Patung. Patung Plato yang kini di kenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang masa. [Ist]
METANOIAC. Id Seorang filsuf (Jurgen Habermas) mengatakan setiap ilmu punya kepentingan, dan kepentingan ini berangkat dari tiga relasi, relasi tersebut ialah “Subjek-Objek”, “Subjek-Itself”, dan “Subjek-Subjek”. Sebelum membahas ketiga tersebut, berikut klarifikasi apa itu subjek dan objek.
Menurut seorang filsuf (Rene Descartes), subjek adalah manusia yang berpikir sebelum bertindak, filsuf ini sempat meragukan lingkungan realita dan eksistensinya sebagai manusia, dia mengatakan “Apa jaminan kita, jika kehidupan yang sekarang bukan mimpi?, toh tidak menutup kemungkinan ini hanyalah ilusi (termasuk aku sebagai manusia)”, setelah melakukan perjuangan intelektual, dia menemukan jawaban, “Ternyata ada satu hal yang pasti, yaitu aku yang sedang berpikir tentang kepastian.” Berangkat dari itu lahirlah istilah “Aku berpikir, maka aku ada.”
Dalam konteks relasi kehidupan (terlepas dari linguistik), objek adalah suatu hal yang manut disetiap keadaan dan ini akan memicu masalah jika objek disamakan dengan manusia (subjek).
Relasi pertama yaitu “Subjek-Objek”, mempunyai kepentingan teknis, yang mana kajian ini umumnya disandarkan pada persamaan matematis (Pelaku akademiknya disebut Engineer dan Scientist) serta contoh ilmunya yaitu eksakta. Relasi selanjutnya “Subjek-Itself” atau manusia dengan dirinya sendiri, relasi ini mempunyai kepentingan inter-subjektif (saling memahami), contoh sub-ilmunya yaitu psikologi, bahasa, seni, dan sebagainya dalam hiponim non-eksakta. Relasi terakhir yaitu “Subjek-Subjek”, mempunyai kepentingan emansipasi (peningkatan kualitas hidup bersama), contoh disiplin ilmunya yaitu Ilmu Sosial (non-eksakta).
Dalam gagasan Habermas, ada istilah rasio Instrumental (akal dijadikan alat tujuan sepihak) dan rasio komunikatif (akal dijadikan alat perundingan). Rasio instrumental hanya cocok digunakan dalam relasi “Subjek-Objek” yang bersifat teknis, ketika Rasio Instrumental menginfasi dua relasi lainnya maka yang terjadi adalah pembendaan (reifikasi). Oleh karena itu, Rasio Komunikatif adalah solusi.
Berikut contoh benar penempatan akan Rasio Instrumental (Subjek-Objek), ketika kita hendak menyebrang sungai, ada pohon yang bisa ditebang untuk membuat perahu atau jembatan, pohon akan selalu patuh pada setiap momen, sebab dia berstatus sebagai objek yang dieksekusi oleh subjek (penebang).
Sementara salah penempatan akan Rasio Instrumental (Seharusnya Rasio Komunikatif), dalam kehidupan berkampus misal, ketika birokrasi hanya mengharuskan lembaga Pers Mahasiswa sebagai wadah tebar citra elok, terlepas dari opsi distributor kritik akan sistem, dan ketika para jurnalis mencoba melakukan komunikasi, birokrasi seakan tuli akan aspirasi, sebab Jurnalis bagi mereka tak lain hanyalah sebatang pohon yang siap tebang dan patuh terhadap si penyedia opsi. [SAM/309]
Menurut seorang filsuf (Rene Descartes), subjek adalah manusia yang berpikir sebelum bertindak, filsuf ini sempat meragukan lingkungan realita dan eksistensinya sebagai manusia, dia mengatakan “Apa jaminan kita, jika kehidupan yang sekarang bukan mimpi?, toh tidak menutup kemungkinan ini hanyalah ilusi (termasuk aku sebagai manusia)”, setelah melakukan perjuangan intelektual, dia menemukan jawaban, “Ternyata ada satu hal yang pasti, yaitu aku yang sedang berpikir tentang kepastian.” Berangkat dari itu lahirlah istilah “Aku berpikir, maka aku ada.”
Dalam konteks relasi kehidupan (terlepas dari linguistik), objek adalah suatu hal yang manut disetiap keadaan dan ini akan memicu masalah jika objek disamakan dengan manusia (subjek).
Relasi pertama yaitu “Subjek-Objek”, mempunyai kepentingan teknis, yang mana kajian ini umumnya disandarkan pada persamaan matematis (Pelaku akademiknya disebut Engineer dan Scientist) serta contoh ilmunya yaitu eksakta. Relasi selanjutnya “Subjek-Itself” atau manusia dengan dirinya sendiri, relasi ini mempunyai kepentingan inter-subjektif (saling memahami), contoh sub-ilmunya yaitu psikologi, bahasa, seni, dan sebagainya dalam hiponim non-eksakta. Relasi terakhir yaitu “Subjek-Subjek”, mempunyai kepentingan emansipasi (peningkatan kualitas hidup bersama), contoh disiplin ilmunya yaitu Ilmu Sosial (non-eksakta).
Dalam gagasan Habermas, ada istilah rasio Instrumental (akal dijadikan alat tujuan sepihak) dan rasio komunikatif (akal dijadikan alat perundingan). Rasio instrumental hanya cocok digunakan dalam relasi “Subjek-Objek” yang bersifat teknis, ketika Rasio Instrumental menginfasi dua relasi lainnya maka yang terjadi adalah pembendaan (reifikasi). Oleh karena itu, Rasio Komunikatif adalah solusi.
Berikut contoh benar penempatan akan Rasio Instrumental (Subjek-Objek), ketika kita hendak menyebrang sungai, ada pohon yang bisa ditebang untuk membuat perahu atau jembatan, pohon akan selalu patuh pada setiap momen, sebab dia berstatus sebagai objek yang dieksekusi oleh subjek (penebang).
Sementara salah penempatan akan Rasio Instrumental (Seharusnya Rasio Komunikatif), dalam kehidupan berkampus misal, ketika birokrasi hanya mengharuskan lembaga Pers Mahasiswa sebagai wadah tebar citra elok, terlepas dari opsi distributor kritik akan sistem, dan ketika para jurnalis mencoba melakukan komunikasi, birokrasi seakan tuli akan aspirasi, sebab Jurnalis bagi mereka tak lain hanyalah sebatang pohon yang siap tebang dan patuh terhadap si penyedia opsi. [SAM/309]