Oleh : Emerald Magma Audha
Pada Rabu, 15 Juli lalu, saya mengikuti diskusi daring via
Zoom bertajuk “Menyelamatkan Bisnis Media dengan Subsidi Publik, Kenapa?” yang
dipantik oleh Roy Thaniago (pendiri dan peneliti Remotivi, yang mulai per 1
Juli lalu sudah tak lagi bekerja di Remotivi). Bahasan utama dalam diskusi itu,
bahwa perlu ada perubahan pendekatan baru dalam melihat dan memperlakukan
jurnalisme, dan tawaran Roy yaitu: pendekatan public service journalism.
Inti dari pendekatan public service journalism ala Roy ini,
jurnalisme mesti dilihat dan dikelola sebagai public goods (barang publik).
Bagi Roy, fungsi jurnalisme sebagai penyedia informasi saat ini belum bisa
tergantikan bagi sehatnya demokrasi. Roy pun menekankan bahwa informasi
merupakan salah satu sumber daya sosial, layaknya air.
Saya kira apa kata Roy ada benarnya. Kita tentu tak bisa
hidup tanpa air, sama seperti kita tidak bisa hidup tanpa informasi. Pendekatan
ini pun tentu berbeda dengan kelola jurnalisme ala model komersial. Alih-alih
memperlakukan jurnalisme sebagai barang publik, justru kecenderungannya ia—oleh
model komersial—dikelola semata-mata sebagai barang komoditas.
Oleh karena diperlakukan demikian, fokus tujuannya bukan
lagi pada pertimbangan apakah informasi yang disajikan bakal mencerahkan publik
atau tidak. Namun lebih berorientasi pada “seberapa besar klik atau rating yang
diperoleh dari penyajian suatu informasi”. Akhirnya fungsi jurnalisme juga
cenderung direduksi sebagai alat produksi guna menghasilkan profit sebesarbesarnya
bagi para pemilik bisnis jurnalisme, alih-alih berfungsi sebagai penyedia
layanan publik.
Kecenderungan tersebut semakin terlihat, ketika Roy bilang
kalau jurnalisme yang dikelola oleh komersial, kebanyakan hanya mencari pasar
sebesar-besarnya. Mereka (media komersial) tidak menyediakan dana untuk
membiayai jurnalisme investigatif, tetapi mereka mencari apa yang ramai dalam
pemberitaannya (demi pasar). Karena itulah, menurut Roy, corak pelayanan
publiknya menjadi luntur. Dalam bahasa Roy, mereka tidak melayani publik
sebagai warga negara, melainkan sebagai konsumen.
Menurut Roy, salah satu gagasan konkret dari pendekatan baru
ini adalah negara perlu terlibat dalam upaya menyelamatkan krisis (bisnis)
jurnalisme. Krisis seperti apa? Alih-alih krisis bisnis jurnalisme akibat
pandemi Covid-19 ataupun lebih jauh akibat peralihan medium (dari cetak ke
digital), jurnalisme itu sendiri pun sudah lama mengalami masalah akibat
kecenderungannya dikelola dengan model komersial semata.
Salah satu masalah utama dari model komersial menurut Roy
yaitu kualitas informasinya yang bernuansa yellow journalism (sensasional,
clickbaity, non-inklusif, non-substansial) sampai masalah agenda pemberitaan
yang tidak mandiri. Struktur kepemilikan yang tunggal/segelintir orang dan
dominan dalam kelola model komersial, bagi Roy juga perlu dikoreksi. Roy pun
mempermasalahkan kenapa jurnalisme dikelola dengan model komersial, seolah
hanya model itu yang tersedia. Padahal ada kelola model lain, kata Roy, salah
satu contohnya seperti model kooperasi.
Sebelumnya, saya pernah menulis tentang media dengan bentuk
kelola kooperasi. Dalam media kooperasi, struktur kepemilikannya bersifat
kolektif dan masyarakat (publik) bisa menjadi pemilik secara bersama-sama atas
suatu media yang dikelola secara demokratis. Dengan model kepemilikan ini,
masyarakat (publik) sendiri bisa terlibat dalam menentukan produk pemberitaan
informasi yang sejalan dengan kepentingan masyarakat (publik).
Jadi potensi masalah dalam media komersial (seperti
kecenderungan pemberitaan yang melayani kepentingan pemilik tunggal/dominan)
bisa diminimalkan dengan kelola kooperasi. Namun dalam fokus tulisan saya, ada
halhal yang perlu segera dikoreksi. Seperti masalah sejumlah instrumen hukum
yang berkaitan kooperasi (media), pengelolaan kooperasi media yang kurang baik,
sampai tidak mendukungnya iklim media itu sendiri, agar kooperasi media bisa
bersaing dengan media bermodel komersial dalam iklim permediaan di Indonesia.
Pun sebelum diskusi online Rabu sore itu, dalam suatu obrolan
di grup WhatsApp saya, ada pesimisme dari kawan saya bahwa media kooperasi
bakal sulit bertahan dan sulit memenuhi kesejahteraan ekonomi para wartawannya
(pekerja medianya). Atau juga pesimisme semacam, “Kalau kooperasi media belum
bisa menjawab masalah kesejahteraan ekonomi bagi para wartawannya, maka media
kapitalis (komersial-penulis) akan selalu menjadi tempat mereka kembali.”
Apalagi salah satu media kooperasi di Indonesia seperti
Literasi.co—yang saya contohkan dalam tulisan saya, kini sudah tutup. Hal itu
semakin terkonfirmasi ketika saya menanyakan alasan dari tutupnya Literasi.co
kepada Wisnu Utomo (salah satu inisiator Literasi.co) via chatroom-Zoom pada
diskusi 15 Juli lalu. Kata Wisnu, Literasi.co sudah tutup, karena organisasi
kooperasi yang menaunginya juga sudah bubar.
Ada pula yang bertanya kepada Wisnu, apakah saat itu media
Literasi.co cukup mampu menghidupi anggotanya? Sayangnya, jawab Wisnu, tidak
mampu. Saat itu secara finansial mereka hanya mampu membayar untuk pengelolaan
website dan untuk para penulis. Saat itu pula, Literasi.co masih pada tahap
mengembangkan model-model donasi publik agar bisa stabil. Wisnu juga
menjelaskan bahwa tantangan lain dalam pengelolaan media kooperasi itu, sulit
untuk menyatukan banyak ide di organisasi/kooperasi yang belum solid.
Kenyataan itu barangkali bisa sebagai pembenaran bagi
pesimisme kawan saya di atas. Namun dari situ pula bisa dijadikan refleksi,
bahwa ada hal lain yang perlu diupayakan selain—dalam tulisan saya
sebelumnya—soal perbaikan instrumen hukum kooperasi maupun peningkatan
profesionalitas dalam mengelola kooperasi media. Selain kedua hal tersebut,
untuk menjawab pesimisme tadi, maka benang merahnya juga ada pada gagasan
konkret Roy di atas. Bahwa negara perlu campur tangan dalam menyelamatkan
krisis jurnalisme.
Kenapa negara perlu terlibat? Yang mesti dipahami menurut
Roy, negara juga perlu melihat dan memperlakukan jurnalisme dengan pendekatan
layanan publik (public service). Dan ketersediaannya bagi publik merupakan
kewajiban negara untuk menjaminnya. Pun keterlibatan negara dalam layanan
publik bukanlah hal baru. Seingat saya, Roy juga mencontohkan, untuk layanan
publik seperti seni dan olahraga pun ikut didanai dan difasilitasi oleh negara.
Lantas, kenapa itu tidak dilakukan pula pada jurnalisme?
Keterlibatan negara yang Roy maksud (yang saya tangkap)
bukan seperti intervensi negara ala Orba yang tendensinya membungkam kebebasan
pers. Namun, negara bisa memberikan subsidi kepada media komersial (laba) untuk
mengubah bentuknya menjadi nirlaba. Subsidi bisa berupa bantuan nontunai,
seperti pengurangan pajak kertas dan pajak individu, subsidi tarif listrik,
pelatihan, dan sebagainya. Subsidi pun bisa diberikan untuk media dengan
struktur kepemilikan kolektif (seperti kooperasi misalnya), atau negara juga
bisa memberikan bantuan bagi media untuk mengonversikan bentuknya menjadi
kepemilikan kolektif.
Gagasan konkret lain dari Roy, perlu ada konsorsium yang
merupakan gabungan dari kelompok masyarakat sipil yang peduli atas sehatnya
jurnalisme. Misalnya gabungan dari LBH, LSM, komunitas masyarakat, dan lembaga
nirlaba lainnya, yang kemudian “patungan” untuk membikin dan membiayai kerja
media pers di bawah naungan konsorsium itu.
Sebelum gagasan-gagasan tadi terwujud, Roy menguraikan,
sejauh ini cukup banyak media telah mengupayakan solusi untuk menjaga kualitas
(dan/atau independensi) jurnalisme mereka. Seperti melalui subscription/paywall
(halaman berbayar/berlangganan), bantuan filantropis, atau pun donasi publik.
Namun untuk media yang menerapkan subscription/paywall, kata Roy, hanya
orang-orang berada saja yang bisa mengaksesnya, sementara kelas pekerja sulit
mengaksesnya.
Jika media hanya mengandalkan donasi publik, itu pun cukup
sulit. Meski kesukarelaan masyarakat kita untuk berdonasi itu tinggi, namun
menurut Roy, masyarakat cenderung banyak bersukarela dalam dimensi moral
(seperti untuk orang sakit, karena ada musibah/bencana, keagamaan). Perlu
perombakan budaya bahwa donasi harusnya juga untuk social cost seperti membantu
media membiayai kerja jurnalisme.
Terlepas dari kultur itu, bagi Roy, media juga perlu
berinisiatif untuk mengembangkan inovasi dalam kelola donasi publik. Sedangkan
bila hanya mengandalkan bantuan filantropis (seperti dari lembaga donor atau
hibah) semata, belum tentu bisa menjamin kerja media secara berkelanjutan.
Lalu untuk mewujudkan gagasan-gagasan tadi pun, Roy pula
mengurai ada banyak tantangan dan prasyarat yang harus dihadapi dan
dikondisikan terlebih dulu. Seperti masalah mental paternalistik pemerintah,
peta tentang kondisi bisnis media yang belum komprehensif, perbaikan
profesionalisme jurnalis, hingga masalah literasi media, akses digital, dan
lain sebagainya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka sudah
selayaknya gagasan-gagasan Roy patut dicoba dan didukung. Saya pribadi menaruh
harapan besar terhadap media dengan kelola selain model komersial (terutama
pada model kooperasi media).
Dan yang lebih penting, saya (dan kita) semestinya sepakat
bahwa perubahan pendekatan jurnalisme yang baru itu penting, yaitu jurnalisme
memang mesti diperlakukan sebagai barang publik. Sebab ia menyangkut hajat
hidup orang banyak. Seperti kata Roy, baik negara maupun publik sama-sama perlu
berperan atas sehatnya jurnalisme.
Kebumen, 25 Juli 2020
*Emerald Magma Audha, alumnus
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Pernah bergiat di
Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa.
0 Komentar