya gagal, begitu pun dengan anak yang sedari kecil ditinggal oleh orang tuanya kemudian menumpang di keluarga. Hal yang sama dilakukan oleh keluarganya adalah mendidik anak itu untuk menjadi orang baik, setidaknya tidak membuat susah keluarga yang ditumpanginya.
Ada orang berkata bahwa keluarga adalah bagian terkecil dari organisasi, diibaratkan dengan organisasi pada umumnya yang memiliki manusia-manusia sebagai kendaraan untuk mencapai sebuah visi. Manusia ini identik dengan “kader” dan pasangannya adalah “pengader”.
Di lingkup keluarga, kader sebagai anak dan pengader adalah orang tua, pengader memiliki tanggung jawab untuk membina anaknya sesuai dengan kesepakatan awal dari orang tua. Segala pengorbanan dilakukan orang tua untuk membesarkan anaknya tanpa menghitung seberapa besar pengorbanan yang telah dilakukannya, meskipun terkadang banyak perbedaan pandangan antara anak dan orang tua selama prosesnya berlangsung ditambah lagi dengan permasalahan yang dilakukan oleh si anak yang memicu untuk menimbulkan konflik, namun orang tua tetap bertanggung jawab untuk berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan konflik tersebut.
Di lingkup yang lebih luas yaitu organisasi memiliki satu bidang yang bernama “pengaderan” inilah roh yang harus diperhatikan betul oleh organisasi, layaknya manusia tanpa memiliki roh maka ia akan mati, begitupun dengan organisasi.
Kebanyakan organisasi terkhusus di kampus-kampus lebih memperhatikan program kerja yang telah disusun untuk satu periode kepengurusan dan lebih mengkhawatirkan lagi terkait eksklusivitas terhadap jabatan yang diembannya, deskripsi tugas dan fungsi terhadap suatu jabatan lebih dikedepankan daripada jabatan sebagai “pengader”.
Pengader memiliki tugas dan fungsi yang sangat fundamental bagi keberlangsungan organisasi, bagaimana kemudian sosok pengader ini mampu mentransformasikan nilai-nilai yang ada di organisasi agar si kader mampu memahami nilai-nilai tersebut dan setelah itu menindaklanjutinya dengan tindakan.
Organisasi merupakan sarana mengumpulkan kekuatan guna melakukan perubahan. Ironisnya, sebagian besar pengader tak mampu meyakinkan kader dengan kapasitas retorika yang dimilikinya. Sebagian besar terjebak pada “budaya tindakan” dalam artian apa yang dilakukan kepengurusan sebelumnya itupun yang dilakukan sekarang, namun “budaya secara nilai” sangat minim. Padahal yang dibutuhkan adalah budaya nilai agar tongkat kepengurusan berikutnya dapat menuangkannya dalam bentuk konsep.
Kakanda saya pernah berkata “ orang yang kau bina sedari kecil, itulah orang yang sangat setia nantinya”.
Esensi pengader tidak terlepas dari penanaman nilai, peribahasa mengatakan bagaimana ditanam, begitulah dituai. Ini semacam peringatan bagi pengader agar meningkatkan kapabilitasnya.
Ibarat kader adalah lampu, sedangkan si pengader adalah daya untuk menyalakan lampu tersebut karena bagaimana mungkin lampu itu akan bersinar jika tidak memiliki daya untuk menghidupkannya.
Penulis: A. Wira Hadi Kusuma