Pagi buta itu orang tuaku menitahkan untuk mengantar barang di sebuah warung makan sederhana yang letaknya tidak begitu jauh dari daerah kampus, tanpa berpikir panjang saya kemudian bergegas mengindahkan perintahnya sekaligus berangkat ke kampus menggunakan kuda hitam berboncengan dengan barang tersebut. Barang pun kuantar dengan sealamat, melanjutkan perjalanan ke kampus.
Setibanya saya di kampus, suasananya begitu sunyi dan senyap yang ada hanyalah pak sekuriti berjaga di pos gerbang pintu dan ibu tua membersihkan dedaunan yang berguguran serta sampah-sampah berserakan di pekarangan kampus.
Kuambil handphone di selipan kantong celana panjang hitamku untuk mengecek jam menunjukkan sudah pukul berapa. Masih banyak waktu yang tersisa sebelum memulai perkuliahan, sehingga mengharuskan saya untuk menunggu di gubuk depan himpunan. Seperti biasanya himpunan adalah transit sebelum menuju ke ruang kelas jurusan.
Saya duduk seorang diri, terdiam dan termangu memandangi orang-orang berlalu-lalang melintasi jalan, makin lama makin padat menandakan perkuliahan tidak akan lama lagi dimulai. Entah kemudian saya bertanya-tanya mengapa di perkotaan kebanyakan orang senantiasa tergesa-gesa terhadap suatu pekerjaan, sehingga Time is Money menjangkiti pikirannya.
Pikiranku kemudian mengembara menuju ke pedesaan dan membayangkan gambaran kehidupan seorang petani yang pagi harinya duduk santai di teras rumah panggung dengan kursi besi beralaskan karet, menghirup udara sejuk, matanya pun diayunkan oleh sinar mentari menyongsong di ufuk timur dan gugusan burung menari-nari disela pepohonan sekaligus berkicauan memanjakan daun telinga si petani.
Tak lama berselang, sang istri menyuguhkan secangkir kopi pekat dan pisang goreng hangat di atas talam dan menaruhnya di meja tepat di samping si petani. Hidangan sederhana tetapi nampak sangat mewah bagi si petani, dikarenakan sang istri yang setia menemaninya bercengkrama dan tertawa bersama sebelum kedua kakinya beranjak dari tempat duduk untuk berangkat melakukan pekerjaan.
Setelah menyeruput kopi dan menghabiskan sarapan paginya, si petani bergegas menuju ladang sawah tempat mengais rejeki. Sebelum itu, ia pandangi sang istri begitu lamanya, matanya seperti sepasang kejora yang cantik rupawan sembari sang istri mengambil jemari kanan si petani dan menempelkan di bibirnya yang halus, dilanjutkan si petani memegang kedua sisi kepala sang istri dan menempelkan bibirnya perlahan ke arah kening sang istri.
Upacara sederhana yang dilakukan oleh keluarga si petani.
Cangkul di pundak menemaninya berjalan menuju ladang sawah yang terhampar di perbukitan, irigasi mengalir dari hulu ke hilir menandakan ladang sawah begitu subur. Padi berseri-seri seraya merunduk dibelai oleh tangan kasar pak tani seakan Ibu mengelus manja kepala bayinya.
Terik mentari menyerang tubuh si petani menyebabkan keringatnya menetes membasahi ilalang, tetapi hal itu tidak mengendurkan semangat bekerja demi mengharapkan rejeki yang dijanjikan oleh Tuhan kepadanya.
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” (Bumi Manusia)
Dari kejauhan, melihat sang istri berjalan menenteng rantang besi menuju gubuk kayu beratap pelepah sawit, si petani menghentikan pekerjaannya dan bersegera menyambut senyum manja sang istri. Sungguh pemandangan begitu indah di siang bolong, meskipun makanan yang disantapnya sekadar nasi hangat hasil taninya berlaukkan ikan asin, perkedel jagung dan sayur bayam.
Tiba- tiba khayalanku pun terhenti dikagetkan oleh seorang teman yang datang mengingatkan sebentar lagi jam perkuliahan segera dimulai. Saya pun berdiri dan berjalan pelan menuju kelas sembari mengambil pembelajaran dari kehidupan si petani khayalanku bahwasanya tolak ukur kebahagiaan bukanlah terletak pada suatu materi tetapi bagaimana perspektif kita terhadap sesuatu.
Di balik delusifku, kebanyakan dari kita justru lupa cara menghargai profesi petani, bukan hanya tentang mencintai produk lokal dan meminimalisir produk impor, tetapi salah satu bentuk penghargaan pada pak tani adalah menghabiskan nasi yang kita makan meskipun itu hanya sebutir. Bisa jadi sebutir nasi yang tersisa merupakan sebuah keberkahan yang terselubung.
Mengingat di warung makan yang barangnya kuantar, ternyata di balik dapurnya berhamburan sisa-sisa nasi dan jikalau dihitung sisa nasi tersebut cukup dimakan oleh berpuluh orang.
Penulis : Umareng