Pada jumat, 22 Januari 2021. Persma memublikasikan video jurnalistik mengenai realitas kantin di kampus kita yang bertajuk “Menilik Realisasi Janji Pembenahan Kantin” di kanal Youtube ‘Redaksi Metanoiac’. Hingga saat ini video tersebut hanya dinikmati oleh 408 penonton dari sekitar enam ribu Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP). Hal tersebut menggambarkan bahwa hanya segelintir orang yang dapat melihat dan merasakan kondisi kantin kampus saat ini.
Di dalam video tersebut, Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai lembaga internal tertinggi keluarga mahasiswa PNUP menginisiasi gerakan demonstrasi untuk merealisasikan tuntutan mahasiswa, terkhusus pada relokasi kantin yang telah dijanjikan oleh pihak birokrasi.
Kantin bukan hanya sebagai tempat makan dan minum, melainkan juga sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa untuk berperang argumentasi lintas jurusan. Ironisnya, kantin yang merupakan satu-satunya tempat makan di dalam lingkungan kampus justru jauh dari kata sehat.
Letak kantin yang berdekatan dengan pembuangan sampah menimbulkan “aroma khas” yang membuat kebanyakan orang berpikir ulang untuk makan dan minum di tempat itu. Namun, beberapa mahasiswa yang terbiasa dengan kondisi tersebut justru tidak peduli dan tetap melanjutkan perang gagasan karena tersedia “amunisi” berupa kopi.
Dibalik ketidakpedulian aroma khas kantin, tempat tersebut dapat menghasilkan ide cemerlang yang kemudian tertuang dalam bentuk idiom “Sapi Antang Melawan”. Meskipun idiom tersebut menuai polemik di kalangan mahasiswa. Satu yang pasti bahwa hal tersebut merupakan itikad baik.
Aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa sebagai bentuk kepedulian terhadap “subjek kantin” dalam hal ini para penjual yang ada di kantin dan penikmat kantin. Diharapkan agar semakin banyak mahasiswa dari jurusan lain meramaikan perkumpulan dan menuangkan ide-ide segar.
Berkaca dari aksi-aksi mahasiswa yang dilakukan di kampus bahwa kampus kita memberikan suasana demokratis. Namun, dilirik dari segi struktural organisasi kampus justru tidak menggambarkan demokratisasi. Sukar membayangkan ketika pucuk jabatan dengan fundamental fungsi yang berbeda “diduduki” oleh subjek yang sama, secara otomatis ada kursi yang “kosong”. Mustahil subjek yang sama dihuni oleh dua kursi sekaligus.
Pada saat aksi, mahasiswa silih berganti menyampaikan orasinya untuk memompa semangat massa sekaligus menunggu pimpinan kampus agar berkenan berdiskusi dengan para mahasiswa. Seperti aksi sebelum-sebelumnya yang dilanjutkan dengan audiensi, kali ini pun pimpinan kampus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan tuntutannya di ruang rapat.
Yang menarik dari diskusi di ruang rapat yang terekam jelas dalam video jurnalis. Pemimpin kampus kita melontarkan pernyataan “Saya tidak pernah makan sejak kantin disitu, saya merasa jorok”. Ditinjau dari segi pemimpin adalah teladan, pernyataan tersebut mendorong mahasiswa agar tidak lagi makan di kantin sekaligus ancaman pemasukan bagi para penjual.
Nasib baik jikalau para penjual belum mendengar pernyataan itu, bisa jadi ketika pernyataan tersebut sampai ke telinga penjual-penjual di kantin, melahirkan gerakan berikutnya bersama mahasiswa dengan menambahkan tagar di flyer “Kantin Melawan”.
Satu hal yang dapat di garis bawahi dari video Persma tersebut, birokrasi tetap terbuka dengan realitas yang terjadi di lingkungan kampus sekaligus mematahkan perkataan sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Buktinya saat ini jurnalis di kampus kita tidak dibungkam, lagi pula tulisan ini bukanlah berbentuk sastra.
Tulisan ini sekadar refleksi bagi pemimpin kampus yang pernah melontarkan retorika manis demi kampus yang lebih baik.
Penulis: A. Wira Hadi Kusuma