METANOIAC.id Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) sama seperti perguruan tinggi lainnya yang sedang melaksanakan sistem perkuliahan Dalam Jaringan (Daring) demi mencegah penyebaran Corona VirusDisease tahun 2019 (COVID -19).
Terkait hal tersebut mahasiswa menganggap biaya operasional perkuliahan tatap muka tidak terpakai secara maksimal. Biaya perkuliahan Daring pun ditanggung secara mandiri oleh masing-masing mahasiswa. Merosotnya ekonomi di Indonesia akibat pandemi COVID-19, membuat kondisi pendapatan ekonomi orang tua mahasiswa juga ikut merosot.
Hingga mahasiswa menuntut kepada birokrasi untuk meringankan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan mereka bayar. Seperti yang tertera pada instagram @aliansipnup
Tuntutan. Salah satu poin dalam tuntutan mahasiwa PNUP yang berjudul “Realisasikan Hak Mahasiswa,” Kamis (4/6). [Ist]
Pernyataan ini sampai langsung kepada Wakil Direktur (WD) III, HR Fajar, dalam wawancara Crew Metanoiac mengenai subsidi kuota untuk mahasiswa, Fajar menyinggung mengenai dana yang di keluarkan PNUP selama masa pandemi ini.
Fajar membenarkan mengenai tidak terpakainya biaya operasional tatap muka secara maksimal, tetapi itu hanya dilihat dalam satu sudut pandang saja. Fajar mengganggap sudut pandang yang lain juga harus di ketahui oleh semua Pihak PNUP.
“Ada sudut pandang yang lain dan harus di ketahui oleh semua politeknik bahwa kebijakan pandemi COVID-19 ini adalah wabah nasional, sehingga semua institusi pendidikan bahkan semua institusi negara itu diminta untuk menyiapkan dana operasional secara gotong royong,” ungkap Fajar.
Wabah nasional ini membuat setiap perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menyiapkan dana operasional guna membantu dampak dari pandemi COVID-19 ini. Di PNUP sendiri, nominal yang diminta langsung dari pusat adalah Rp 2,3 Milyar. Nominal yang diminta pun tidak sama rata dengan perguruan tinggi lainnya.
“Politeknik itu diwajibkan untuk membantu. Jadi, pusat yang memotong anggaran kita sebanyak 2.3 Milyar untuk pandemi ini” jelas Fajar.
Dana sebesar 2,3 Milyar ini, diambil dari memotong biaya operasional pekuliahan. Seperti listrik dari bulan Maret hingga Juni tidak terpakai secara maksimal.
“Contohnya listrik, selama pandemi kita cuma bayar Rp 30-an juta per bulan, kalau normal sekitar Rp 130 juta per bulannya” tambah Fajar.
Adapun biaya lain yang ikut terpotong adalah biaya air dan biaya pelatihan dosen. Biaya pelatihan dosen yang sebanyak Rp 591 juta. Karena Fajar menganggap bahwa tidak mungkin ada pelatihan dosen di tengah pandemi seperti ini.
Pemotongan biaya pada beberapa fasilitas kampus, dikarenakan dana yang dialokasikan pada tahun ini adalah dana yang dianggarkan pada tahun sebelumnya.
“Hal itu yang membuat kita merasa ketar ketir dan berpikir yang mana harus dipotong,” tambah Fajar.
Tetapi tidak untuk pemotongan biaya bahan praktek bagi mahasiswa, dikarena praktek akan tetap dilaksanakan. “Kita tetap akan laksanakan meskipun tidak terlaksana diawal tetapi akan terakumulasi dibelakang,” jelasnya.
Pada saat yang bersamaan, Fajar mengatakan operasional kampus masih tetap berjalan selama pandemi ini. Berjalannya operasional kampus tentunya memakan biaya untuk penyediaan handsanitizer, masker, dan konsumsi untuk menjaga kesehatan civitas kampus yang tetap harus bekerja.
Selain itu, pihak kampus mengalokasikan anggaran untuk mahasiswa yang masih bertahan di kostnya dan tidak pulang kampung dalam bentuk sembako. [TEN/288]