Entah kenapa akhir-akhir ini saya sangat tertarik dengan Tuhan, utamanya kata Tuhan. Entitas yang punya segalanya, yang memiliki kuasa atas kehidupan yang ada di alam semesta, serta keberadaan dan segala sangkut paut langsung mengenai personanya yang tak bisa jika dinalar oleh manusia yang sangat terbatas. Ia tidak bisa dijelaskan oleh logika secara keseluruhan dan perlu believe and trust atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan yaitu percaya padahal kata tersebut berbeda. penampilan
Namun sekarang kita tak perlu untuk mengkritik kekurangan dari kekayaan perbendaharaan kata dan makna Bahasa Indonesia toh juga saya dan kalian tidak dapat mengubahnya secara resmi untuk sekarang. Yang akan saya bahas sekarang bukan filsafat Tuhan yang mempertanyakan eksistensi Tuhan meskipun saya sangat ingin menuliskannya. Keterbatasan ilmu dan waktu adalah penyebabnya.
Konsep Tuhan atau bertuhan selain digunakan untuk mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati akan adanya Tuhan, juga digunakan dalam hal lain. Lebih tepatnya pada penggunaan kata Tuhan pada pembentukan tatanan sosial di negeri ini. Saya menyebutnya dengan istilah menuhankan penampilan.
Konsep ini berlangsung ketika masyarakat pada umumnya akan melihat dua jenis penampilan yang bertolak belakang. Contohnya jika si A adalah pria berumur 20 melakukan aktivitas sehari-harinya dengan memakai pakaian yang sederhana seperti kaos oblong, celana jeans robek dan sandal jepit merek Swallow lusuh ditambah dengan wajah dan rambut gondrong dan si B yang punya tampang good looking berpakaian kemeja rapi atau pakaian agamais seperti baju koko dan sarung lengkap dengan peci yang melekat di kepalanya.
Berawal dari penampilan yang terlihat sudah gamblang bahwa masyarakat mayoritas akan menilai buruk si A baik dari perilaku, sifat, maupun pikiran yang ada di dalam kepalanya. Apakah anda merasa was-was atau takut jika bertemu dengan orang yang ciri-cirinya saya gambarkan seperti sosok si A?.
Lain halnya dengan si B, orang-orang akan menilai bahwa pribadi B adalah orang baik dari segi perilaku, sifat maupun isi kepalanya jika dibandingkan dengan si A. Sekarang saya bertanya lagi apakah anda merasa was-was atau takut jika bertemu atau berada di dekat si B? Masyarakat kebanyakan akan menilai baik orang yang bertampang dan berpenampilan menarik jika dibandingkan dengan orang yang tampang dan penampilannya tidak menarik atau kasarnya saya bilang mereka jelek.
Bagaimana jika si B ternyata adalah pria yang memiliki catatan kriminal ataupun perilaku menyimpang lainnya yang bersembunyi di balik pakaian yang ia kenakan. Bisa jadi demikian, ataupun benar adanya jika memang ia adalah pribadi yang taat beragama, shalat lima waktu tidak pernah ia tinggalkan, hubungan vertikal antara dirinya dengan Tuhan sangat intim, seperti itulah yang masyarakat kira berintegritas baik. Tapi sangat disayangkan jika ternyata semua hubungan vertikal dengan Tuhan hanya sekedar simbol-simbol penghambaan semata. Orang-orang seperti inilah yang pada kesehariannya merawat intoleransi, apatis akan kemanusiaan, dan tidak peka akan sosial sesamanya.
Orang yang sehari-harinya seperti penggambaran si A ternyata punya isi pikiran yang terbuka, ia menomor satukan kemanusiaan, ia peka akan problem sesamanya. Meskipun penampilannya seperti itu ia tetap percaya Tuhan dan menghamba kepadanya namun si A tidak haus pujian dari orang lain, tidak seperti si B yang menjadikan penampilan sebagai alat untuk menipu masyarakat.
Dikotomi antara si A dan si B inilah yang melahirkan konsep menuhankan penampilan. Artinya masyarakat akan menilai integritas seseorang berdasarkan apa yang mereka lihat, yang mereka anggap baik dan benar dari segi penampilan akan menurun ke penilaian sikap, sifat serta isi pikirannya. Saya tidak mengatakan justifikasi masyarakat mengenai hal yang demikian salah. Namun tidak sepenuhnya benar sebab mata itu menipu, jangan percaya dengan apa yang anda lihat.
Stigma negatif yang melekat pada orang-orang non good looking seperti si A ini tentu berimbas langsung pada mereka. Hilangnya kepercayaan yang mereka terima dari masyarakat sampai pada akhirnya membudaya dan turun temurun dalam konsep menuhankan penampilan yang dianut. Siapa lagi kalau bukan mayoritas masyarakat, psikologis mereka juga jadi kena dampaknya. Namun saya rasa orang yang sampai sekarang punya integritas baik namun berpenampilan tidak good looking punya filosofi kuat dalam menghadapi stigma negatif yang ditata oleh masyarakat kita. Mereka yang masih menganutnya mencoba untuk meruntuhkan paham menuhankan penampilan ini.
Penulis: Muhammad Firman (Mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Pangkep)
Email: muhfirman1000@gmail.com