Saya membuka beberapa buku dan kitab di meja kerja sesaat setelah membaca opini seseorang yang mengatasnamakan “Hamba Allah” yang terbit di kolom opini metanoiac, Kamis kemarin. [Baca juga : Politeknik Islam Ujung Pandang]
Sambil membaca buku, ingatan saya kembali ke tahun 2012 pada
saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP). Saat itu bertepatan dengan
hari Jumat, saya melihat kelas-kelas diakhiri lebih cepat, gerbang utama
ditutup dan kantin kosong sesaat sebelum azan Jumat berkumandang di masjid.
Pengalaman yang unik sebenarnya, saya takjub sekaligus heran.
Kita tinggalkan kenangan saya tetap di tempatnya. Tulisan
ini akan berisi pandangan pribadi saya, sebagaimana penulis opini sebelumnya.
Saya tak berani mengganti kata Negeri menjadi Islam di
antara kata “Politeknik” dan “Ujung” karena pada kenyataannya dukungan yang
sama dengan cara yang berbeda juga berlaku pada pemeluk agama lain di kampus.
PNUP bukan kampus homogen, ada banyak sekali mahasiswa dan dosen yang memiliki
latar belakang yang berbeda-beda dan semuanya khidmat dengan keyakinannya
masing-masing dan kampus mendukung semua aktivitas keagamaan mahasiswanya.
Perilaku yang buruk adalah antitesis dari pengetahuan,
setidaknya itu yang disampaikan Socrates. Sederhananya, sebesar apapun
pengetahuan, faktor pengalinya akan berubah menjadi nol jika perilaku seseorang
buruk.
“Semakin baik ilmu seseorang, semakin baik perilakunya,” katanya. Lalu apakah orang berpengetahuan yang punya moral buruk masih tetap
dikatakan cerdas? “Karena ia sedang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
pengetahuannya, maka ia dihukumi bodoh,” katanya.
Jadi, cukupkah untuk hanya sekadar berpendidikan saja? Jika
menilik apa yang disampaikan Socrates, maka jawabannya adalah tidak, bermoral
juga sama pentingnya. Pendidikan dan moral adalah paket yang tak boleh
berpisah. Lalu, di mana kita mendapat standar moralitas? Silakan jawab sendiri.
Jika belum bisa menjawab, akan saya lanjutkan dengan contoh konkret
melalui data. Desember 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan
bahwa tingkat pendidikan seseorang linier dengan latar belakang pendidikan
tersangka korupsi. Semenjak lembaga ini didirikan sebesar 46.15% adalah lulusan
S3, 30.77% lulusan S2, dan 2.08 % adalah lulusan S1 telah ditangani.
Masih segar diingatan kita bagaimana hati dan nurani kita
dilukai oleh kelakuan pejabat negara yang menyunat dana bantuan sosial yang
diperuntukkan bagi masyarakat. Orang yang menjadi tersangka adalah orang yang
memiliki pengalaman belajar yang panjang dan tentu karena pendidikannya ia
termasuk bagian dari orang-orang ahli di Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh
penulis opini sebelumnya melalui data Badan Pusat Statistik (BPS).
Padahal, jika ia menghafal dan menadaburi surah Al-Fajr
yang terdapat pada juz 30 tentang bagaimana kecenderungan manusia terhadap
harta dan kewajibannya memberi makan yang miskin. Maka dengan pengetahuan yang
ia miliki, ia bisa terhindar dari tindakan yang melukai hati dan nurani itu.
“Anda naif sekali!” mungkin pembaca akan menghardik saya.
Tetapi saya percaya ilmu tanpa amal dan pengetahuan tanpa cinta itu sama
berbahayanya. Ilmu tanpa amal hanya menjadi teori yang berakhir di secarik
kertas dan pengetahuan tanpa cinta akan membuat pemiliknya berlaku culas, seperti isi potongan dari kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu “Ilmu (agama)
akan menjaga pemiliknya."
Karena yang menjadi titik bahasan yang dipermasalahkan oleh
opini sebelumnya adalah perkara yang berhubungan dengan masalah syari, yakni
hafalan juz 30 dan korelasinya terhadap pendidikan vokasi. Isinya tak jauh-jauh
dari permasalahan profesionalitas dalam bekerja dan belajar, saya ingin
mengutip potongan dari buku Syakhsiyatul Muslim karya Dr. Muhammad Ali Al-Hasyim.
Dalam buku tersebut, Dr. Muhammad Ali Al-Hasyim menerangkan pentingnya ilmu syari dan profesional (Itqan) dalam pekerjaan. Kita tahu pada zaman Rasulullah hidup adalah zaman keemasan. Sahabat beliau berlomba-lomba beribadah dalam ketaatan mereka menghamba hanya kepada Allah semata, namun para sahabat tak meninggalkan profesionalitasnya dalam perkara duniawi. Hal itu tercermin dari hadis yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit yang isinya Rasulullah memintanya untuk mempelajari bahasa-bahasa lain selain bahasa Arab.
Oleh karenanya, Zaid tercatat menguasai banyak bahasa hingga
saat dilihat sisi dunianya tak terbersit permasalahan akhirat dan ketika kita
lihat sisi akhiratnya maka tak terlihat gemerlap dunia.
Kemudian penulis menyebut jika kesibukan akan memecah konsentrasi
belajar. Baik saya pun dulu berpikir demikian, lalu saya belajar perkara syari
di salah satu ustaz di Bandung. Umur beliau masih muda, beliau adalah lulusan S2 dan S3 fisika murni universitas di Inggris lalu melanjutkan pendidikan
syarinya di salah satu kampus di Arab Saudi sambil tetap mengajar fisika Murni
di ITB. Beliau juga membuka kajian tauhid dan beberapa kajian kitab ulama
terdahulu. Ya, saya dulu juga berpikir jika ilmu dunia dan ilmu syari sulit
jika didalami bersamaan, lebih-lebih bisa menguras tenaga dan konsentrasi
sampai akhirnya melihat satu persatu orang yang mampu mendalami keduanya.
Ilmu agama dan dunia tak seperti air dan minyak, keduanya
saling mendukung. Islam pun memotivasi para pemeluknya untuk berpikir dan
menadaburi ayat-ayat Quraniyah dan Kauniyah seperti pada surah Ali 'Imran ayat
190.
“Mungkin dia memang cerdas, sedangkan saya tidak
secerdas dia,” mungkin anda akan berkata seperti itu. Izinkan saya menjawabnya
dengan nasihat indah Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Jangan sampai pikiran
yang cemerlang menjadi budak dari tubuh yang malas."
Sebagaimana yang penulis opini sebelumnya katakan, “There's
no such thing as a free lunch,” ya, saya setuju. Pengorbanan yang besar punya
korelasi dengan hasil yang akan didapatkan di kemudian hari, “You can not get
something for nothing” Sejalan dengan perkataan Imam Syafi’i, ilmu hanya akan
digapai dengan enam metode dan dua di antaranya adalah kesungguhan dan waktu
yang panjang
Teman-teman pembaca yang saya hormati. Dunia kampus hanyalah
gambaran kecil dari apa yang akan kalian hadapi setelahnya. Saya setuju jika
menghafal kurang baik, alangkah baiknya jika ditambah dengan menadaburi tiap
ayatnya beserta tafsir dari ulama yang kompeten. Agar setelahnya, jika
menghadapi hal yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut “Ilmu akan
menjaga pemiliknya."
Mahasiswa lulusan perguruan tinggi bukan robot yang dicetak
sebagaimana spesifikasi yang dibutuhkan oleh pabrik. Tetapi lebih dari itu mahasiswa juga diminta untuk mampu berpikir dan mengolah informasi yang
diterima lalu memutuskan baik-buruknya sebuah objek. Saya akan kembali bertanya
“Lalu di mana kita mendapat standar baik-buruk itu?“ Silakan jawab sendiri,
saya harap pertanyaan ini sudah bisa dijawab.
Jadi, “Apakah hafalan juz 30 akan membantu PNUP menuju
standar global?” tanya si penulis opini kemarin. Pertanyaan ini mungkin satir dan oleh penulisnya berharap untuk tidak perlu dijawab. Namun saya akan mencoba
menjawab: Hafalan di kepala tiap mahasiswa itu tidak akan serta merta menjadikan
kampus menuju standar global, tetapi akan menjadi salah satu unsur yang penting
untuk menjaga misi “Pembenahan sumber daya manusia” berada di jalur yang benar,
tentu pembenahan ini tidak dimaksudkan hanya pada bidang teknis saja tetapi juga
pada akhlak manusianya.
Sebagai penutup dan menjadi nasihat serta motivasi untuk
saya dan teman-teman pembaca sesama muslim, Rasulullah telah memberitahu kita melalui
sebuah hadis yang dishahihkan oleh syekh al-Albani, bahwa Allah membenci orang
yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara akhiratnya.
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik
bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu.”
Wallahu a’lam bishawab
Risal Akbar
Mahasiswa aktif, Penulis Lepas, Engineer, alumni Teknik
Mesin PNUP
Kontak :
IG : risalakbar_
Email :risalakbarara@gmail.com
0 Komentar