![]() |
Sumber:
Ilustrasi/Ssyunnutrihantoyo.wordprees.com
|
METANOIAC.idYett adalah seekor
semut kecil, tapi namanya besar ketika ia diangkat menjadi pemimpin. Tentu
bukan otot yang dipakai untuk mengangkat seribu gram bongkahan gula, tetapi pikiran
dan arahan untuk memindahkan makanan manis itu. Semua semut suka gula, tapi
tidak semua semut pekerja keras. Di lain sisi, si raja rimba, pemimpin seluruh
penduduk hutan diangkat begitu saja sebagai raja hanya karena kekuatannya tak
tertandingi. Usai mendapat gelar tersebut, ia adalah makhluk paling ditakuti di
seluruh rimba. Tak perlu menyusuri semua lubang-lubang tanah, si raja akan
mendapati makanannya tepat di depan tahta. Kalau makanan luar tak tersedia,
maka bersiaplah semua pelayannya untuk menjadi tumbal. Arogansi sang raja rimba
adalah ketakutan di seluruh alam. Semua katanya harus dituruti, jika tidak,
bersiaplah kehilangan nyawa.
Antara pemimpin yang
disegani dan ditakuti tentu tak sama. Pemimpin adalah wibawa yang dibawa
kemana-mana. Payung yang menyerap air, bukan payung yang menghalau air hujan
tetapi turun kebawah bertabrakan dengan tanah lalu kembali menyiprati kaki.
Pemimpin tak diharapkan sempurna, tetapi cukup melakukan kebaikan. Pemimpin
adalah seribu atau semua hati rakyat, maka sejatinya pemimpin adalah satu
rakyat yang diutus rakyat yang lain. Pikiran seluruh rakyat, ada pada satu
rakyat itu. Tapi jangan lupa setiap manusia bisa berubah, hari ini seribu janji
yang diucap, besok berapa janji ditepati. Dan jangan lupa, Semakin tinggi jabatan, semakin besar godaan.
Semua tergantung dengan siapa ia bekerja dan apa yang dikejar, jika pahala yang
dikejar seorang pemimpin, maka pahala pulalah yang ia kerjakan. Jika berharap
uang, uang pulalah yang ia cari, juga popularitas, juga nama, juga ruangan yang
nyaman, juga lainnya.
Pemimpin sebelum
menjadi pemimpin, mereka berbaur dengan rakyat. Berkampanye seribu pulau,
memasuki area konflik, dan minum air bah adalah usaha calon presiden untuk
mencapai tahta. Memperebutkan kursi kepemimpinan sampai jungkir balik menimbulkan
banyak pertanyaan. Benarkah kursi itu benar-benar empuk? Benarkah tahta itu
bisa mengabulkan segala keinginan? Atau hanya sebuah nama yang akan tercatat
dalam sejarah?
Tahun krusial di
Indonesia adalah tahun politik, menjelang pergantian presiden. Janji-janji
sudah beribu, uang kampanye milyaran rupiah, tapi hanya diperuntukkan untuk
menduduki jabatan. jika presiden telah terpilih, semua rakyat harus terima,
begitulah hukumnya, begitu pula di Politeknik. Politeknik dipimpin oleh seorang
direktur. Dalam bab III poin 3.3.2 statuta Politeknik tentang pemimpin
perguruan tinggi bahwa pemimpin perguruan tinggi adalah unsur pelaksana
akademik, yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan non akademik dan
pengelolaan perguruan tinggi untuk dan atas nama menteri. Menggarisbawahi
‘untuk dan atas nama menteri’ tidak dijelaskan lebih lanjut dalam statuta
tersebut. Mari menebak-nebak saja, apa arti kata tersebut!
Ketika baliho besar
terpampang dengan empat kandidat calon direktur di dalamnya, maka semua mata
tertuju kesana. Baliho tersebut tepat di sebalah kanan gerbang masuk kampus
PNUP, sebelum pemilihan direktur. Beberapa memperhatikan saja, beberapaa
bertanya, beberapa mengabaikan. Bagi yang bertanya, mereka akan bertanya
bagaimana dengan si A, B, C, D. karena bagi mahasiswa Akuntansi, mereka tidak
tahu sosok yang akan memimpinnya, keempat kandidat merupakan dosen Jurusan
Mesin, Elektro, dan Sipil. Bagi yang mengabaikan adalah mereka yang ‘tidak’
pasrah, toh sebenarnya ini bukan pemilihan presiden yang rakyatnya memiliki hak
suara. Ketika pun direktur telah terpilih, yah dialah direktur. Bagi mereka
yang memperhatikan adalah yang hanya akan menagih janji siapapun yang terpilih.
Wewangi bunga memang
telah merebak di kampus hitam. Bukan hanya direktur baru yang berganti warna,
BEM pun sudah mekar lagi. BEM bagai keajaiban, bangun dari hibernasi yang cukup
lama. Banyak yang menggantung harapan pada BEM, berharap banyak yang berubah.
Bukankah BEM adalah perwakilan mahasiswa? Iya, sejatinya. BEM dulu telah
memiliki rumah, maka sekarang BEM tak harus membuat rumah, hanya memperbaiki
yang ada di dalamnya. Bukan lagi belajar memperbaiki jam tua yang dulu
ditinggalkan, tetapi benar-benar memperbaikinya. Bukan hanya mengurusi satu jam
tua itu, tetapi memberi kasih sayang seisi rumah.
Kampus hitam bukanlah
institusi kecil. Maka manajemen institusi tak boleh serampangan. Begitu saja
banyak menabur benih, maka harapan bejibun buah akan dipetik sangat besar. Bagi
manusia yang berbeda dengan tujuan yang sama, maka koordinasi dengan komunikasi
yang baik harus dijalankan. Direktur dan BEM hanyalah perwakilan, yang mencapai
tujuan bersama adalah seluruh sivitas akademika. Bersinergi dengan baik dengan
seluruh elemen akan menyusutkan kegagalan mencapai tujuan. Ciptakanlah
perbedaan saat kau ada dan tiada, bersikaplah sebagai pemimpin, pilihlah antara
melayani dan dilayani, atau jika ada pilihan lain. [TUT/261]
0 Komentar