Penulis:
Sultan Angga Prawira
Menteri
Polhukam BEM
Dua dekade setelah era orde baru telah berlalu, dan terlepas dari
jeratan otoritas sistem yang otoriter, kini sistem yang kemudian menjelma
kembali menjadi neo orde baru dan dibungkus dengan kemasan yang lebih sexy dan
kerap mengatasnamakan kemanusiaan. Perebutan demokrasi yang diinisiasi oleh
mahasiswa yang biasa kita dengar dengan istilah people power, yang kemudian
mampu bermetamorfosis menjadi demokrasi, kedaulatan, dan kebebasan berpendapat
di muka umum.
Mahasiswa merupakan kekuatan intelektualitas masyarakat untuk menuju
suatu perubahan. Coba lihatlah apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Lybia, dan
Siria pada tahun 2010 hingga 2011. Mahasiswa mengambil peranan penting dalam
menggulingkan sebuah kekuasaan dan menggantinya dengan sebuah tonggak baru,
yang mengedepankan demokrasi. Mahasiswa memiliki kekuatan energi penuh dengan
sifat kreatif, kritis, dan dinamis serta kepekaan yang tinggi pada masalah
sosial. Mahasiswa yang merupakan satu satuan karakter, mampu menjadi satu
gerakan besar yang bukan saja memperjuangkan suatu tujuan, namun berupaya
membuat sejarah baru dalam sebuah pembangunan masa depan suatu bangsa.
Kira-kira pengantar di atas merupakan hal yang sangat ideal yang sangat
berbeda dengan realitas yang ada di lapangan (khususnya lingkungan PNUP).
Potret kondisi yang semenjak berlangsung mulai dari saya berstatus maba
(kira-kira empat tahun lalu), menurut saya mengalami kemerosotan kualitas yang
terhitung mulai dari empat tahun yang lalu. Saya berkata seperti ini, tidak
serta merta tanpa landasan fakta lapangan. Saya memiliki fakta diantaranya:
Di tahun 2016, setiap pukul16:00 kantin-kantin dan gazebo, sudah
dipadati mahasiswa yang lelah dengan aktivitas akademiknya dan menghilangkan
lelah dengan cara duduk, pesan kopi, tak lupa sebatang rokok yang menempel di
tangan. Pembahasannya beragam, mulai dari pembahasan eksistensi Tuhan, klub
sepak bola, dan sampai pembahasan tindak pidana korupsi kampus dua PNUP.
Mungkin kita tidak usah bahas sampai sana, jangan sampai penulis di scorsing
atau di drop out karena membahas sembarang. Secara, kampus kita terkenal dengan
anti kritiknya. Tapi itu dulu, semoga sekarang sudah tidak lagi dengan pemimpin
yang baru. Mari kita doakan bersama semoga pemimpin yang baru kita (satu-satunya
Prof. di PNUP) diberikan kesehatan dan tidak otoriter, aamiin.
Selanjutnya di tahun 2017 saya merasa keganjilan dengan sudah jarangnya
gazebo dipakai tempat diskusi, tapi tidak untuk “kantin” yang senantiasa
menjadi pusat semesta mahasiswa PNUP. Apalagi dengan hadirnya “kantin ucok”
yang menjadi kantin revolusioner dan menjadi tempat yang melahirkan cikal
bakal pemikiran dan orientasi revolusioner. Kehadiran adik-adik baru, mahasiswa
2017 menjadi penyemangat kami bergerak dan terus memacu diri agar terus
belajar, berharap ada penerus gerakan yang senantiasa mengawal isu-isu kampus.
Tapi harapan tersebut semakin hari, semakin redup, dikarenakan
kebijakan kampus semakin menekan, terutama kasus premanisme yang dilakukan
oleh pihak keamanan kemarin, yang sampai hati mengancam mahasiswa dengan
menodongkan senjata tajam. Belum lagi kebijakan organisasi dalam hal
pencairan dana kemahasiswaan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan himpunan
atau UKM yang sangat ribet.
Ditahun itu juga ada aksi besar-besaran aliansi mahasiswa PNUP yang
diinisiasi oleh beberapa orang, dengan berbagai tuntutan dan keresahan.
Aliansi tersebut hadir karena tidak adanya jantung organisasi kam
pus yaitu BEM. Beberapa tuntutan pun
di layangkan, mulai dari transparansi anggaran, penolakan militerisasi
kampus, sampai dengan pengembalian pengaderan di semester satu.
Perubahan suasana kampus dalam kurun waktu 2018 sampai sekarang itu
sangat berbeda. Atmosfer yang
hadir di dalam kampus tidak ubahnya seperti kuburan dan kamar mayat.
Suasana yang sangat berubah dalam kampus tersebut tidak terlepas dari tanggung
jawab dan peran pengurus lembaga.
Saya mencoba menganalogikan lembaga sama halnya dengan sirkus, jika
sirkus tersebut kurang orang yang menyaksikan, itu berarti sirkus tersebut
tidak menarik. Nah, sama halnya dengan lembaga kemahasiswaan yang tidak
menarik lagi untuk didatangi. Saya mengambil kesimpulan tersebut dengan melakukan
kunjungan di beberapa lembaga. Saya melihat beberapa sekretariat lembaga yang
seperti kamar mayat. Ada juga lembaga yang sepanjang harinya diisi dengan
rapat, dan lembaga yang diisi dengan orang-orang di dalamnya bermain game
online.
Ada juga satu fenomena yang membuat saya heran, dengan kehadiran alumni
di dalam rapat agenda kemahasiswaan. Orientasi penalaran yang seharusnya menjadi
perang dialektika di dalam rapat, itu menjadi sebuah penampakan penjajahan
intelektual yang dikebiri oleh alumni dengan mengarahkan kesana kemari
adik-adik pengurus lembaganya. Dan di saat itu saya sadar, ternyata ada
otoritas di atas ketua lembaga, yaitu “kakanda”.
Dari sekian paparan kondisi yang berubah dari tahun ke tahun saya
mengambil kesimpulan bahwa mahasiswa PNUP krisis orientasi. Mereka bergerak
seakan sibuk dengan segala targetan mereka, tapi di sisi lain orientasi dari
proses mereka di dalam kampus itu bias dan tidak memiliki substansi dari
tujuan mereka berkesibukan.
Tulisan ini dibuat semata-mata hanya untuk bahan refleksi dan evaluasi
diri. Kita mungkin sama-sama resah dengan kondisi kampus yang ada, tapi dengan
keresahan yang ada, pertanyaannya, apa yang kita lakukan? Silahkan jawab
dengan terus mengevaluasi diri, karena “kau akan mengenali dirimu, pada saat
kau sendiri” -imam Ali Bin Abi Thalib-
0 Komentar