![]() |
Sumber: unsplash.com/@quinten149 |
Penulis: Ario Nasis. Demisioner Ketua Umum Pers Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang Periode 2017-2018.
METANOIAC.Id Seorang
mahasiswa pernah menanyai seorang pakar perbukuan, “Hai pakar perbukuan, kenapa
orang membakar buku? Mengapa manusia membakarnya?” Secara tiba-tiba pakar
tersebut tersentak. “Entahlah, saya tidak begitu yakin. Rumit sekali untuk
memahaminya. Saya pikir, itu butuh waktu yang lama.”
Tak lama
pakar tersebut melanjutkan, “Mungkin kita sudah mendekati masa berakhirnya
buku. Barangkali dogma itu benar. Beberapa pedagang buku di Afganistan juga
pernah berkata hal yang senada padaku,” imbuhnya.
Tapi pakar
perbukuan itu sebenarnya tidak percaya pada dogma maupun ramalan. Ia melakukan
penelitian terhadap pertanyaan tersebut. Selama kurang lebih 12 tahun, ia
membawa pertanyaan itu untuk dapat dipahami secara ilmiah. Ya, ilmiah. Ia
menamai buku hasil penelitiannya dengan Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Minggu
(04/08) dua pekan lalu, pustakawan katakerja tiba-tiba saja memuat pertanyaan
yang sama di rapat kerjanya. Pertanyaan yang muncul dari tindakan gegabah organisasi masyarakat (ormas) di toko buku Makassar yang melakukan razia buku. Razia yang dilakukan dengan dalih
telah dilarang oleh pemerintah karena menyebarkan ajaran
Marxisme dan Leninisme.
“Mengapa
mereka melakukan razia? Kenapa harus ada pelarangan buku?” padahal pengamanan
barang-barang cetakan secara sepihak tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 lalu. Mungkin ini masih ada kaitannya
dengan masa berakhirnya buku, pikir seorang pustakawan. Tanpa berpikir panjang,
pustakawan yang gelisah kemudian ingin menjawab pertanyaan itu melalui obrol
buku.
Harry Isra dari
Institut Sastra Makassar pernah menghabiskan buku hasil penelitian si pakar
perbukuan. Sabtu (10/08) pekan lalu dipanggillah ia untuk bicara tentang
bukunya bersama advokat publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Aziz Dumpa. Dengan suasana
yang cukup nyaman di ruang baca perpustakaan katakerja, orbolan mereka dipandu
oleh penyair yang dianggap ateis oleh dosennya, Ibe S. Palogai.
Isra
mengatakan ada banyak motif di balik penghancuran buku menurut si pakar
perbukuan. Beberapa diantaranya ialah karena alasan religius, peperangan, dan
seksualitas. Menurut Isra, alasan religius adalah hal yang paling kental
di antara banyak motif yang ada. “Penghancuran buku menghapus memori dari
masyarakat dan kebudayaan. Ini didominasi oleh kelompok agamawan,” imbuhnya. Ia
melanjutkannya dengan beberapa contoh buku yang dikecam seperti The Origin of
Species karena motif religius dan Fanny Hill or Memory of A Woman of Pleasure
karena motif seksualitas.
Pada abad
ke-20, aliran fasisme tumbuh dengan baik. Pembakaran buku menjadi sangat
ekstrim ucap Isra. Pemikiran yang mengancam suatu kekuasaan besar akan
dimusnahkan. Buku yang dianggap mengancam moralitas keagamaan juga disita atau
dirazia.
Penyitaan
buku pada zaman fasisme ini merupakan yang terbesar. Di masa kolonial
Indonesia, media ditumbuhi oleh pemikiran radikal. Bacaan liar yang mengancam
pemerintahan kolonial juga diseleksi dan disita oleh balai pustaka. Buku-buku
yang kontra revolusi di zaman Soekarno juga tak lepas dari pelarangan buku.
Pelarangan terhadap buku di Indonesia menemui puncaknya pada zaman orde baru.
Di zaman
orde baru, Isra menyambung ada banyak dorongan yang membuat pelarangan buku
menjadi lebih parah. Nama tokoh di jalan-jalan dan bahasa yang erat dengan
komunis mengalami perubahan-perubahan dalam bahasa Indonesia. Orang-orang yang
menganut paham sesuai bacaan kiri akan di penjara tanpa diadili. Masyarakat sipil
yang berhasil terprovokasi atas cap buruk komunis juga berubah menjadi aktor
lain dalam pelarangan buku. Cap ini bertahan selama 32 tahun masa kepemimpinan
Soeharto, dan saat ini masih dapat terlihat pada pemberitaan yang marak belakangan
ini.
Di ujung
narasinya, Isra mengatakan bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama
terhadap bacaan, oleh karena itu pemerataan akses terhadap buku harus terus
dilakukan. “Bagaimana meretas pemikiran yang menyatakan bahwa buku itu
berbahaya,” tegasnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seorang pustakawan
menamainya dengan menunda ramalan masa
berakhirnya buku.
Setelah Isra
menyatakan narasinya dengan nafas yang panjang, Aziz melanjutkan obrolan lebih
ke ranah hukum. Disebutkannya berbagai legitimasi yang dilakukan oleh aktor
penghancuran buku untuk membenarkan tindakannya. Ia lebih banyak bercerita
mengenai ambisinya menyikapi peristiwa razia buku di Makassar.
Aziz bilang,
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Hukum ditempatkan sebagai
supremasi. Jika Lord Acton bilang kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang atau
korup, maka hukum seharusnya dapat menindak siapapun meski yang melanggar itu
adalah penguasa atau aparatur negara. Setiap warga negara bebas menyampaikan
pendapatnya dan dapat berekspresi.
Pelaku razia
belum dapat diketahui apakah ia punya legitimasi atau tidak terhadap
tindakannya. Menurutnya, tindakan tersebut baru dapat dibenarkan jika telah
melalui proses persidangan. “Penyitaan barang yang masuk dalam ranah hak
individu harus ada arahan persidangannya. Harus sesuai dengan asas due process of law,” jelasnya.
Menarik
masalah ini lebih luas, Aziz menjelaskan bahwa pembatasan ekpresi (buku, karya,
dan sebagainya) ditujukan karena beberapa alasan. Alasan tersebut tertuang dalam UU Nomor
12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Di pasal 12
ayat 3 disebut:
Hak-hak di atas tidak
boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang ditentukan oleh hukum
guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral
masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang sesuai dengan
hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan ini.
Buku bisa
saja dilarang kata Aziz, tapi harus melalui proses hukum yang jelas. Jika razia
buku di Makassar terjadi seperti peristiwa dua pekan lalu, maka seharusnya
aparat penegak hukum dapat didesak untuk menindak pelakunya.
Pembiaran
razia buku setidaknya telah membuat berbagai macam kekhawatiran. Ibe khawatir
hal tersebut akan membuat ketidakadilan. Sama halnya dengan Viny (personil
Ruangbaca), ia khawatir setiap respon kecemasan di media sosial akan tumbuh
menjadi ketakutan-ketakutan. Sulhan sebagai pemilik toko buku Papirus pun
demikian. Ia kemudian membayangkan bagaimana nasib pemilik toko yang tidak tahu
menyikapi penyitaan buku. Bisa saja buku-buku di toko habis (karena disita)
tanpa terbeli. “Saya hanya akan menyetujui penyitaan, jika setiap buku yang
diambil terbeli,” candanya.
Keterbukaan
terhadap informasi seharusnya dapat dijunjung tinggi. Bagi Aziz, ia setuju
pernyataan Pram yang mengatakan bahwa pelarangan buku adalah tindakan yang
menunjukkan rendahnya pradaban. Buku-buku seharusnya menjadi ruang kebebasan
berpikir dan berekspresi. Seperti kata ayah Fernando Baez si pakar perbukuan,
buku-buku dan perpustakawan adalah serangan melawan impunitas, dogmatis,
manipulasi dan disinformasi. Semoga saja ramalan akan masa berakhirnya buku tidak
datang lebih awal.
0 Komentar