Seorang mahasiswa pernah menanyai seorang pakar perbukuan, “Hai pakar perbukuan, kenapa orang membakar buku? Mengapa manusia membakarnya?” Secara tiba-tiba pakar tersebut tersentak. “Entahlah, saya tidak begitu yakin. Rumit sekali untuk memahaminya. Saya pikir, itu butuh waktu yang lama.”
Tak lama pakar tersebut melanjutkan, “Mungkin kita sudah mendekati masa berakhirnya buku. Barangkali dogma itu benar. Beberapa pedagang buku di Afganistan juga pernah berkata hal yang senada padaku,” imbuhnya.
Tapi pakar perbukuan itu sebenarnya tidak percaya pada dogma maupun ramalan. Ia melakukan penelitian terhadap pertanyaan tersebut. Selama kurang lebih 12 tahun, ia membawa pertanyaan itu untuk dapat dipahami secara ilmiah. Ya, ilmiah. Ia menamai buku hasil penelitiannya dengan Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Minggu (04/08) dua pekan lalu, pustakawan kata kerja tiba-tiba saja memuat pertanyaan yang sama di rapat kerjanya. Pertanyaan yang muncul dari tindakan gegabah organisasi masyarakat (ormas) di toko buku Makassar yang melakukan razia buku. Razia yang dilakukan dengan dalih telah dilarang oleh pemerintah karena menyebarkan ajaran Marxisme dan Leninisme. perbukuan
“Mengapa mereka melakukan razia? Kenapa harus ada pelarangan buku?” padahal pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 lalu. Mungkin ini masih ada kaitannya dengan masa berakhirnya buku, pikir seorang pustakawan. Tanpa berpikir panjang, pustakawan yang gelisah kemudian ingin menjawab pertanyaan itu melalui obrol buku.
Harry Isra dari Institut Sastra Makassar pernah menghabiskan buku hasil penelitian si pakar perbukuan. Sabtu (10/08) pekan lalu dipanggillah ia untuk bicara tentang bukunya bersama advokat publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Aziz Dumpa. Dengan suasana yang cukup nyaman di ruang baca perpustakaan katakerja, orbolan mereka dipandu oleh penyair yang dianggap ateis oleh dosennya, Ibe S. Palogai.
Isra mengatakan ada banyak motif di balik penghancuran buku menurut si pakar perbukuan. Beberapa diantaranya ialah karena alasan religius, peperangan, dan seksualitas. Menurut Isra, alasan religius adalah hal yang paling kental di antara banyak motif yang ada. “Penghancuran buku menghapus memori dari masyarakat dan kebudayaan. Ini didominasi oleh kelompok agamawan,” imbuhnya. Ia melanjutkannya dengan beberapa contoh buku yang dikecam seperti The Origin of Species karena motif religius dan Fanny Hill or Memory of A Woman of Pleasurekarena motif seksualitas.
Pada abad ke-20, aliran fasisme tumbuh dengan baik. Pembakaran buku menjadi sangat ekstrim ucap Isra. Pemikiran yang mengancam suatu kekuasaan besar akan dimusnahkan. Buku yang dianggap mengancam moralitas keagamaan juga disita atau dirazia.
Penyitaan buku pada zaman fasisme ini merupakan yang terbesar. Di masa kolonial Indonesia, media ditumbuhi oleh pemikiran radikal. Bacaan liar yang mengancam pemerintahan kolonial juga diseleksi dan disita oleh balai pustaka. Buku-buku yang kontra revolusi di zaman Soekarno juga tak lepas dari pelarangan buku. Pelarangan terhadap buku di Indonesia menemui puncaknya pada zaman orde baru.
Di zaman orde baru, Isra menyambung ada banyak dorongan yang membuat pelarangan buku menjadi lebih parah. Nama tokoh di jalan-jalan dan bahasa yang erat dengan komunis mengalami perubahan-perubahan dalam bahasa Indonesia. Orang-orang yang menganut paham sesuai bacaan kiri akan di penjara tanpa diadili. Masyarakat sipil yang berhasil terprovokasi atas cap buruk komunis juga berubah menjadi aktor lain dalam pelarangan buku. Cap ini bertahan selama 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto, dan saat ini masih dapat terlihat pada pemberitaan yang marak belakangan ini.
Di ujung narasinya, Isra mengatakan bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap bacaan, oleh karena itu pemerataan akses terhadap buku harus terus dilakukan. “Bagaimana meretas pemikiran yang menyatakan bahwa buku itu berbahaya,” tegasnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seorang pustakawan menamainya dengan menunda ramalan masa berakhirnya buku.
Setelah Isra menyatakan narasinya dengan nafas yang panjang, Aziz melanjutkan obrolan lebih ke ranah hukum. Disebutkannya berbagai legitimasi yang dilakukan oleh aktor penghancuran buku untuk membenarkan tindakannya. Ia lebih banyak bercerita mengenai ambisinya menyikapi peristiwa razia buku di Makassar.
Aziz bilang, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Hukum ditempatkan sebagai supremasi. Jika Lord Acton bilang kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang atau korup, maka hukum seharusnya dapat menindak siapapun meski yang melanggar itu adalah penguasa atau aparatur negara. Setiap warga negara bebas menyampaikan pendapatnya dan dapat berekspresi.
Pelaku razia belum dapat diketahui apakah ia punya legitimasi atau tidak terhadap tindakannya. Menurutnya, tindakan tersebut baru dapat dibenarkan jika telah melalui proses persidangan. “Penyitaan barang yang masuk dalam ranah hak individu harus ada arahan persidangannya. Harus sesuai dengan asas due process of law,” jelasnya.
Menarik masalah ini lebih luas, Aziz menjelaskan bahwa pembatasan ekpresi (buku, karya, dan sebagainya) ditujukan karena beberapa alasan. Alasan tersebut tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Di pasal 12 ayat 3 disebut:
Hak-hak di atas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan ini.
Buku bisa saja dilarang kata Aziz, tapi harus melalui proses hukum yang jelas. Jika razia buku di Makassar terjadi seperti peristiwa dua pekan lalu, maka seharusnya aparat penegak hukum dapat didesak untuk menindak pelakunya.
Pembiaran razia buku setidaknya telah membuat berbagai macam kekhawatiran. Ibe khawatir hal tersebut akan membuat ketidakadilan. Sama halnya dengan Viny (personil Ruangbaca), ia khawatir setiap respon kecemasan di media sosial akan tumbuh menjadi ketakutan-ketakutan. Sulhan sebagai pemilik toko buku Papirus pun demikian. Ia kemudian membayangkan bagaimana nasib pemilik toko yang tidak tahu menyikapi penyitaan buku. Bisa saja buku-buku di toko habis (karena disita) tanpa terbeli. “Saya hanya akan menyetujui penyitaan, jika setiap buku yang diambil terbeli,” candanya.
Keterbukaan terhadap informasi seharusnya dapat dijunjung tinggi. Bagi Aziz, ia setuju pernyataan Pram yang mengatakan bahwa pelarangan buku adalah tindakan yang menunjukkan rendahnya pradaban. Buku-buku seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir dan berekspresi. Seperti kata ayah Fernando Baez si pakar perbukuan, buku-buku dan perpustakawan adalah serangan melawan impunitas, dogmatis, manipulasi dan disinformasi. Semoga saja ramalan akan masa berakhirnya buku tidak datang lebih awal.
Penulis: Ario Nasis. Demisioner Ketua Umum Pers Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang Periode 2017-2018.