Ilustrasi. Pengusiran sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lain. [Sumber: Tirto.id]
METANOIAC.idMasih jelas diingatan kasus pembubaran pembukaan stand pendaftaran peserta basic training dan lapak baca buku yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) di kantin PNUP pada 30 September 2019 lalu. Kegiatan ini dibubarkan dengan alasan tidak memiliki izin kegiatan dari pihak kampus. Padahal menurut Muh. Fahri selaku Ketua Umum HMI komisariat PNUP, kegiatan seperti ini sebelumnya tidak pernah dimintai izin meskipun status mereka organisasi eksternal kampus.
“Awalnya satpam mengira bahwa kegiatan yang teman-teman lakukan adalah stand penjualan buku, sehingga teman-teman mengonfirmasi niat dan tujuan kegiatan tersebut. Setelah itu, satpam meminta kepada teman-teman untuk menghentikan kegiatan atas dasar tidak memiliki izin kegiatan dan diminta untuk menghadap ke Lidemar Halide selaku Wakil Direktur (WD) 3 bidang kemahasiswaan keesokan harinya,” jelas Fahri.
Fahri menambahkan pada saat pihak HMI menghadap, Lidemar menjelaskan bagaimana seharusnya langkah yang ditempuh jika ingin melakukan kegiatan di dalam kampus sebagai organisasi eksternal. “Organisasi eksternal kampus harus terlebih dahulu meminta izin dengan WD 2 bidang sarana dan administrasi umum, kemudian apabila telah disetujui selanjutnya berurusan dengan Kaur Rumah Tangga untuk izin sarana kegiatan. Ini yang disampaikan oleh WD 3 waktu itu,” tambahnya.
Dua minggu sebelumnya pada 12 September 2019, kegiatan diskusi bertajuk Mengupas Praktik Senioritas dalam Kampus yang diadakan oleh Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (LISAN) komisariat PNUP di dalam kampus juga terancam dibubarkan oleh WD 3 karena tidak memiliki izin kegiatan. “Ilegal, tidak ada izin dari PNUP. Akan dibubarkan,” tegas Lidemar melalui pesan di salah satu grup WhatsApp dengan melampirkan pamflet diskusi tersebut.
Pesan Singkat. Pesan singkat yang dikirim oleh WD 3 terkait diskusi LISAN komisariat PNUP.
Pamflet. Pamflet diskusi yang diadakan oleh LISAN komisariat PNUP.
Ancaman itu tak menyurutkan niat dari LISAN untuk tetap melaksanakan diskusi tersebut di dalam kampus. Ahmad Hasan selaku Ketua Umum LISAN komisariat PNUP mengatakan bahwa seharusnya untuk diskusi yanghanya menggunakan fasilitas yang minim dan tidak mengganggu aktivitas orang lain tidak perlu menggunakan izin. “Tugas kampus adalah membangun iklim akademik di dalam lingkungan kampus, sehingga seharusnya kampus mempermudah dilaksanakannya forum-forum dialektika dan diskusi. Bukan memperumit pelaksanaannya,” jelasnya.
Dari kasus yang dialami HMI dan LISAN komisariat PNUP di atas, sebagai organisasi eksternal kampus yang ingin melakukan kegiatan di dalam kampus, keduanya sama-sama terkendala oleh izin kegiatan. Namun baik HMI maupun LISAN mengaku bahwa pada kesempatan sebelumnya, mereka tidak pernah dimintai izin kegiatan jika ingin melakukan kegiatan di dalam kampus. Dan ini merupakan pertama kalinya mereka dimintai izin kegiatan oleh kampus.
Baru-baru ini tepatnya tanggal 8 Februari 2020, peristiwa serupa kembali terulang. Kali ini justru dilakukan oleh Lidemar yang sebelumnya bertindak sebagai pelarang kegiatan tanpa izin. Lidemar dengan mengatasnamakan yayasannya yaitu Kahfi Halide MotivatorSchool Makassar, mengadakan seminar Public Speaking yang dibuka secara umum. Pendaftaran seminar tersebut dibuka di ruang Kemahasiswaan PNUP yang ditangani langsung oleh Kaur. Kemahasiswaan. Untuk mengikuti seminar tersebut, peserta diwajibkan membayar investasi seminar. Untuk gelombang pertama, peserta wajib membayar sebesar Rp.200.000, gelombang kedua Rp.250.000, gelombang ketiga Rp.300.000 dan on the spot Rp.400.000.
Pamflet. Pamflet seminar Public Speaking oleh Kahfi Halide Motivator School Makassar.
Awalnya seminar tersebut akan diadakan di Aula lantai tiga gedung Direktorat PNUP. Nahasnya, selain diselenggarakan oleh pihak luar PNUP, kegiatan tersebut juga dilakukan tanpa seizin direktur sehingga seminar harus dihentikan.
Namun perintah untuk menghentikan seminar dianggap Lidemar sebagai bentuk usiran yang dilakukan oleh direktur kepadanya. “Kalo tiba tiba dibilang ‘hentikan itu kegiatan yang di atas!’? itu kan sama saja dibilang diusir kan? Di suruh hentikan, jadi langsung pindah ke Universitas Fajar,” jelas Lidemar.
Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya ia ingin membayar uang sewa aula namun prosesnya dianggap cukup panjang. “Saya mau bayar. Itu aula harga sewanya 8,5 juta per hari. Tapi panjang prosesnya,” jelasnya.
Adapun proses panjang yang dimaksud Lidemar, yaitu mengirim surat ke direktur dengan tembusan WD 2 untuk izin tempat kegiatan dan WD 4 untuk bayar uang sewa aula. “Itu prosesnya yang baru saya tau juga,” tambah Lidemar.
Di waktu yang sama, Elektro Poltek Robot Team (EPROM) yakni komunitas robot Jurusan Teknik Elektro juga mangadakan seminar yang dibuka langsung oleh Direktur PNUP. Lidemar merasa ketidakadilan berpihak kepadanya karena seminar yang ia buat dihentikan sedangkan seminar EPROM tidak. “EPROM itu komunitas berarti dia masuk organisasi eksternal, tapi kok itu bisa dilaksanakan di PNUP secara gratis? Terus apa bedanya yang saya bikin dan saya diusir?” tanya Lidemar. [Ralat! Klarifikasi Pihak HME dari Pernyataan WD 3]
“Tidak ada sebenarnya anak emas, yang jelas belum ada aturan yang jelas di PNUP. Kesimpulan sementara belum ngerti lah kalau kasus di kampus, tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas tentang itu,” jelas Lidemar.
Prof. Muhammad Anshar selaku Direktur PNUP membenarkan bahwa ia melarang seminar Public Speakingtersebut karena tidak ada izin kegiatan yang dibuat oleh Lidemar untuk dirinya. “Saya memang larang, saya tidak mau ada kegiatan tidak resmi karena tidak ada laporannya ke pimpinan. Mana ada penggunaan ruangan tapi tidak ada laporan. Tidak boleh seperti itu karena ini semua aset negara, dan tanggung jawabnya direktur,” jelas Prof. Anshar.
Surat Edaran. Surat edaran yang dibuat oleh Direktur PNUP terkait seminar Public Speaking. [Ist]
Sehari sebelum seminar dilaksanakan, Prof. Anshar mengeluarkan surat edaran untuk para wakil direktur, ketua jurusan, Kabag dan Kasubag. Di dalam surat edaran tersebut, Prof. Anshar menyatakan bahwa seminar Public Speaking bukan kegiatan PNUP sehingga undangan menghadiri seminar yang sebelumnya dibuat oleh WD 3 dibatalkan. “Makanya saya membuat surat bukan kegiatannya Politeknik, karena saya tidak pernah memerintahkan memungut biaya dari luar, jadi kita mau lepas tangan kalo ada apa-apanya, karena bukan kita punya tanggung jawab,” jelasnya.
Di sisi lain, Prof. Anshar tidak membenarkan jika perintah menghentikan seminar Public Speaking dianggap sebagai bentuk usiran untuk Lidemar. “Jadi siapa yang mengatakan diusir itu tidak benar, hanya saja disuruh mengikuti prosedur yang benar,” tambahnya.
Menurut Prof. Anshar saat dimintai keterangan, Lidemar menjelaskan bahwa seminar tersebut adalah membawa nama pribadinya sendiri, akan tetapi jika membawa nama pribadi tidak sepatutnya dalam surat undangan menghadiri seminar yang ia buat mengatasnamakan WD 3, memakai stempel WD 3 dan menggunakan kertas dengan kop surat PNUP. Karena apabila seperti itu, orang-orang akan menganggap bahwa seminar tersebut resmi diadakan oleh PNUP bukan pribadi Lidemar.
Prof. Anshar juga menyatakan dengan tegas bahwa pendaftaran seminar yang dilakukan di ruang Kemahasiswaan sangat tidak dibenarkan. “Saya tahu pendaftaran seminar tersebut dilakukan di ruang kemahasiswaan ketika satu hari sebelumnya. Saya tidak pernah perintahkan kemahasiswaan begitu. Tidak benar apa yang dilakukan oleh kemahasiswaan. Baik PD 3 maupun Kasubag nya disitu tidak benar. Tidak pernah ada izin ke saya,” tegasnya.
“Kalau kegiatannya PNUP boleh dibuka di kampus, tapi itupun harus ada izin dari pimpinan. Apalagi kegiatan luar, tetapi mau buka pendaftaran di PNUP, itu tidak benar, salah itu. Itu namanya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Apalagi dia mengatasnamakan yayasannya, ya kalau atas nama yayasannya kenapa harus mengatasnamakan WD 3 pada surat undangan. Kalau mengatasnamakan jabatan, saya ikut tersangkut kalau ada apa-apa,” tambah Prof. Anshar.
Menanggapi pernyataan Lidemar yang mengatakan bahwa belum ada SOP yang jelas di PNUP mengenai perizinan kegiatan oleh pihak luar, Prof. Anshar sangat menyayangkan apabila seorang pimpinan tidak mengerti hal tersebut. “Mana tidak ada SOP, coba tanya WD 4. Orang dalam saja harus ada izin, apalagi orang luar. Itu semua ada yang mengatur. Semua disposisi dari WD 2. Kalau orang luar harus lewat WD 4. Masa seorang pimpinan tidak tau kalau ada itu. Tidak cocok sebagai seorang pimpinan kalau dia tidak mengerti yang begitu,” tuturnya.
Sebagai sanksi telah melakukan pelanggaran, Prof. Anshar memberikan teguran beberapa kali kepada Lidemar, tetapi Lidemar dianggap tetap tidak mengerti. “Saya mengangkat mereka untuk membantu saya bukan untuk melawan kebijakan saya. Kalau tidak mau mengikuti kebijakan saya, ya berhenti saja. Kalau tidak bisa membantu saya, hanya merepotkan saja ya buat apa?. Saya kan bisa mengganti siapa saja kalau saya punya alasan,” pungkas Prof. Anshar. [FK/280]