Era ini, manusia berbondong-bondong meningkatkan taraf kehidupannya, segalanya berubah menjadi modernisasi, bahkan untuk bangun pagi pun membutuhkan alarm agar terbangun dari bunga tidur, berbeda dengan masa silam, nenek moyang kita hanya mengandalkan suara kokokan ayam di subuh hari. Perubahan adalah hal yang niscaya, begitulah kebanyakan orang-orang berkata, namun tidak ada jaminan bahwa setiap perubahan itu mengarah kepada kebaikan. kejujuran
Kebaikan bukanlah faktor utama dalam pengambilan sikap terhadap perubahan, kemajuan adalah kuncinya, garis waktu membuat segalanya menjadi maju. Namun sayang, nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pendahulu semakin merosot. kejujuran
Kemerosotan terjadi hampir menyentuh segala aspek kehidupan dan paling fundamental ada pada wilayah spiritual. Saat ini spiritual bukan lagi barang mewah yang harus dikejar, dicari, dan diusahakan oleh setiap insan, padahal ketika ditelisik dari sejarah Indonesia aspek inilah yang sangat berperan memerdekakan negara dan bangsa ini dari kolonialisasi.
Ditinjau dari segi logika, mustahil negara Indonesia merdeka hanya bersenjatakan bambu runcing sedangkan pihak lawan menggunakan senjata api. Ironinya, kita justru berusaha keras mengasah pikiran dengan berkiblat pada ilmu-ilmu barat sehingga hanyut pada “ketumpulan nurani”. kejujuran
Krisis nurani mengguncang spiritual dan hal itu berada di dalam “dapur” masing-masing individu, kita tidak memiliki standarisasi nilai untuk menilai orang tersebut baik atau buruk, bisa jadi orang yang dianggap buruk oleh kebanyakan orang memiliki jiwa yang tulus untuk kebaikan lingkungannya. Justru saat ini sulit untuk membedakan mana “surga” dan mana “neraka” karena dengan kecanggihan teknologi kita begitu mudah terperdaya dan terhasut oleh keindahan buatan neraka. kejujuran
Paradigma yang terbangun adalah bagaimana kita tidak ketinggalan zaman dalam artian “mampu beradaptasi terhadap lingkungan”. Namun, petikan kata itu dapat diimplementasikan ketika lingkungan yang dihuni berdampak baik. Sayangnya, kita tidak tahu apakah negara ini berada pada jalur yang benar atau sebaliknya.
Kembali lagi pada kunci utama yaitu “nurani”, karena suara hatilah yang mampu berkata terus terang dan “jujur”.
Dan segalanya terangkum dalam puisi dan terungkap melalui puisi.
Penulis: A. Wira Hadi Kusuma