![]() |
Screenshot tulisan opini di artikel sebelum diubah. |
METANOIAC.id Belakangan ini banyak tulisan-tulisan fenomenal dan atau kontroversional yang berkembang dalam masyarakat kampus Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP). Sebut saja tulisan tentang ‘Lapak Buku HMI yang Dibubarkan Satpam PNUP’ yang terbit di situs web corongpenggerak.wordpress.com.
Singkatnya, tulisan itu tentang aksi pembubaran stand pendaftaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lapak baca buku di kantin kampus satu PNUP oleh Satuan Pengamanan (Satpam).
Ada lagi nih! tulisan opini dari A. Fatimah Hardianti yang terbit di artikel kompasiana.com tanggal 1 Oktober 2019 dengan judul ‘Diskursus yang Dimatikan PNUP’.
Singkatnya, tulisan itu tentang aksi pembubaran stand pendaftaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lapak baca buku di kantin kampus satu PNUP oleh Satuan Pengamanan (Satpam).
Ada lagi nih! tulisan opini dari A. Fatimah Hardianti yang terbit di artikel kompasiana.com tanggal 1 Oktober 2019 dengan judul ‘Diskursus yang Dimatikan PNUP’.
Terkait dengan tulisan opini, pada dasarnya semua orang bisa menulis terlebih untuk menulis opini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) opini diartikan sebagai pendapat, pikiran, atau pendirian.
Menulis opini berarti menyebarluaskan gagasan. Dengan menulis opini, seseorang dapat mentransfer ide dan gagasannya ke ruang publik. Ketika sudah memasuki ruang publik, pilihannya hanya ada dua yaitu bisa mempengaruhi publik atau tidak, dengan cara gagasan yang ditulisnya bisa diterima atau justru diperdebatkan.
Dilansir dari medium.com/marsileawahyu bahwa opini memang bisa diartikan sebagai pandangan seseorang tentang suatu masalah. Namun tidak hanya sekadar pendapat, pendapat tersebut bersifat ilmiah. Pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan dengan berdasar dalil-dalil ilmiah.
Karena itu, untuk menulis opini juga dibutuhkan riset. Riset merupakan penguat dari argumentasi penulis untuk menekankan gagasannya.
Bagaimana jadinya jika opini yang dituangkan dalam tulisan tanpa melalu riset untuk mengetahui benar atau tidaknya? Itu sama halnya dengan ‘hoaks’.
Mengutip dari paragraf ketiga tulisan opini A. Fatima “beberapa tahun silam lembaga pers dibekukan. Kabarnya karena berani mempertanyakan kemana uang mahasiswa. Setelah lembaga tersebut aktif, setiap artikel harus diverifikasi pihak kemahasiswaan. Itu artikel atau tugas besar, kok asistensi?”
Cukup tersinggung dengan ungkapan tak berdasar fakta yang ia ‘celotehkan’ dalam tulisannya. Pers Mahasiswa (PERSMA) PNUP tidak pernah dibekukan! Dikatakan dibekukan jika telah dikeluarkan Surat Keputusan (SK) pada saat itu. Namun, kenyataannya tidak ada SK dari birokrasi yang sampai ke tangan pendahulu.
Pada saat itu memang terjadi konflik antara PERSMA PNUP dengan pihak birokrat kampus. Tapi, pembekuan lembaga tidak pernah terjadi. Dalam hal pemberitaan, PERSMA PNUP selalu independen dan tidak pernah memihak kepada siapapun juga.
Berita terkadang dikomentari oleh pihak birokrat kampus, yah wajar-wajar saja. Hanya sebatas komentar, tidak untuk mengubah makna tulisan.
Screenshot tulisan di website kompasiana.com setelah diubah.
|
Selang beberapa jam setelah tulisan opininya diperbincangkan, ternyata penulis mengubah paragraf ketiga menjadi “beberapa tahun silam, lembaga pers dibatasi geraknya. Lantaran tidak bersedia lagi menyerahkan draf berita pada birokrasi. Kunci sekretariat disita dan satu tahun lebih kegiatan jurnalistik hilang. Yah itu berita atau tugas besar, kok asistensi?”
Jelas bukan? Apa yang di ‘celotehkan’ dalam tulisannya memang tidak elok untuk dipublikasikan. Dia mungkin sadar karena memasukkan informasi yang hanya didapatkan dari mulut ke mulut. Jangan sampai mereka bermaksud untuk mengambil bulan jatuh dalam ribaan.
Selain salah kaprah di paragraf ketiga, mungkinkah paragraf yang lain juga demikian? Hanya penulisnya yang tahu. Kritiknya tajam, tapi sayang tulisannya tumpul. Kebanyakan membahas masalah yang mungkin salah raba.
Selain salah kaprah di paragraf ketiga, mungkinkah paragraf yang lain juga demikian? Hanya penulisnya yang tahu. Kritiknya tajam, tapi sayang tulisannya tumpul. Kebanyakan membahas masalah yang mungkin salah raba.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan tulisan penulis dengan karyanya. Tetapi, sudah selayaknya kita berkomentar jika terjadi penyimpangan. Kalau tidak berkomentar, itu sama saja suatu kebodohan.
Semoga penulis opini itu mempunyai iktikad baik untuk mengklarifikasi agar kita elok lenggan di tempat datar.
Bijaklah dalam menulis! [BUL/281]